356 Suara di DPR Dinilai Takluk Pada Ideologi Pasar

Sabtu, 31 Maret 2012 – 17:01 WIB

JAKARTA - 356 suara anggota DPR yang memilih menyetujui pasal 7 ayat 6 huruf a dalam RUU APBN Perubahan 2012, menunjukkan kuatnya ideologi pasar bebas yang telah mempengaruhi proses pengambilan keputusan di lembaga politik. Ketentuan yang memberi kewenangan kepada pemerintah untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi jika fluktuasinya mencapai 15 persen dalam enam bulan terakhir itu juga dianggap menihilkan perekonomian nasional yang diamanatkan UUD 1945.

Penilaian tersebut disampaikan pemerhati ekonomi dan kebijakan publik, Ichsanuddin Norsy, dalam sebuah diskusi terbatas di Jakarta, Sabtu (31/3). "356 suara itu bukan hanya mengabaikan putusan MK tentang pembatalan pasal 28 (2) UU 22/2001 (UU tentang Migas), tapi juga membuktikan negara kalah menghadapi dikte kekuatan modal," kata Noorsy.

Menurutnya, justru kini yang harus diwaspadai adalah korporasi minyak asing yang tengah menjalankan strategi penundukan Indonesia dalam hal pengelolaan  minyak dan sektor pertambangan lainnya. Noorsy menyebut menurunnya produksi minyak (lifting) nasional dan meningkatnya biaya pemulihan (cost recovery) dalam lifting, menunjukkan bahwa strategi itu sedang dijalankan.

Noorsy menilai strategi tersebut telah berhasil menciptakan kesadaran semu bahwa sumur minyak Indonesia tidak produktif di tengah industri otomotif yang terus merangsek pasar domestik dan keterbatasan infrastruktur. "Cara dan maksud 356 suara di DPR bersama pemerintah untuk memberdayakan ekonomi nasional justru mengindikasikan penyerahan kedaulatan ekonomi nasional kepada korporasi asing dan domestik," tudingnya.

Parahnya lagi, imbuh mantan anggota DPR dari Partai Golkar itu, peranan negara untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional dan menyejahterakan rakyatnya justru dialihkan ke korporasi pemburu rente. "Penyerahan kepada korporasi ini menjadi lengkap saat Pemilu Legislatif maupun Pilpres dibiayai oleh korporasi besar," ulasnya.

Yang tak kalah menyedihkan, kata Noorsy, pemerintah justru lebih bangga dan senang mempertahankan reputasi maupun kredibilitasnya di hadapan korporasi ketimbang kepada rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan negara. "Inilah jalan yang dipilih oleh Soeharto dan dilanjutkan oleh SBY. Jangan heran jika pemerintah selalu gagal menstabilkan harga dan selalu percaya diri utk membangun iklim investasi asing, ketimbang membangun iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yg bermartabat," paparnya.

Diingatkannya, perekonomian suatu negara yang didominasi oleh korporasi pasti akan membuahkan ketimpangan, pengangguran dan kemiskinan. "Sejarah sudah membuktikan soal itu," pungkasnya.(ara/jpnn)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Partai SRI Tuding PDIP Ingin Diskreditkan SMI


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler