60 Persen Taman Nasional Berbak Rusak Parah

Minggu, 22 April 2012 – 01:53 WIB

JAMBI – Memprihatinkan. Itulah kondisi terkini Taman Nasional Berbak (TNB) yang terletak di Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) dan Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat), Jambi. Taman seluas sekitar 162.700 hektare itu, kini 60 persen di antaranya mengalami kerusakan, akibat aksi pembalakan liar (illegal logging) sejak tahun 2001.

Menurut Arie Suriyanto, dari LSM Pemerhati Lingkungan Provinsi Jambi, kondisi itu kian bertambah parah bila tidak segera dilakukan tindakan tegas. Parahnya, aparat tak berdaya dan terkesan melakukan pembiaran terhadap pelaku penjarahan.

“Bila tidak segera dilakukan tindakan tegas, bukan tidak mungkin kerusakan kawasan taman nasional ini akan bertambah parah. Pihak berwenang kita nilai tidak berdaya, sehingga pencurian kayu di kawasan itu terus berlanjut,” ujarnya, kemarin.

Dijelaskan, dari luas TNB 162.700 hektare itu, sekitar 139.000 hektare di antaranya berada di kawasan Tanjabtim. Kerusakan 60 persen itu, kata dia, dikatagorikan dalam beberapa jenis, meliputi 40 persen kategori sangat parah dan sisanya 20 persen katagori ringan hingga sedang. “Memang kami lihat sudah ada upaya reboisasi, tapi belum mencapai harapan. Karena belum mengembalikan kondisi kawasan taman nasional ini,” katanya.

Arie menilai, aksi pembalakan liar di kawasan tersebut sangat terorganisir dan ada indikasi keterlibatan oknum aparat hukum dan pemerintah daerah. Celakanya, hampir tiap hari puluhan meter kubik kayu hasil olahan yang bersumber di kawasan TNB keluar dari sejumlah anak sungai dan bermuara di Sungai Batanghari.

“Setiap ada yang ditangkap, itu hanya pelaku di lapangan. Sementara aktor intelektual di balik kegiatan pembalakan liar itu belum terungkap. Ini harus menjadi catatan khusus bagi aparat hukum, supaya lebih tegas mengungkap kegitan pelanggaran hukum inii,” ujarnya.

Dia menambahkan, meski sering diadakan razia di kawasan TNB yang melibatkan pihak kepolisian dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi, upaya tersebut tetap saja bocor dan tak membuahkan hasil. “Perlu adanya upaya konkret dan menyeluruh. Harus ada niat baik mulai dari pemerintah dan kepolisian, sebab TNB merupakan salah satu warisan bagi anak cucu kita di masa mendatang,” tegasnya.

TNB memiliki keunikan ekosistem lahan basahnya yang merupakan satu kesatuan ekosistem hutan rawa gambut dengan luas dua pertiga bagian dan hutan rawa air tawar. Selebihnya kawasan pantai yang merupakan kawasan persinggahan burung-burung pada bulan-bulan tertentu setiap tahunnya.

Sebagai kawasan konservasi lahan basah yang masih asli dan unik serta kepentingannya bagi dunia internasional, maka melalui Keppres No. 48 tahun 1991 kawasan ini dimasukkan ke dalam kawasan konvensi Ramsar, yaitu perlindungan lahan basah secara internasional. TNB sebelumnya merupakan kawasan suaka marga satwa, penetapannya dilakukan sejak tahun 1935 oleh pemerintah Belanda.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi Trisiswo, dikonfirmasi mengatakan, pihaknya pernah mendengar selentingan adanya aksi pembalakan liar di kawasan TNB. “Tapi kita tidak bisa berbuat banyak, karena belum ada laporan dari pihak penanggungjawab, dalam hal ini Balai TNB. Jika ada laporan pasti kita lakukan razia dan penertiban,” katanya.

Menurut Trisiswo, kerusakan hutan bukan saja terjadi di taman nasional, melainkan hutan produksi dan lindung juag tak luput dari penjarahan. Bila tidak segera dilakukan tindakan nyata, dia memprediksi dari 1,2 juta hektare luasan hutan produksi dan hutan lindung di Provinsi Jambi, dua tahun kedepan bukan tidak mungkin akan habis.

“Saya memprediksi dua tahun ke depan luasan hutan produksi dan hutan lindung di daerah ini akan habis, akibat aksi pembalakan liar dan perambahan. Sementara, upaya operasi pemberantasan tidak bisa dilakukan secara maksimal, akibat keterbatasan yang ada,” katanya.

Menurutnya, dari luasan hutan produksi dan hutan lindung di Jambi, sekarang sudah mengalami kerusakan lebih dari 50 persen. “Kami tidak bisa berbuat banyak mengatasi masalah ini, karena keterbatasan anggota pengamanan hutan yang jumlahnya hanya sekitar 60 orang dan umumnya sudah lanjut usia, yakni rata-rata sudah berumur 40 tahun ke atas,” ujarnya.

Trisiswo juga mensinyalir, pelaku perambahan hutan yang terjadi di daerah untuk dijadikan kawasan perkebunan, banyak dilakukan para pejabat dan politisi dengan mengatasnamakan warga masyarakat lokal.

Sementara itu, Kepala Balai TNB Hayani, mengaku belum tahu persis kondisi tersebut, karena dirinya ditunjuk Kepala Balai TNB baru lima hari lalu. “Saya baru lima hari serah terima jabatan mas, jadi saya belum tahu secara persis, tapi ke depan pasti kita akan melakukan tindakan nyata, agar taman nasional ini tidak mengalami kerusakan lebih parah lagi, mulai dari segi penyuluhan hingga ketindakan hukum,” jelasnya.(mui)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Wagub Tolak Legalisasi Ganja, Setuju Lokalisasi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler