jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Dedi Kurnia Syah menanggapi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang memberikan rapor merah empat tahun kepemimpinan Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Dedi mengatakan penilaian yang disampaikan LBH cenderung lebih banyak unsur opini dibanding pengukuran empiris.
BACA JUGA: Jusuf Kalla Dikabarkan Dukung Anies di Pilpres 2024, Qodari Sebut 3 Kekuatan
"Beberapa poin dalam rapor merah tersebut ada yang di luar kepakaran LBH. Kendati demikian, laporan LBH itu patut diapresiasi sebagai bentuk kritik," kata Dedi kepada JPNN.com, Kamis (28/10).
"Perlu ada catatan khusus, penataan ibu kota itu tidak sepenuhnya dibebankan pada kinerja pemerintah provinsi, tetapi ada porsi kewenangan pemerintah pusat," imbuhnya.
BACA JUGA: 2 Bus TransJakarta Tabrakan, Anies Sebut Bukan Peristiwa Sering Terjadi
Dedi menambahkan bahwa di era kepemimpinan Anies, kondisi Jakarta jauh lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya.
"Secara umum, kondisi Jakarta hari ini jauh lebih baik dan perubahan di Jakarta terlihat cepat jika dibandingkan periode kepemimpinan sebelumnya," ujar Dedi.
BACA JUGA: Lihat Nih, Anies Baswedan Membuktikan Telah Memenuhi Satu Janji Kampanye
Menurut Dedi, dalam periode yang singkat, Anies mampu membuktikan bisa membangun Jakarta lebih baik dari sebelumnya.
Memang pembangunan tersebut masih terdapat kekurangan. Seperti, yang paling menonjol adalah soal keterbukaan informasi, inovasi program dan kebijakan.
"Tidak semua dimulai dari ide Anies, tetapi dia hanya melanjutkan. Keberhasilan melanjutkan rencana kerja periode terdahulu, itu juga prestasi," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion itu.
Sebelumnya, LBH Jakarta meluncurkan rapor merah empat tahun kepemimpinan Anies selama memimpin Jakarta.
Dalam rapor itu terdapat sepuluh poin masalah di Jakarta yang dianggap gagal Anies selesaikan.
Kesepuluh poin itu, yakni pertama, buruknya kualitas udara di Jakarta.
Kedua, sulitnya akses air bersih di Jakarta akibat swastanisasi air.
Ketiga, penanganan banjir yang belum mengakar.
Keempat, penataan kampung kota yang belum partisipatif.
Kelima, ketidakseriusan Pemprov DKI Jakarta dalam memperluas akses terhadap bantuan hukum.
Keenam, sulitnya memiliki tempat tinggal di Jakarta.
Ketujuh, belum ada intervensi yang signifikan dari Pemprov DKI Jakarta terkait permasalahan yang menimpa masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kedelapan, setengah hati menangani pandemi.
Kesembilan, penggusuran paksa masih menghantui warga Jakarta, dan kesepuluh, pepesan kosong janji hentikan reklamasi. (cr1/jpnn)
Redaktur : Adek
Reporter : Dean Pahrevi