jpnn.com, JAKARTA - DPP Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) menyampaikan deklarasi gerakan lawan politik identitas saat merayakan Dies Natalis yang ke-69 di Gedung Perpustakaan Nasional, Jakarta (31/3).
Deklarasi tersebut disampaikan oleh Ketua Umum DPP GMNI Arjuna Putra Aldino sebagai sebuah sikap dalam menghadapi kontestasi politik 2024.
BACA JUGA: Anies Sebut Politik Identitas tidak Terhindari, Pengamat: Masyarakat Harus Hindari
Arjuna menyampaikan 3 poin yang menjadi perjuangan GMNI dalam menyikapi kompetisi Pemilu 2024.
Sebab, kata Arjuna, tak menutup kemungkinan akan diwarnai oleh isu primordialisme suku, agama, ras dan antargolongan (SARA).
BACA JUGA: Pernyataan Anies soal Politik Identitas Akan Picu Pertarungan Etnisitas di Pilpres 2024
"Komitmen anti-politik identitas perlu dimiliki oleh elemen pemuda mengingat demografi pemilih Indonesia saat ini didominasi oleh anak muda yang berusia 17-39 tahun," ungkapnya.
Dia menyebutkan populasi pemilih muda diprediksi mencapai sekitar 60 persen dari total pemilih pada Pemilu 2024. Untuk itu menurut Arjuna, keterlibatan pemilih muda dalam menangkal politik identitas sangat relevan dalam menghadapi ancaman politisasi agama.
BACA JUGA: ProGib Ingatkan Politik Identitas Merusak Sendi-Sendi Kehidupan Berbangsa
“Pemuda akan mendominasi demografi pemilih kita, peranannya sangat dibutuhkan untuk bergotong royong melawan politik identias yang bisa merusak keakraban kehidupan berbangsa dan bernegara”, ujar Arjuna
Selain itu, Arjuna juga menyampaikan narasi politik identitas yang berbasis agama dapat menguatkan pola pikir ekstrimisme yang berujung pada terorisme.
Praktik tersebut menurut Arjuna sudah banyak terjadi di negara-negara di sebagian belahan dunia, terutama Timur Tengah dimana disintegrasi terjadi akibat konflik suku, ras dan agama yang dipelihara sebagai alat politik meraih kekuasaan.
“Tentu kita tidak mau negara ini mengalami disintegrasi akibat politik identitas yang dijadikan sebagai alat politik meraih kekuasaan. Kita harus belajar dari Pilkada DKI 2017 yang telah menguatkan praktek intoleransi”, tambah Arjuna
Politik identitas dinilai sangat merugikan karena alih-alih menawarkan pengakuan, identitas moral, dan identitas kelompok kepada mereka yang merasa terabaikan, menurut Arjuna para pengguna politik identitas cenderung untuk lebih jauh mengembangkan perpecahan dengan hoaks/berita palsu melalui “media sosial” dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan maksimal bagi kepentingan mereka sendiri. '
Dengan bantuan buzzer, isu-isu politik identitas dibingkai, diamplifikasi serta disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial.
“Ada banyak argumen untuk menghalalkan praktek politik identitas. Mulai dari seakan-akan politik identitas itu sesuatu yang alamiah. Namun apabila politik identitas yang mengandung primordialisme ini terus menerus diamplifikasi di media sosial, maka bisa jadi bom waktu”, ucap Arjuna
Arjuna juga berpendapat politik identitas sangat berkontribusi mengikis rasionalisme pemilih.
Karena, pemilih lebih mempertimbangkan aspek sentimen/kesamaan primodial agama dibanding kualitas calon dan program kerja yang berdampak kesejahteraan sosial warga negara.
“Akibat praktek politik identitas perbincangan politik di ruang publik dipenuhi oleh variabel identitas seperti lebih menonjolkan apa latar belakang agama, suku dan ras. Dibanding melihat kinerja, track record hingga program penanggulangan kemiskinan. Diskusi rasional disumbat oleh isu identitas. Kita mesti lawan karena sama halnya dengan pembodohan”, pungkas Arjuna.
Berikut tiga poin deklarasi GMNI:
1. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia menolak segala penggunaan politik identitas yang mengeksploitasi primordialisme dan sentimen SARA dalam kontestasi Pemilu 2024
2. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku pejuang-pemikir pemikir-pejuang siap dan proaktif melawan di garda depan semua praktek penggunaan politik identitas baik di dunia maya maupun dunia nyata
3. Kami Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia selaku pejuang-pemikir pemikir-pejuang memilih untuk bergerak menciptakan lapisan pemilih rasional yang mengutamakan keberpihakan politik pada kesejahteraan rakyat kecil dalam konstestasi politik 2024 bukan pada pertimbangan sentimen primordial yang berbasis SARA.(mcr10/jpnn)
Redaktur & Reporter : Elvi Robiatul