Tanah Berlumpur Telan Rumah Diduga juga Mengubur Korban

Selasa, 09 Oktober 2018 – 07:35 WIB
Sejumlah warga meninggalkan perkampungan di wilayah Petobo, Palu, Sulawesi Tengah, Minggu (30/9/2018). Foto: HARITSAH ALMUDATSIR/JAWA POS

jpnn.com, PALU - Masa tanggap darurat pascagempa dan tsunami Sulawesi Tengah (Sulteng) berakhir Kamis mendatang (11/10). Keluarga berharap sisa beberapa hari masa tanggap darurat dapat dimaksimalkan untuk pencarian dan pengidentifikasian korban hilang yang diduga mencapai 5.000 orang.

Terutama yang berada di kawasan terdampak likuifaksi. Misalnya, Petobo dan Balaroa di Kota Palu serta Jono Oge, Mpano, Sidera, Lolu, dan Biromaru di Kabupaten Sigi. Tanah yang menjadi berlumpur pascagempa dan menelan rumah itu diperkirakan juga mengubur korban.

BACA JUGA: Bu Mega Berbagi Pengalaman soal Penanganan Bencana

Sebagian keluarga di Balaroa menyesalkan lambannya evakuasi dan identifikasi korban oleh pemerintah. Kondisi tersebut membuat keluarga terus menunggu dalam ketidakpastian.

Keresahan itulah yang dialami Tomo. Warga Perumnas Balaroa tersebut kehilangan ibu, dua adik, dan dua anak. Dia mengungkapkan, proses evakuasi lima anggota keluarganya itu dilakukan sendiri.

BACA JUGA: Bu Mega Lepas Pengiriman 60 Ton Bantuan PDIP untuk Sulteng

Hanya dibantu saudara dan para tetangga. ”Tidak dibantu petugas SAR,” jelasnya kepada Jawa Pos, Minggu (7/10). Dari proses evakuasi keluarganya itu, hingga kemarin Tomo belum menemukan Randi Saputra, anak keduanya.

Untuk menemukan anaknya itu, Tomo sudah berkeliling ke berbagai tempat pengungsian. Dia juga sudah mengecek beberapa pemakaman masal korban gempa yang dibuat pemerintah.

BACA JUGA: Megawati Harapkan Early Warning System Bencana Berjalan Baik

Dia menyesalkan soal tidak adanya proses identifikasi korban meninggal yang ditemukan tim SAR. Itu terbukti ketika dia berkunjung ke tempat pemakaman masal di Poboya kemarin. Dia datang ke tempat itu karena mendengar informasi ada pemakaman 30 jenazah anak. ”Saya tanya nama yang dikubur siapa tidak ada. Saya tanya ciri korban yang dikubur juga tidak ada,” jelas lelaki 45 tahun itu.

Dia menilai, seharusnya tim evakuasi mendata korban yang ditemukan. Jika identitasnya tidak ditemukan, paling tidak baju atau perhiasan yang dipakai dicatat. Kondisi itu perlu untuk menenangkan orang tua yang terus mencari anaknya.

Keterlambatan penanganan itu juga terlihat dari tidak hadirnya tim evakuasi sehari setelah Balaroa rata dengan tanah. Padahal, menurut Tomo, pagi setelah gempa terjadi, banyak korban yang sebenarnya masih hidup. Namun, mereka tidak bisa dievakuasi karena tidak adanya peralatan.

”Banyak yang minta tolong. Tapi, kami tidak bisa menjangkau,” jelasnya. Sehari setelah gempa, Tomo dan beberapa saudaranya berhasil mengevakuasi delapan korban. Tujuh di antaranya selamat.

Disinggung soal wacana pemakaman massal, Tomo tidak terlalu mempermasalahkan. Mau dijadikan pemakaman masal silakan. Tidak juga silakan. ”Yang pasti, kami butuh kejelasan. Di mana keluarga kami,” tuturnya.

Lurah Balaroa Rahmansyah mengatakan, hingga Minggu (7/10) setidaknya jenazah yang dapat dievakuasi mencapai 200 orang. Mereka tersebar di area titik reruntuhan seluas sekitar 10 hektare. Rahman memaparkan, desanya memiliki tiga area pemetaan. Yakni, wilayah Balaroa inpres, Balaroa perumahan, dan Balaroa kampung. Total penduduknya mencapai 13 ribu jiwa.

Wilayah paling terdampak berada di area Perumnas Balaroa. Dia belum bisa memberikan data terperinci mengenai jumlah penduduk yang selamat dan meninggal. Yang pasti, di area perumnas, penduduk Balaroa tercatat sebanyak 800 KK. ”Datanya belum bisa kami pastikan,” jelasnya.

Soal area perumnas yang dijadikan pemakaman massal, Rahman belum bisa memberikan jawaban. Soal itu, menurut dia, bergantung keputusan pemerintah pusat. Lurah hanya menjalankannya. (elo/tyo/jun/c10/agm)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Data Sementara, 2.300 Sekolah Hancur


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler