5 Ribu Warga Belum Ditemukan, Diduga Tertimbun Lumpur

Selasa, 09 Oktober 2018 – 07:44 WIB
Sejumlah warga meninggalkan perkampungan di wilayah Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). Foto: HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS

jpnn.com, PALU - Arwan, warga Kelurahan Petobo, Palu Selatan, menolak wacana pemerintah menghentikan evakuasi di area terdampak likuifaksi Petobo. Dia masih berharap pemerintah melakukan penggalian.

Dengan demikian, kabar puluhan saudara dan kerabatnya yang sampai saat ini belum ditemukan menjadi jelas. ”Harus tetap digali karena banyak manusia di dalam (tanah, Red),” ujarnya saat ditemui Jawa Pos.

BACA JUGA: Tanah Berlumpur Telan Rumah Diduga juga Mengubur Korban

Berbeda dengan Arwan, tokoh masyarakat Petobo, Jasman, setuju dengan opsi menjadikan lokasi bencana sebagai kuburan masal. Sebab, bila tanah digali, belum tentu kondisi jenazah yang ditemukan nanti utuh. ”Kalau digali, nanti malah ada bagian tubuh yang ketarik dan akhirnya putus,” ungkapnya.

Jasman mengakui, masih banyak warga Petobo yang belum jelas kabarnya. Namun, dia menduga warga-warga itu terkubur di area permukiman yang kini telah rata dengan tanah tersebut.

BACA JUGA: Penerbangan Lion Air Group ke Palu Berangsur Normal

Hitungan Jasman, masih ada sekitar 4 ribu warga yang tertimbun di Petobo. ”Perkiraan yang tertimbun separo lebih,” papar Jasman.

Meski demikian, pihaknya akan tetap mengedepankan musyawarah bersama dengan warga-warga lain yang kini tinggal di pengungsian. Dari pertemuan itu, akan dicapai kesepakatan bersama. Apakah setuju penggalian atau tidak. ”Kami akan bicara dengan warga-warga di sini (Petobo, Red),” imbuh dia.

BACA JUGA: Dokter Keliling Prabowo - Sandi Bantu Korban Gempa di Palu

Sementara itu, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, kondisi pascalikuifaksi itu memang agak menyulitkan pencarian. Sebab, tinggi lumpur diperkirakan bisa sedalam 3 meter seperti di Petobo yang area terdampaknya mencapai 180 hektare.

Petugas pencari korban pun fokus untuk mencari di daerah yang timbunan lumpurnya hanya 1 meter atau di reruntuhan rumah.

”Daripada mengaduk-aduk (lumpur) 3 meter yang kita juga tidak tahu korban di mana. Pada saat likuifaksi rumah-rumah bergeser, bergerak, hanyut sambil tenggelam,” ujar Sutopo.

Di Petobo dan Balaroa diperkirakan masih ada 5.000 orang yang belum ditemukan. Tapi, pengakuan dari pengurus kelurahan itu perlu pendataan lebih lanjut dari petugas BNPB. ”Memang tidak mudah untuk mendata berapa pasti korban yang tertimbun oleh material longsoran maupun akibat likuefaksi. Evakuasi terus dilakukan,” ucapnya.

Bahkan, kondisi lumpur akibat likuifaksi di Jono Oge, Kabupaten Sigi, masih basah. Telah ditemukan 33 korban meninggal selama lima hari pencarian di area terdampak likuefaksi seluas 202 hektare. Sesuai rapat koordinasi di pos pendamping nasional pada Sabtu pagi (6/10), petugas membutuhkan sedikitnya enam ekskavator amfibi yang bisa mencari di area berlumpur.

”Kami meminta PU (Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Red) untuk mencari atau menyewa ekskavator amfibi. Ya, juga sulit nyarinya. Ya, kita berkejaran waktu dengan keterbatasan yang ada,” ungkap dia.

Masa tanggap darurat hingga Kamis (11/10) itu memang bisa diperpanjang. Bergantung pada hasil koordinasi dengan seluruh tim yang menangani bencana. Tapi, meski masa tanggap bencana disudahi, tidak berarti pencarian dihentikan seluruhnya. Tetap ada pencarian korban, tapi secara terbatas. Jumlah tim pencari dan alat berat tidak sebanyak saat tanggap darurat. Sebab, petugas juga akan ditugasi untuk membersihkan puing-puing akibat gempa.

”Karena dalam proses evakuasi, apalagi 14 hari, korban sudah meninggal dan kalaupun ketemu kondisinya juga tidak utuh. Oleh karena itu, dinyatakan hilang,” jelasnya.

Lokasi yang terdampak likuifaksi itu sangat mungkin tidak akan dijadikan perumahan kembali. Warga akan direlokasi di tempat yang lebih aman. Lokasi bekas likuifaksi bisa menjadi fasilitas publik. Contohnya, area terbuka hijau, hutan kota, tempat olahraga, fasilitas pendidikan yang bersifat umum, dan museum.

”Kita memerlukan bangunan seperti museum itu sebagai penanda yang selanjutnya masyarakat akan belajar banyak akan teredukasi. Kemudian, kita latihkan agar masyarakat siap menghadapi bencananya,” jelas dia. (elo/tyo/jun/c10/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Artris Korea Ikut Menyumbang untuk Palu dan Donggala


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler