43,88 Persen Pelajar dan Mahasiswa Intoleran

Hasil Penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kamis, 09 November 2017 – 08:00 WIB
Seorang bocah membawa Bendera Merah Putih di Sungai Kalianyar, Solo, Kamis, 17 Agustus 2017. Ilustrasi Foto: Arief Budiman/Radar Solo/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Riset terbaru Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan 43,88 persen dari total 1.859 pelajar dan mahasiswa dikategorikan intoleran.

Sedangkan mahasiswa dan pelajar yang terindikasi radikal 6,56 persen.

BACA JUGA: Jangan Sampai Hasil Riset Jadi Tumpukan di Perpusatakaan

Riset yang dilakukan pada 1 September hingga 7 Oktober itu juga melibatkan 264 guru dan 58 dosen pendidikan agama Islam.

Responden yang tersebar di 34 propinsi itu ditentukan dengan teknik proportional sampling, kabupaten atau kota yang punya banyak sekolah diambil lebih banyak responden. Semua responden beragama Islam.

Direktur Eksekutif PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuturkan penelitian tersebut juga memperinci tingkat toleransi internal dan ekstrernal.

Internal ada toleransi antara muslim di lingkup aliran-aliran Islam. Sedangkan eksternal dimaksudkan hubungan toleransi antara umat beragama.

Hasilnya, ada 34,3 persen di kalangan siswa dan mahasiswa yang punya pandangan intoleransi eksternal. Sedangkan intoleransi internal mencapai 51,1 persen.

”Siswa dan mahasiswa lebih toleran pada penganut agama lain daripada kelompok yang dipersepsikan berbeda dengan mereka dari agama Islam. Misalnya Syiah atau Ahmadiyah,” ujar dia saat presentasi hasil penelitian di Hotel Le Meredien Jakarta, kemarin (8/11).

Dari penelitian tersebut juga diungkap penyebab intoleransi dan radikalisme di kalangan mahasiswa dan pelajar. Sikap itu dipengaruhi setidaknya tiga hal.

Yakni, pendidikan, sumber pengetahuan agama dari internet, dan persepsi tentang kinerja pemerintahan.

Di sekolah, pendidikan agama justru mempengaruhi agar siswa dan mahasiswa itu tidak bergaul dengan pemeluk agama lain.

”Pelajar atau mahasiswa yang punya akses internet juga cenderung intoleran dan radikal daripada mereka yang tidak punya akses,” ujar doktor alumnus University of Hawaii at Manoa itu.

Selain itu, responden yang menyatakan kurang puas dengan kinerja pemerintah di bidang hukum dan ekonomi juga punya pandangan intoleran dan radikal. Dia memastikan hubungan dua hal itu bukan sebab akibat.

”Jadi bukan karena mereka tidak puas pada pemerintah lalu menjadi intoleran. Tapi, responden yang terindikasi intoleran ternyata juga menyatakan tidak puas dengan pemerintah,” tambah dia.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin menuturkan sudah melakukan langkah-langkah pencegahan pada paham radikal dan intoleran.

Diantaranya dengan melatih guru dan pengawas tentang pengarusutamaan moderasi. Selain itu, ada pula lomba baca kitab kuning yang berorientasi pada pemahaman keagamaan yang moderat.

”Di perguruan tinggi membuat pusat kajian moderasi dan toleransi di perguruan tinggi. lembaga kajian islam wasatiyah di setiap PTAIN,” ungkap dia.

Di lingkungan pesantren langkah untuk pencegahan terhadap paham radikal juga dilakukan. Kemenag akan membuat standarisasi pendidikan pesantren.

”Pesantren akan distandarisasi kurikulum, SDM, dan sarana prasarana. Tujuannya untuk menscreeninng paham-paham radikal,” ungkapnya. (jun)

 


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler