jpnn.com, JAKARTA - Keanggotaan DPD (Dewan Perwakilan Daerah) periode 2019 – 2024 bakal didominasi wajah baru. Dari 136 caleg DPD yang mendapat peringkat empat besar di setiap provinsi, hanya 44 orang atau 32,35 persen yang berstatus petahana.
Selebihnya, 92 caleg atau 67,65 persen adalah wajah baru yang tidak ada di periode lalu.
BACA JUGA: DPD RI Mengkaji Dana Bagi Hasil Sektor Perkebunan Sawit
Beberapa petahana yang kembali lolos adalah Ratu Kesultanan Jogjakarta GKR Hemas, Nono Sampono, Maya Rumantir, dan Fahira Idris.
Sementara itu, wajah-wajah baru yang pada periode sebelumnya tidak ada di DPD antara lain Abdullah Puteh, Jimly Asshiddiqie, La Nyalla M. Mattalitti, hingga Sultan Tidore Husain Alting.
BACA JUGA: Hasil Rekapitulasi KPU, Ini Daftar Nama 19 Senator dari Sumut
Satu nama paling kontroversial dalam pencalonan anggota DPD adalah Oesman Sapta Odang. Dia harus mengubur harapan untuk bisa kembali menjadi anggota DPD. Karena menolak untuk melepaskan status pengurus Partai Hanura, OSO –sapaan Oesman– terdepak dari persaingan memperebutkan kursi DPD.
BACA JUGA: Pernyataan Dewan Adat Dayak terkait Isu People Power 22 Mei 2019
BACA JUGA: Fahira Ajak Warga Jakarta Dukung Pembangunan Stadion Persija Bertaraf Internasional
Kini ruang parlemen DPD benar-benar murni diisi tokoh nonpartai dan kader non pengurus partai. Sebab, MK dalam putusannya melarang pengurus partai ikut berkompetisi dalam pemilu anggota DPD.
Apabila masih ingin berkompetisi, dia hanya harus mundur dari jabatan di kepengurusan partai. Tidak ada kewajiban untuk mundur dari keanggotaan partai.
Kondisi tersebut disyukuri caleg DPD asal DKI Jakarta Jimly Asshiddiqie. ’’Dulu DPD mengalami parpolisasi. Sekarang harus dikembalikan ke tokoh-tokoh yang mewakili aspirasi dari daerah-daerah,’’ terangnya saat dikonfirmasi, Senin (20/5). Di antara 136 orang yang lolos, dipastikan tidak ada satu pun yang berstatus pengurus parpol.
Jimly mengingatkan, selama ini DPD terlalu sibuk mengurusi legislasi yang ujungnya berkelahi dengan DPR. Padahal, DPD punya sumber daya yang bisa lebih bermanfaat apabila berfokus memperjuangkan daerah.
’’DPD ini adalah fraksi terbesar di MPR,’’ lanjutnya. DPD pula yang memiliki kantor perwakilan di daerah, sedangkan DPR tidak punya.
Untuk saat ini, Jimly belum mau berbicara banyak soal apa saja yang diperjuangkan di DPD. Yang jelas, dia menekankan perbaikan di tubuh lembaga tersebut.
’’Semua daerah itu belum merasa ada gunanya DPD ini,’’ tutur mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu. DPD tidak boleh hanya bergantung pada pasal-pasal di UU.
Misalnya, DPD ke depan harus lebih mampu menjadi jembatan antara pemerintah daerah dan pusat. Jika perlu, mengusulkan garis-garis besar haluan negara (GBHN) maupun daerah. Meskipun, konsekuensinya adalah mengusulkan amandemen UUD 1945.
Jimly juga belum bersedia untuk berbicara mengenai peluang berebut jabatan ketua DPD. Alasannya, masa pelantikan anggota DPD lima bulan lagi. Menurut dia, tidak pas membicarakan jabatan, sedangkan para caleg yang lolos belum sah menjadi anggota DPD. Masih banyak waktu untuk mempersiapkan segala sesuatunya.
Sementara itu, Ketua KPU Arief Budiman menjelaskan, penetapan anggota terpilih DPD sangat bergantung pada ada atau tidaknya sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi. Apabila tidak ada sengketa, penetapan anggota terpilih DPD bisa dilakukan lebih cepat. Yakni, tiga hari setelah MK menyatakan tidak ada sengketa.
BACA JUGA: Rekrutmen PPPK Tahap II: Guru Honorer Nonkategori, Harap Sabar ya
Jika ada sengketa hasil pemilu, penetapan harus menunggu sampai ada putusan MK. ’’Tapi, itu tidak berlaku di semua provinsi,’’ ujarnya di KPU.
Apabila sengketa hasil hanya terjadi di empat provinsi, calon anggota DPD di 30 provinsi lainnya bisa ditetapkan sebagai anggota terpilih DPD. (byu/c19/fat)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Respons Anggota Komite III DPD RI Terhadap Revisi UU Narkotika
Redaktur & Reporter : Soetomo