JAKARTA - Hasil kajian Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), memerlihatkan pemenuhan syarat minimal 30 persen perempuan dalam Daftar Calon Sementara (DCS) DPR RI, belum mencerminkan semangat keterwakilan wilayah dan representasi politik dari setiap daerah pemilihan (dapil).
Manajer Pemantauan (JPPR) Masykurudin Hafidz mengungkapkan hal tersebut karena dari 2.453 caleg perempuan dalam DCS, 1.231 orang di antaranya atau 50 persen beralamat di luar provinsi dapil di mana caleg yang bersangkutan ditempatkan oleh partai politik peserta pemilu 2014.
"Dari temuan kita, mayoritas caleg perempuan dalam DCS beralamat di Jabodetabek. Partai Hanura paling banyak caleg perempuan sentralistik, yaitu 139 orang dari 200 orang atau 70 persen," ujar Masykurudin di Jakarta, Minggu (30/6).
Posisi kedua diikuti Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), sebanyak 117 dari 196 caleg perempuan (60%). Kemudian Partai Golkar 120 dari 202 caleg perempuan (59%), Demokrat 120 dari 209 (57%), Partai Amanat Nasional (PAN) 117 dari 206 (57%), Gerindra 114 dari 199 (57%), dan PDI Perjuangan 108 dari 200 caleg perempuan (54%).
Posisi berikutnya ditempati Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 110 dari 210 caleg perempuan (52%), Partai Bulan Bintang (PBB) sebanyak 95 dari 205 (46%), Partai Nasional Demokrat (NasDem) 86 dari 227 (38%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 85 dari 206 (41%) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 20 dari 193 (10%).
Kondisi ini menurut Masykurudin, sangat mengkhawatirkan. Karena bercermin pengalaman Pemilu 2009 lalu, proses pencalonan dengan sistem proporsional terbuka bagi calon perempuan relatif lebih sulit, terutama saat kampanye dan mengawal suara perolehannya.
"Dengan melihat banyaknya calon perempuan yang berasal dari provinsi lain, potensi kecurangan Pemilu 2009 kembali bisa terulang di Pemilu 2014," ujarnya.
Karena itu ia menilai partai politik sebagai penanggungjawab penuh dalam kepesertaan pemilu, tidak boleh membiarkan caleg perempuan berkompetisi seorang diri secara bebas. Parpol menurutnya harus memberikan perlindungan dan pengawalan yang lebih, terutama pada saat kampanye dan pengawalan hasil suara yang diperoleh dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga penghitungan suara nasional.
"Tingginya potensi elektabilitas calon perempuan membuat partai politik harus mengatur strategi untuk mengawalnya," ujar Masykurudin.(gir/jpnn)
Manajer Pemantauan (JPPR) Masykurudin Hafidz mengungkapkan hal tersebut karena dari 2.453 caleg perempuan dalam DCS, 1.231 orang di antaranya atau 50 persen beralamat di luar provinsi dapil di mana caleg yang bersangkutan ditempatkan oleh partai politik peserta pemilu 2014.
"Dari temuan kita, mayoritas caleg perempuan dalam DCS beralamat di Jabodetabek. Partai Hanura paling banyak caleg perempuan sentralistik, yaitu 139 orang dari 200 orang atau 70 persen," ujar Masykurudin di Jakarta, Minggu (30/6).
Posisi kedua diikuti Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), sebanyak 117 dari 196 caleg perempuan (60%). Kemudian Partai Golkar 120 dari 202 caleg perempuan (59%), Demokrat 120 dari 209 (57%), Partai Amanat Nasional (PAN) 117 dari 206 (57%), Gerindra 114 dari 199 (57%), dan PDI Perjuangan 108 dari 200 caleg perempuan (54%).
Posisi berikutnya ditempati Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 110 dari 210 caleg perempuan (52%), Partai Bulan Bintang (PBB) sebanyak 95 dari 205 (46%), Partai Nasional Demokrat (NasDem) 86 dari 227 (38%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 85 dari 206 (41%) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 20 dari 193 (10%).
Kondisi ini menurut Masykurudin, sangat mengkhawatirkan. Karena bercermin pengalaman Pemilu 2009 lalu, proses pencalonan dengan sistem proporsional terbuka bagi calon perempuan relatif lebih sulit, terutama saat kampanye dan mengawal suara perolehannya.
"Dengan melihat banyaknya calon perempuan yang berasal dari provinsi lain, potensi kecurangan Pemilu 2009 kembali bisa terulang di Pemilu 2014," ujarnya.
Karena itu ia menilai partai politik sebagai penanggungjawab penuh dalam kepesertaan pemilu, tidak boleh membiarkan caleg perempuan berkompetisi seorang diri secara bebas. Parpol menurutnya harus memberikan perlindungan dan pengawalan yang lebih, terutama pada saat kampanye dan pengawalan hasil suara yang diperoleh dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) hingga penghitungan suara nasional.
"Tingginya potensi elektabilitas calon perempuan membuat partai politik harus mengatur strategi untuk mengawalnya," ujar Masykurudin.(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pers Diminta Profesional dan Proporsional Beritakan DPR
Redaktur : Tim Redaksi