Keduanya dianggap sebagai tokoh penggerak massa serta pelaku perusakan dalam ‘kasus sampah’ beberapa waktu lalu yang cukup menghebohkan, hingga sampah berhamburan di halaman Rumah Negara sebagai bentuk protes warga tersebut.
Puluhan orang dari 4 RT tersebut, sebelumnya Jumat siang (19/10) melakukan aksi demo damai di depan Kantor Sat Reskrim Polres Fakfak. Mereka mendukung atas penolakan kedua tersangka untuk tidak memenuhi panggilan polisi.
Mereka beranggapan, bahwa polisi bertindak tidak adil. Intinya keduanya tidak boleh diperiksa setelah ditetapkan jadi tersangka. “Jika polisi memaksakan diri untuk menahan mereka berdua, maka saya sebagai pewaris tanah adat, akan memalang Kantor Distrik Kokas,” kata HH seperti yang dilansir Radar Sorong (JPNN Group), Senin (22/10).
Hal ini terbukti kantor distrik kokas saat ini sudah dipalang oleh pemilik tanah adat ini. Sedangkan AS menyatakan menolak panggilan polisi. “Saya menolak panggilan polisi ini,” tegasnya, seraya menunjukkan daftar orang yang siap ikut dipenjara, jika dirinya ditahan polisi.
Saat kasus sampah waktu itu, ratusan massa berdemo dengan menumpahkan sampah di halaman rumah rumah negara bupati, serta merusak 1 truk sampah. Masalah ini dipicu oleh pembuangan sampah oleh bagian kebersihan Pemda, yang membuang sampah di dekat pemukiman mereka.
Sumber terpercaya menginformasikan Sabtu sore (20/10) sekira jam 17.00 WIT keluarga besar Suaery telah melakukan pemalangan terhadap Kantor Distrik Kokas, yang berjarak 45 Km dari Kota Fakfak.
“Kantor Distrik Kokas telah dipalang jam 5 sore tadi oleh pemilik hak ulayat atas nama Roni Suaery, Thamrin Suaery, Badar Suaery dan Amin Jabir Suaery.“ Demikian isi SMS dari Amin Jabir Suaery kepada sejumlah media di Fakfak.
Dalam SMS ditambahkan, bahwa pemilik ulayat tidak akan membuka palang jika bukan Bupati dan Wabup sendiri yang turun ke Kokas, tanpa negosiator. (ret)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Hanya 10 Persen Rumah Ibadah di Batam Berstatus Legal
Redaktur : Tim Redaksi