3 Balita Dibunuh saat Ibadah

Senin, 05 November 2012 – 12:05 WIB
TAPTENG-Hujan pada Minggu pagi (4/11) di sebuah gereja di Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumut, menjadi kisah duka. Tiga jemaatnya yang masih bocah di bawah lima tahun (balita) tewas setelah dibunuh secara sadis oleh seorang pria stres.

Adalah HKBP Ressort Maranatha Simanosor, Desa Simanosor, Kecamatan Sibabangun, Tapteng, gereja yang dimaksud. Korban tewas mengalami luka-luka sobek di kepala dan tangan karena sabetan parang oleh pelakun Burhan Gultom (35), pemuda, warga setempat.

Ketiga korban tewas di tempat yakni Yohana Nikita br Panggabean (3), Aprilia Kristina br Pasaribu (4,5), Coki Nainggolan (3). Mayat ketiga korban didapati tergeletak bersimbah darah di lantai gereja.

Selain itu, pelaku juga melukai tiga anak sekolah minggu lainnya. Di antaranya Abel Hutabarat (9), Ferdinan Sitompul (10), dan Nandar Simanjuntak (5). Ketiganya juga mengalami luka parah di bagian kepala.

Dua warga setempat, Dapot Pasaribu (35) dan Samuel Pasaribu (16) yang merupakan ayah dan anak, juga ikut jadi sasaran amuk pelaku saat akan dilumpuhkan massa. Dapot mengalami luka tombak dan Samuel mengalami luka bacok di kepalanya. Kelima korban luka itu langsung dilarikan ke RSUD Pandan dan RSU Dr FL Tobing Sibolga karena kondisinya kritis.

Menurut Guru Sekolah Minggu, Evi br Pasaribu (21) dan St D br Situmorang, peristiwa itu bermula saat pagi itu sekira pukul 08.00 WIB, sekitar 50-an anak sekolah Minggu telah berada di dalam gereja. Mereka bersiap untuk memulai kebaktian Minggu seperti biasanya. Pagi itu jumlah anak sekolah Minggu lebih sedikit dari biasanya karena hujan mengguyur kawasan setempat.

“Kami mau mulai kebaktian. Anak-anak sedang latihan menyanyi, sambil nunggu anak-anak yang lain datang. Saya sendiri berada di dekat meja di depan barisan kursi sekolah Minggu. Saya melihat dia (pelaku) sudah berdiri di pintu samping kanan. Dia memegang parang di tangan kanannya. Dia lalu berjalan dan masuk ke dalam gerjea sambil mengayun-ayunkan parangnya,” tukas Evi kepada Metro Tapanuli (grup JPNN) di lokasi.

Karena ketakutan, guru dan anak sekolah Minggu itu berhamburan ke luar gereja. Ada yang lari dari pintu depan, ada yang dari pintu samping kiri. Sementara, pelaku makin membabi buta. “Kami berlarian. Saya lari dari pintu depan sambil teriak minta tolong. Di dalam anak-anak juga berlarian. Saya tidak melihat langsung bagaimana pelaku membacoki anak-anak yang jadi korban itu. Tapi saya yakin karena mereka tidak bisa cepat lari ke luar atau tidak tahu apa yang terjadi,” jelas Evi.

Evi mengaku tidak mengenal pelaku sebelumnya. “Melihat dia tiba-tiba datang bawa parang, saya pikir dia teroris,” tukas Evi dengan mata berkaca-kaca menahan tangisnya.

Usai membantai anak-anak di dalam gereja, sambung Evi, dia melihat pelaku keluar dari pintu saat dia masuk. Pelaku berjalan santai sambil menenteng parang menuju rumahnya yang tepat berada di samping kanan kompleks gereja, yang berjarak sekitar 20 meter. Saat itu, dia dan St D br Situmorang serta anak-anak sekolah minggu bersembunyi di rumah warga yang berada di sekitar kompleks gereja.

“Dia (pelaku, Red) lalu masuk ke rumahnya. Warga lainnya kemudian ramai berdatangan, kami baru berani keluar dari rumah,” ujarnya.

Senada dengan Evi, St D br Situmorang mengaku trauma dengan tragedi berdarah dan memilukan itu. Setelah lari ke luar, dia tidak tahu apa yang terjadi di dalam gereja.

“Kami sedang nyanyi-nyanyi sebelum masuk kebaktian. Tiba-tiba dia datang dari pintu samping. Dia bawa parang, kepalanya diikat kain. Kami langsung berlarian ke luar. Saya lari dari pintu depan sambil berteriak minta tolong,” tukasnya.

Seorang anak sekolah Minggu, Riska br Graha (13), mengaku sempat melihat pelaku membantai salah satu korban. “Aku enggak melihat dia masuk. Tapi aku juga ikut lari karena takut. Tapi, aku sempat menunggu menarik adikku Ara, supaya ikut lari. Sempat kulihat dia membacoki anak sekolah Minggu yang duduk di kursi di depan. Aku sendiri duduk agak di belakang,” jelas Riska.

Pantauan di lokasi, usai penyidik melakukan olah TKP, mayat ketiga korban tewas di tempat itu kemudian dibawa ke RSUD Pandan Tapteng dan RSU Dr FL Tobing Sibolga untuk divisum luar.


Pelaku Tewas Dimassa

Mendengar teriakan minta tolong, warga mulai berdatangan. Setelah mengetahui cerita kejadiannya dan melihat kondisi para korban yang mengenaskan di dalam gereja, massa memancing pelaku agar keluar dari dalam rumahnya yang terbuat dari papan itu. Massa melempari rumahnya dengan batu dan kayu.

Akhirnya, pelaku keluar sambil menenteng sebilah parang dan tombak. Warga berusaha melumpuhkan pelaku dengan cara melemparinya dengan batu. Namun pelaku melawan dan terlibat duel dengan korban Dapot Pasaribu (35). Pelaku menombak tangan kiri Dapot hingga menancap.

Tak terima ayahnya dilukai pelaku, Samuel Pasaribu dan beberapa warga lainnya lantas mencoba membantu dan melumpuhkan pelaku. Informasi yang dihimpun, warga sempat memassakan pelaku. Pelaku mengalami beberapa luka sobek pada bagian kepala.

Setelah sempat diamankan ke Mapolsek Sibabangun, pelaku yang sudah kehilangan banyak darah itu lalu dilarikan ke RSUD Pandan. Namun, dalam perjalanan menuju rumahsakit, pelaku sudah meregang nyawa.
Kapolres Tapteng, AKBP Dicky Patrianegara membenarkan tragedi berdarah itu. Dikatakannya, pelaku datang dan masuk ke dalam gereja di mana anak sekolah Minggu sedang bersiap untuk memulai kebaktian. Pelaku yang membawa sebilah parang kemudian menyerang anak-anak sekolah minggu. Hingga akhirnya pelaku berhasil dilumpuhkan warga sekitar.

“Ada 3 anak sekolah minggu yang tewas di tempat. Tiga lagi luka-luka dan sudah dibawa ke rumah sakit. Sementara ada dua warga lainnya yang juga terluka saat mencoba melumpuhkan pelaku. Pelaku sempat dimassakan hingga akhirnya tewas dalam perjalanan menuju rumah sakit,” tukas Dicky.

Pihak kepolisian masih mengumpulkan barang bukti dan keterangan saksi-saksi untuk menguak kronologis kejadian yang lebih akurat. “Meski pelaku sudah meninggal dunia, proses penyidikan tetap dilanjutkan,” tegasnya.
Suka Bertapa di Hutan

Warga setempat menyebutkan bahwa pelaku, Burhan Gultom, kerap berprilaku layaknya orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau stres. Meski sepintas prilaku gangguan kejiwaan Burhan tak begitu kelihatan.
“Dia sering ‘bertapa’ di hutan. Kerjanya enggak jelas, mocok-mocok gitulah. Bicaranya kadang ngelantur, terus bersikap diam tak tentu,” kata salah seorang pemuda warga setempat.

Menurut warga, belakangan Burhan sendirian tinggal di rumahnya yang terbuat dari papan itu. Letak rumah itu di samping kompleks gereja atau berjarak sekitar 20 meter. Dulunya, keluarga Burhan masih tinggal di rumah itu. Tapi kini ada yang sudah berkeluarga dan merantau ke daerah lain.

“Ada yang sudah berkeluarga, ada yang merantau. Ibunya kalau enggak salah tinggal di Pekanbaru. Makanya dia sendirian di rumah itu,” tukas seorang perempuan muda, warga desa setempat.

Marbun (60-an), membenarkan prilaku menyimpang Burhan. Misalnya, Burhan kerap pergi ke hutan. Beberapa hari kemudian baru kembali. “Dia sering tidur di hutan. Enggak tahu entah apa yang dikerjakannya di sana. Kalau dalam pergaulan di masyarakat sehari-hari, kadang baik. Tapi kadang mau diam sendirian. Bingung kita melihatnya,” jelas Marbun.

Menurut warga, Burhan sendiri selama ini tidak pernah membuat keonaran di kampung itu. Karena itu, warga tidak menduga pemuda lajang tua itu tiba-tiba mengamuk dan membantai anak sekolah Minggu. “Itulah, kami pun juga heran dan bingung, apa motifnya dia sampai kayak orang kesetanan seperti itu,” pungkas Marbun. (mora/smg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Perampas Motor Tewas Dimassa

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler