30 Imigran Kabur, Sebagian Besar Korban Kapal Tenggelam

Rabu, 18 Januari 2012 – 11:21 WIB
PASURUAN - Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Surabaya di Raci, Bangil, Pasuruan, Jatim, kecolongan. Sebanyak 30 tahanan, yang sebagian merupakan imigran gelap korban kapal tenggelam di Prigi, Trenggalek, 10 Desember 2011 lalu, kabur.

Peristiwa itu merupakan kali kedua dalam dua pekan terakhir. Sebelumnya, Jumat lalu (6/1), tujuh imigran juga kabur meski tiga di antara mereka ditangkap kembali.

Belum ada keterangan resmi dari pihak rudenim tentang bagaimana para imigran itu kabur. Namun, data yang dihimpun Radar Bromo (Jawa Pos Group) menyebutkan, para imigran tersebut kabur dengan cara menggali terowongan di dekat saluran pembuangan (dekat bangunan gereja rudenim) hingga menembus luar tembok tahanan.

Anehnya, tak ada satu pun petugas rudenim yang mengetahui aksi mereka. Padahal, tahanan yang kabur itu sepertiga dari total tahanan yang berjumlah 90 orang.

Kaburnya para imigran tersebut kali pertama diketahui petugas Polsek Bangil. Senin malam (16/1) beberapa polisi yang sedang berpatroli merasa curiga saat melihat seorang asing di Jalan Raya Raci. Kala itu, jarum jam menunjuk pukul 23.45. Polisi lalu mendekati orang tersebut.

Setelah menginterogasi, polisi mengetahui dia adalah imigran yang baru saja kabur. Polisi kemudian mengembalikan imigran tersebut ke rudenim.

Ironisnya, hingga saat itu petugas di rudenim belum mengetahui beberapa imigran yang ditampung di tempat tersebut kabur. Setelah itu, suasa rudenim yang semula tenang mendadak gaduh begitu mengetahui hal itu.

Mereka bertambah kaget karena yang kabur bukan hanya satu, melainkan 30 orang. Petugas kemudian mendata siapa saja imigran yang kabur.  

"Anggota kami yang datang di rudenim mendapat kabar dari petugas bahwa ada 29 imigran lain yang kabur," terang Kapolsek Bangil Kompol Hadi Suryo, Selasa (17/1).

Petugas rudenim kemudian meminta bantuan polisi untuk mengejar mereka. "Malam menjelang dini hari itu juga polisi ikut mengejar. Hasilnya, kami mengamankan sebelas imigran," terangnya.

Kaburnya puluhan imigran di rudenim itu awalnya ditutup-tutupi. Ketika wartawan mengecek di rudenim kemarin pagi, beberapa pejabat di lembaga tersebut dikatakan tidak berada di tempat. Bahkan, pintu depan rudenim yang biasanya terbuka pagi itu tertutup rapat.

Para petugas di dalamnya menolak berkomentar. Alasannya, Iwan Rustiawan, kepala rudenim, sedang mengikuti diklat di Jakarta. "Nanti saja, nunggu Pak Iwan. Saya tidak punya kewenangan menerangkan," tutur salah seorang penjaga.

Kepala Divisi Imigrasi Kanwil Kemenkum HAM Jawa Timur Arifin Somadilaga menyatakan telah mendapat laporan dari rudenim di Raci. Pihaknya juga sudah menerima kronologi kaburnya 30 imigran tersebut.

"Memang, ada imigran di Rudenim Raci yang kabur. Tetapi, sebelas di antaranya diamankan lagi. Sementara 19 imigran yang lain masih dicari," kata Arifin.

Menurut dia, insiden itu terjadi karena minimnya petugas. "Kebetulan saat itu rudenim juga sedang diguyur hujan deras. Di dalam rudenim, jumlah imigran juga overload. Yakni, sekitar 90 orang," terang Arifin.

Padahal, kapasitas rudenim di Raci sejatinya hanya 60 orang. Mereka ditempatkan di bilik kamar yang tersedia. Sisanya menempati bangunan yang berada di dalam seperti musala dan gereja.

Berdasar catatan Radar Bromo, kaburnya 30 imigran tersebut merupakan yang keempat selama dua tahun terakhir. Pada 2010, lima imigran kabur. Kemudian, pada Februari 2011, delapan orang kabur "tiga di antara mereka ditangkap. Lalu, pada 6 Januari 2012, tujuh imigran kabur. 

Arifin Somadilogo menyatakan, karakter para imigran yang menjadi penyebab utama memilih kabur. Sebab, rudenim sebenarnya hanya berfungsi sebagai tempat "singgah" sementara sambil menunggu proses selanjutnya tuntas.

Nah, menurut Arifin, persoalan muncul tatkala antara imigran satu dan yang lain tidak ada kecocokan. Sebab, mereka yang berada di rudenim tidak hanya berasal dari satu negara. Tapi, mereka berasal dari beberapa negara seperti Iran, Yaman, Afghanistan, dan Iraq.

Hal itu yang pada akhirnya mengakibatkan di antara imigran terjadi ketersinggungan. Selain itu, tak sedikit imigran yang mengalami stres dan tertekan sehingga memincu terjadinya keonaran. "Itu pula yang terjadi di sini," terang Arifin.

Menurut dia, banyaknya imigran yang dititipkan di rudenim di Raci membuat sebagian penghuninya stres. Apalagi, ada tambahan imigran korban kapal tenggelam di Prigi, Trenggalek. Mereka itulah yang memiliki tingkat stres tinggi karena baru saja menjadi korban bencana.

Selama menghuni rudenim di Raci, para imigran itu merasa tertekan. Mereka merasa terasing di tempat baru. Apalagi, merasa impiannya menuju Australia sebagai negara yang memiliki kemudahan suaka serasa kandas.

Kondisi itulah yang membuat para imigran ingin kabur. Akhirnya berbagai cara mereka lakukan untuk keluar tahanan. Mulai melompati pagar kawat berduri hingga membuat galian di bawah bangunan seperti yang terjadi Senin (16/1) malam lalu itu. "Apa pun mereka (imigran) lakukan untuk keluar dari rudenim. Tujuannya, lari dan pergi ke negara yang diinginkan. Biasanya Australia," tutur Arifin.

Di sisi lain, petugas di rudenim tidak bisa bertindak berlebihan kepada para imigran yang berada di dalam. Alasannya, imigran bukanlah pelaku kejahatan seperti tahanan atau narapidana.

"Imigran ini hanyalah orang-orang yang dititipkan sementara waktu. Mereka dipelihara hingga kami mendapat petunjuk dari pusat apa yang harus dilakukan terhadap imigran tersebut," tutur Arifin.

Karena itu, jika imigran yang berada di dalam berbuat onar, petugas tidak bisa memberikan pukulan, bahkan peringatan. Sebab, jika petugas bertindak layaknya sipir penjara, dunia internasional akan menyoroti.

Dengan begitu, rudenim hanya bisa menunggu petunjuk dari pemerintah pusat. Apakah para imigran itu mau dikembalikan ke negara asal atau dialihkan ke rudenim yang lain di Indonesia. Biasanya, pengalihan imigran itu dilakukan apabila kapasitas rudenim sudah berlebih. Dan itu sebenarnya terjadi di Rudenim Surabaya yang berada di Raci, Bangil.

Menurut Arifin, sejak rudenim di Raci berdiri, sudah ada ratusan imigran yang dititipkan di sana. Selama itu pula banyak hal yang ditemui petugas. Termasuk menjumpai imigran yang stres berat hingga berbuat onar. Arifin mencontohkan 17 imigran yang menjadi korban kapal tenggelam.

"Ketika itu, imigran yang mayoritas dari Iran berbuat onar. Di hari pertama, ada yang sempat membakar kasur. Itu mereka lakukan karena stres," terang Arifin. Jika hal seperti itu terjadi, petugas hanya bisa menenangkan suasana. Petugas membujuk mereka supaya tidak berbuat onar sambil menjanjikan bahwa perjalanannya sedang diproses.

Petugas juga mencatat imigran dari Iran yang sering berbuat onar. Mereka sering tidak cocok dengan imigran asal negara lain. Tak ayal, pihak rudenim di Raci, pernah mengajukan permohonan kepada keimigrasian Jawa Timur agar memindahkan mereka ke rudenim yang lain.

Sudah berkali-kali pula, kata Arifin, petugas di Rudenim Surabaya di Raci dibuat kesal oleh imigran asal Iran. "Tetapi, sekali lagi, petugas tidak punya kewenangan menindak dengan sikap keras. Petugas hanya bisa membujuk supaya mereka tidak berbuat onar," tutur Arifin. Itulah mengapa petugas di rudenim tidak dibekali senjata walaupun sejenis tongkat sekalipun.

Terkait kaburnya 30 imigran dari Rudenim Surabaya di Bangil, Arifin menegaskan bukan hanya kesalahan petugas. "Jumlah petugas di tempat kami memang kurang dan jumlah imigran terlalu banyak," ucapnya. (fun/aad/jpnn/c4/nw)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Warga Terserang Penyakit

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler