Sekelompok pelaku dan profesional industri daging sapi asal Indonesia sedang berada di Queensland Barat. Kunjungan mereka adalah untuk belajar mengenai sistem produksi daging sapi di Australia.
Kunjungan ini merupakan bagian dari kursus intensif selama enam minggu yang digelar oleh University of New England dan pusat pelatihan peternakan Queensland Agricultural Training Colleges. Proyek ini didanai oleh Australian Indonesian Red Meat Partnership.
BACA JUGA: Kota Melbourne Bongkar Kunci Cinta dari Sebuah Jembatan
Ada 30 peserta asal Indonesia yang aktif bergelut di industri daging sapi. Mereka bermaksud untuk meningkatkan keterampilan mereka soal peternakan dan industri daging sapi.
Salah satu peserta adalah Muhammad Fatchurozi, yang akrab dipanggil Rozi. Ia bekerja di industri daging sapi jenis Wagyu di Indonesia.
BACA JUGA: Musim Dingin Sebabkan Kelelawar Bersarang di Loteng Rumah Warga Adelaide
"Kami telah belajar soal genetika, reproduksi, nutrisi ternak dan pemasaran di Australia," katanya. "Australia memiliki penjualan dan pemasaran lewat online, kami tidak memiliki sistem pemasaran seperti itu. Sehingga sangat baik bagi kita untuk belajar." Pelaku industri asal Indonesia saat sedang berada di peternakan Longreach, Queensland Barat. ABC: Chrissy Arthur.
BACA JUGA: Mayoritas Warga Australia Dukung Hak Aborigin Diakui di Konstitusi
Salah satu pelatihan yang dianggap Rozi paling bermanfaat adalah soal keterampilan perawatan dan pemeliharaan sapi dengan tingkat stress yang rendah. Ia mempelajari hal ini dengan mengunjungi langsung beberapa peternakan di Queensland Barat.
"Pemeliharaan ternak dengan tingkat stress yang rendah sangat penting di Indonesia, terutama karena saya bekerja di untuk upaya penggemukan dan pembibitan hewan ternak," katanya.
"Kita juga melihat fasilitas peternakan di sini yang sangat mengesankan, sangat efisien dan memungkinkan memproses ternak tingkat stres yang rendah."
Salah satu teknik penanganan tingkat stres rendah, yang menurut Rrozi bisa diterapkan di Indonesia adalah penggunaan alat khusus yang disebut calf cradle. Alat ini digunakan untuk mengangkut sapi.
"Saya pikir kita bisa menerapkannya di perusahaan kami. Saya akan menjelaskan kepada pimpinan saya, bahwa penggunaan calf craddle ini sangat efisien dalam hal waktu dan tingkat stress bagi hewan. Rozi (Kiri bawah) and Fifi (ketiga dari kiri bawah) bersama partisipan lainnya dari Indonesia di Longreach Pastoral College. Foto: ABC Rural, Lydia Burton.
Peserta lainnya adalah Vivy Eny Martuti, yang sering disapa Fifi. Fifi bekerja sebagai dokter hewan bagi pemerintah Indonesia. Ia juga kerap memiliki minat pada sapi Wagyu.
Fifi mengaku salah satu sekembalinya ke Indonesia, ia ingin mengawinsilangkan antara sapi lokal asal Madura dengan jenis Angus dan Wagyus.
"Saya ingin menggunakan inseminasi buatan untuk mengawinkan mereka," katanya. Fifi mengaku belajar banyak hal soal pertanian dari Australia.
"Inovasi sistem pertanian organik dapat diterapkan di Indonesia, hampir semua pengetahuan yang dapat diterapkan di Indonesia," katanya.
"Saya juga belajar tentang manajemen sapi di Australia dan penggunaan teknologi."
Para peserta melakukan pelatihan di University of New England, dan saat ini sedang menimba ilmu di Longreach Pastoral College.
Mereka juga telah menghabiskan waktu di kampus Emerald dan di peternakan terpencil di Queensland Barat.
Dr Gareth Kelly dari University of New England mengatakan Indonesia merupakan mitra dagang penting. Melalui program ini dapat membantu memperkuat hubungan kedua negara.
"Indonesia memiliki tujuan nasional untuk menjadi negara swasembada kebutuhan daging sapi, tapi tentu saja harus melewati jalan panjang sebelum sampai ke tingkat itu," katanya.
"Saya pikir ini akan membantu Australia sebagai mitra dagang yang tegas dan telah memiliki hubungan yang sangat baik dengan Indonesia."
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bahasa Inggris Pekan Ini: Are You Nuts?