3 Alasan Mengapa MotoGP 2017 Digeber di Sentul

Sabtu, 23 Mei 2015 – 16:03 WIB
Menpar Arief Yahya saat menerima CEO Dorna SL, Carmelo Ezpelata di Gedung Sapta Pesona, Kemenpar, 20 Mei 2015 lalu.

jpnn.com - Hiruk pikuk soal Indonesia bakal menjadi tuan rumah balapan paling bergengsi di dunia, MotoGP 2017, tak bisa dihindari. 

Pecandu ngebut dan penggemar olahraga adrenaline di liukan sirkuit ini betul-betul surprise! Terobosan berani yang ditunggu-tunggu riders selama 20 tahun lebih, setelah terakhir adu engine, teknologi dan keterampilan “ngepot” motor sport itu digelar di Sentul 1996-1997. Ada angin apa ini?

BACA JUGA: PSG Siapkan Rp 1,8 Triliun buat Boyong Ronaldo dari Madrid

Hadirnya CEO Dorna SL, Carmelo Ezpelata dan Rainer B, CEO Grand Prix Asia di Gedung Sapta Pesona, Kementerian Pariwisata RI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, 20 Mei 2015 lalu seolah memberi isyarat “lampu hijau”. 

Sirkuit Sentul bakal kembali mencatat sejarah adu balap motor kelas dunia 2017 mendatang. Responnya pun beragam, ada yang heboh, ada yang tak percaya, ada pula yang sinis, apa bisa? 

BACA JUGA: Bos F1 Mengubah Aturan, Ini Tanggapan Sebastian Vettel

Apa untungnya bagi Indonesia? Bagaimana menghitungnya? Semua orang paham, beban meng-up grade sirkuit Sentul itu tidak murah? Semua orang tahu, prasyarat menggelar even dunia yang akan live TV di 207 negara itu tidak gampang? Dan semua orang sadar, menggarap infrastruktur dengan cepat itu tidak mudah? Lalu bagaimana menghitung velue-nya, sehingga pemerintah berani mengambil risiko dan menyanggupi menjadi host?

Menteri Pariwisata Arief Yahya sangat pede, dan menjadi tuan rumah yang baik dalam kalender resmi MotoGP yang termasuk kategori sport-tourism itu. MotoGP akan menjadi starter efek “karambol” ekonomi yang kuat. Dia menyebut, turisme adalah industri, dan di bawah industri itu ada bisnis. 

BACA JUGA: Menpora Ajak Semua Kalangan Gelorakan Asian Games 2018

“Latar belakang saya adalah orang bisnis, karena itu saya cepat membuat keputusan saat melihat velue dan opportunity MotoGP ini,” sebut Arief Yahya yang mantan CEO PT Telkom itu.

Pertama, nilai tambah MotoGP 2017 itu sendiri sudah sangat besar. Ratusan juta pasang mata akan terfokus di objek MotoGP yang sudah dilabeli kuat Wonderful Indonesia. 

“Dari kalkulasi ekonomi saja, sudah jelas sontekannya. Saya bisa mengkuantifikasi nilai even ini lebih dari 300 juta USD, atau Rp 3,9 Triliun lebih. Manfaat ekonomi langsung atau direct economic and tourism-nya, bisa lebih dari 100 juta USD, atau sekitar Rp 1,3 Triliun. Ditambah dengan media velue, yang berdasarkan catatan MotoGP 2014, sekitar 200 Juta USD, atau Rp 2,6 Triliun. Jadi total nilai dari even itu jauh di atas Rp 3,9 T,” jelas Arief Yahya.

Sementara, budget menggelar MotoGP itu diperkirakan 10 juga USD, atau sekitar Rp 130M. Bagaimana menghitung returnnya? Jumlah pembalapnya 92 orang, minimal bermalam 4 hari, masing-masing spenditure nya 10.000 USD per hari. Lalu crew 5.300 orang, yang harus menyiapkan segala sesuatunya, biasanya mereka stay 8 hari dari pre event sampai post event. 

Kru itu rata-rata menghabiskan dana 5.000 USD per orang, promoter 200 personel, media 462 kru, dari jurnalis, fotografer, reporter dan kameramen.

Jumlah penonton pembeli tiket, diperkirakan berada di kisaran 50.000 sampai 100.000 orang. Menggunakan asumsi yang paling rendah saja, 50 ribu selama 3 hari dan rata-rata spenditure 1.200 USD per hari, sama dengan rata-rata turis di Indonesia.  “Di atas kertas, MotoGP itu akan memutar bisnis sektor pariwisata, dari hotel, retoran, transportasi, dan lainnya akan terimbas. Berapa wisman yang bakal masuk di arena sirkuit selama minimal 3 hari itu” hitung Arief Yahya.

Karena itulah, Menpar Arief berkali-kali menyebut momen ini sebagai bisnis besar, industri besar dan banyak dana yang dibawa oleh wisatawan sport yang dibelanjakan di tanah air. MotoGP itu ibarat magnit, punya daya pikat yang luar biasa. 

“Sirkuit Sepang yang sudah menjadi kebanggaan rakyat Malaysia itu juga diinisiasi oleh Kementerian Pariwisata Malaysia tahun 1998. Setahun sesudahnya sudah dipakai untuk menggelar MotoGP dan F-1. Pertimbangannya adalah menarik turisme. Salah satu pendulang dolar Malaysia itu adalah sport-tourism ini,” jelas menteri yang berlatar belakang professional itu.

Harus diakui, Indonesia agak terlambat membangun infrastruktur balapan yang berstandar internasional. Belum ada sirkuit untuk olahraga otomotif seperti MotoGP dan F-1, meskipun fans nya tergolong besar. Malaysia sudah 17 tahun yang silam mendulang dolar dari sini. 

“Tetapi ada pepatah: Better late than never! Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Kita punya banyak peluang untuk menyalip di tikungan,” sebut Menpar yang oleh Lembaga Survei Alvara dikategorikan sebagai Menteri Bintang Lima itu. 

Bagaimana dengan media velue MotoGP? Lebih spektakuler lagi, jika dihitung kapitalnya. Tahun 2014 saja, ada 207 media elektronik, 896 spot, 64 TV, 2 spot per hari selama 7 hari. Jika harga per spot Rp 10 juta saja, sudah hampir Rp 2 Triliun. Belum media cetak, social media, radio dan out door? 

Jumlah personil media yang bakal mengabadikan momen-momen istimewa di Sirkuit Sentul ada 4.225 jurnalis. Ditambah 344 reporter radio, social media 92 juta pengunjung.

“Nah selain direct tourism yang hadir karena MotoGP, brand Wonderful Indonesia akan semakin mendunia pula. Jika dipromosikan sendiri, harus berinvestasi berapa? Promosi pariwisata kita sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. 

Dan Managemen Dorna SL juga akan mempromosikan logo Wonderful Indonesia di 19 seri MotoGP di negara lain,” papar lulusan ITB dan Unpad Bandung itu.

Arief Yahya juga menyebutkan, hitungan velue yang di atas Rp 3 Triliun, dengan keluar biaya Rp 130 M, itu angka yang sangat seksi. Swasta juga pasti terpikat dengan komposisi angka tersebut. 

“Tidak mahal, dibandingkan benefit dan impact yang bisa dihasilkan,” jelas Arief Yahya. Bagi Carmelo Ezpelata, bos Dorna SL yang jauh-jauh terbang 20 jam dari Madrid, Spanyol ke Kantor Kemenpar, sekitar 3-4 jam, lalu balik lagi via Halim Perdana Kusumah dengan jet pribadinya, tentu juga punya kepentingan untuk tampil di Indonesia.

“Kami melihat pasar motor di Indonesia yang luar biasa. Karena itu, kami tertarik untuk menggelar satu seri, diantara 20 seri di Indonesia,” sebut Carmelo Ezpelata. Dia meminta tiga syarat yang harus dipenuhi, sebelum membawa pengebut-pengebut top dunia ke Jakarta. Harus ada jaminan dan kerjasama dengan pemerintah, harus ada sirkuit yang standar internasional, dan harus ada tim organizer yang mampu.

Saat memberikan keterangan pers, hadir juga Nanan Sukarna, Ketua Umum PP IMI, Tinton Soeprapto, Direktur Sirkuit Sentul, Ananda Mikola, Manager Sirkuit Sentul dan Prof Faisal dari Kemenpora.

Alasan kedua, mengapa RI berkepentingan, --lanjut Arief Yahya--, adalah kesempatan emas bagi Indonesia untuk masuk menjadi host MotoGP. Seri balapan pada musim 2017-2021 itu bakal singgah di 15 negara, 20 kota. 

Tahun 2015 ini, sudah digulirkan di 13 negara, 18 kota. Masih ada 2 kota, 2 negara yang tersisa. Thailand sudah pasti mengambil salah satu slotnya. Tinggal sisa satu? 

“Kalau tidak kita ambil sekarang, maka sampai lima tahun ke depan, kita tidak akan punya kesempatan untuk menjadi tuan rumah,” jelas Arief Yahya.

Ketiga, MotoGP itu juga bisa dijadikan sarana edukasi. “Kalian boleh ngebut, boleh ngepot, boleh memutar gas kencang-kencang. Tetapi, kalau mau memacu adrenaline, silakan di sirkuit tempatnya,” jelas Arief. 

Ketua IMI Nanan Sukarna menambahkan, sirkuit itu juga strategis untuk mengedukasi anak-anak motor agar mereka disiplin berlalulintas. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ini Kata Tim Transisi Soal Surat FIFA


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler