Di tahun 1789, suatu penyakit menyebar di kalangan penduduk yang bermukim di Sydney Cove, meninggalkan mayat-mayat bergelimpangan di pesisir pantai. Ada yang percaya wabah ini sengaja ditularkan.

Di daerah La Perouse, kota Sydney, ada teluk kecil yang membentang di antara kawasan taman nasional dan pelabuhan peti kemas.

BACA JUGA: Sertifikat Vaksinasi COVID-19 menjadi Syarat Pembuatan SKCK

Pada musim panas, teluk Frenchman's Bay atau Kamay, ini biasanya dipenuhi anak-anak yang bermain di air, tercium bau kentang goreng, serta suara pesawat terbang di kejauhan.

Sebuah gua dangkal tersembunyi di ujung selatan teluk ini, terletak di bawah jalan.

BACA JUGA: Tiga Instruksi Pak Ganjar untuk Demak

"Kamu tidak tahu ada gua di sana, kan?" ujar tetua Aborigin setempat, Barbara Simms, yang dibesarkan di sebuah panti di dekat situ.

"Banyak sekali sejarah tersimpan di sana, banyak sekali kisah yang terjadi."

BACA JUGA: Tolong, Persediaan Darah di PMI Menipis

Saat ini, gua itu dipenuhi pecahan botol dan sampah lainnya. Tapi ceritanya begitu penting.

Selama ratusan tahun, gua seperti ini digunakan oleh penduduk asli untuk mengkarantina orang yang sakit.

"Mungkin orang juga mati di sini," kata Barbara, tetua suku Bidjigal, Gweagal, dan Wandi Wandian.

"Nenek moyang dari ayahku pasti menyaksikan semua yang terjadi di sini."

Ada wabah penyakit yang tak akan pernah dilupakan oleh orang Aborigin. Begitu dahsyat sehingga wabah ini diperkirakan telah membunuh setengah populasi penduduk asli di wilayah Sydney.

"Tempat kita duduk ini ada rohnya, ada di gua, di daerah ini, di tanah."

"COVID bukanlah pandemi pertama kami." Wabah tahun 1789

Keganasan wabah di daerah La Perouse ini terjadi pada April 1789, 16 bulan setelah Armada Pertama Inggris tiba di Australia.

Setelah berlabuh pertama kali di Botany Bay atau Kamay, sebanyak 1.500 penjajah dan narapidana asal Inggris dipindahkan ke Sydney Cove atau Warrane. Di situlah mereka mendirikan permukiman Eropa pertama di Australia.

"Melalui cerita turun-temurun kami mengetahui bahwa 11 kapal tiba dan dianggap mirip dengan pulau terapung," kata Nathan Moran, warga suku Biripi Thungatti dan Dirut Dewan Tanah Aborigin Metropolitan.

"Tapi di dalam pulau terapung itu ... mereka membawa sesuatu yang belum pernah kami temui sebelumnya."

"Tapi di atas pulau terapung itu, mereka membawa sesuatu yang tak pernah kami temui sebelumnya."

Pada bulan-bulan awal tahun 1789, mayat orang Aborigin mulai terlihat mengambang di sekitar Pelabuhan Sydney.

"Ada beberapa laporan berbeda yang mengatakan mayat Aborigin mengotori setiap celah dan teluk daerah pelabuhan," kata pakar sejarah Aborigin dari University of Newcastle, Profesor John Maynard, seorang warga suku Worimi.

Seringkali, mereka ditemukan di gua seperti yang ditunjukkan Barbara, tergeletak di samping sisa-sisa api unggun dan air.

Laksamana John Hunter, yang kemudian Arthur Phillip sebagai gubernur kedua New South Wales, menghabiskan sebagian besar waktunya mengamati dan menulis tentang wabah tersebut.

"Sangat mengerikan saat mengelilingi teluk-teluk kecil di pelabuhan ini, tempat yang dulunya sering dikunjungi oleh penduduk asli, gua-gua yang dulunya menjadi tempat berlindung dari cuaca buruk, sekarang terlihat, pria, wanita dan anak-anak tergeletak mati…

… ditinggalkan oleh kerabat mereka dan dibiarkan binasa dalam situasi tak berdaya.”

Pada saat itu, Gubernur Arthur Phillip memperkirakan sekitar setengah dari orang Aborigin di daerah Sydney Cove meninggal akibat wabah. Namun perkiraan setelah itu jauh lebih tinggi.

Sampai hari ini, cerita turun-temurun di kalangan penduduk asli masih mengisahkan bencana itu.

"Orang Aborigin menyebutnya 'setan Iblis'," ujar sesepuh suku Dharawal, Shayne Williams.

"Mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk secara spiritual. Mereka bisa saja menuding para penjajah yang datang dan mereka tidak salah."

Profesor Jakelin Troy, direktur penelitian penduduk asli pada University of Sydney, menjelaskan nama lain untuk penyakit ini dan gejalanya dapat ditemukan dalam bahasa lokal.

"Orang-orang Aborigin memberi istilah untuk gejala demam dan keringat dingin, bekas-bekas penyakit pada orang yang sembuh, dan kata-kata ini menyebar hingga ke tenggara Australia," kata Profesor Jakelin, warga suku Ngarigo. Penyakit misterius

Menurut Profesor John Maynard, penyakit yang menghancurkan penduduk asli Australia ini bukanlah penyakit misterius bagi para pendatang Inggris.

"Dokter Inggris yang ikut datang, dengan cepat menyatakan penyakit itu adalah cacar."

Cacar, yang disebabkan oleh virus variola, ketika itu sedang mewabah di seluruh dunia. Sangat menular dan mematikan.

Beberapa catatan dari kalangan penjajah menyebut penyakit cacar yang mewabah di kalangan orang Aborigin.

Perwira laut Watkin Tench misalnya, dalam catatannya mengaku melihat bintik-bintik yang "mirip dengan bintik yang disebabkan oleh cacar".

Namun ada yang meragukan apakah penyakit itu benar-benar cacar.

Kepada ABC di tahun 2010, Dr John Carmody dari Fakultas Kedokteran University of Sydney, berpendapat bahwa penyakit itu sebenarnya cacar air.

Tapi menurut pakar kesehatan masyarakat Dr Mark Wenitong yakin bahwa bukti-bukti cacar sangat kuat.

"Tampak seperti cacar dan menyerang seperti cacar dan hasilnya adalah tingkat kematian yang tinggi seperti cacar," kata warga suku Kabi Kabi ini.

Profesor Maynard mengatakan wabah itu menyebar dengan cepat ketika penduduk asli melarikan diri dan berusaha menghindarinya.

"Ketika mereka melarikan diri dari apa yang mereka saksikan di Sydney Cove, mereka justru membawa penyakit itu."

"Menyebar dengan cepat karena jaringan perdagangan, keluarga, dan budaya yang sangat kaya yang merambah negara ini."

"Beberapa dekade kemudian, para penjelajah yang menyelusuri Sungai Murray menemukan tulang-belulang orang Aborigin ini."

"Itulah sebabnya banyak pendatang bermukim ke daerah yang sangat rendah populasi orang Aboriginnya, atau kosong sama sekali, karena mereka semua telah tersapu oleh penyakit itu." Dari mana asal penyakit ini?

Bagaimana tepatnya penyakit cacar muncul di Australia pada tahun 1789, telah lama diperdebatkan. Catatan tertulis pun sangat terbatas.

Beberapa orang yang ikut dalam pelayaran Armada Pertama Inggris ke Australia diketahui memiliki bekas luka bopeng tanda infeksi sebelumnya.

Tapi tidak ada catatan yang melaporkan adanya orang yang terinfeksi cacar selama perjalanan mereka.

"Jika Anda mengidapnya, pasti ada gejalanya," kata Dr Wenitong.

"Anda tidak bisa menjadi pembawa cacar yang tidak diketahui."

Pendapat lain menyebutkan bahwa cacar mungkin dibawa oleh dua kapal Prancis yang tiba lebih dahulu dari armada Inggris pada tahun 1788, dipimpin oleh perwira angkatan laut La Perouse.

Tapi orang Prancis meninggalkan Botany Bay tak lama setelah tiba pada tahun 1788, dan menyisakan selisih waktu 12 bulan antara saat mereka pergi dan saat wabah pertama kali terlihat.

"Ada potensi yang dibawa oleh Prancis, tetapi urutan waktunya tidak sesuai," jelas Dr Wenitong.

Bahkan ada pula pendapat bahwa penyakit cacar berasal dari perdagangan Aborigin dengan pelaut-pelaut Makassar.

Tapi Dr Wenitong dan Prof. Maynard menjelaskan tak pernah ada cerita lisan tentang wabah di Australia utara. Di samping itu, populasi penduduk yang sangat jarang akan menyulitkan penyebaran virus cacar ke wilayah utara benua ini.

"Sulit untuk mempercayai bahwa setelah ratusan tahun perdagangan dengan orang Makassar (di pesisir Australia utara), tiba-tiba penyakit ini tiba di Sydney tepat pada waktu itu," jelas Profesor Maynard.

Mereka juga skeptis dengan pendapat bahwa penyakit cacar sudah ada di kalangan masyarakat Aborigin sebelum kedatangan orang Inggris.

"Orang Inggris telah mengalami penyakit cacar selama ratusan tahun sebelumnya," ujar Profesor Maynard.

"Pasti mereka tahu penyakit cacar bila melihat ada tanda bopeng pada penduduk asli. Mereka tak melihatnya sampai terjadi wabah."

Cerita turun-temurun dan catatan penjajah menyebutkan penduduk Aborigin sangat sehat sebelum era April 1789.

Nathan Moran mendengar cerita turun-temurun, betapa segala kehidupan orang Aborigin berubah sejak kedatangan Armada Pertama Inggris.

"Nenek saya menceritakan, sebelum kedatangan orang Inggris, tak satu pun penyakit yang tidak bisa ditangani, diobati atau disembuhkan."

"Hingga 26 Januari 1788, pulau terapung itu tiba dan membawa penyakit baru, sesuatu yang asing bagi rakyat dan bangsa kami." Cacar variola di dalam tabung

Meski tidak ditemukan catatan tentang siapa di Armada Pertama Inggris yang terinfeksi cacar, tapi ada sesuatu yang lain di atas armada itu: tabung-tabung materi cacar variola.

Menurut catatan Watkin Tench, tabung-tabung ini milik ahli bedah Dr John White.

Pada saat itu, materi cacar variola berupa nanah dan koreng dari orang yang telah terinfeksi cacar, digunakan sebagai bentuk imunisasi.

"Mereka akan menumbuk, nanah itu dan menyuntikkan ke kulit atau hidung Anda," jelas Dr Wenitong.

Apakah bahan biologis semacam ini bisa bertahan dalam perjalanan 250 hari melintasi lautan, telah lama diperdebatkan.

Beberapa sejarawan berpendapat bahwa kecil kemungkinan cacar dapat bertahan karena Armada Pertama melakukan perjalanan melalui daerah tropis.

Namun Dr Wenitong mengatakan meski cuaca hangat telah menghancurkan beberapa materi virus, bukan berarti semuanya tidak berguna.

Jadi, apa yang terjadi dengan tabung-tabung berisi materi cacar variola itu setelah kapal armada Inggris mendarat?

"Kami tidak tahu," ujar Profesor Maynard. "Tidak ada penjelasan lebih lanjut setelah itu."

Lantas muncullah pendapat bahwa materi variola sengaja digunakan untuk memusnahkan populasi penduduk Aborigin. Perang biologis Inggris

Sejumlah sejarawan tidak sependapat bahwa penyakit cacar sengaja disebarkan ke masyarakat Aborigin.

Namun, hal itu bukan pula contoh pertama orang Inggris mencoba melakukan perang biologis.

Pada tahun 1763, Inggris dianggap terlibat memberikan selimut dan sapu tangan yang terkontaminasi penyakit cacar kepada penduduk asli Amerika.

Saat itu sedang dilakukan kampanye militer untuk meredam pemberontakan penduduk asli melawan penjajah Inggris.

Tak lama setelah itu, Jenderal Sir Jeffrey Amherst yang bertanggung jawab dalam perang biologis itu, menyusun rencana serupa dalam sebuah surat kepada rekannya:

"Bisakah kita mengirimkan penyakit cacar ke suku-suku Indian yang belum terpengaruh itu? Kita harus menggunakan semua siasat dalam kekuatan kita untuk mengurangi jumlah mereka."

Bagi Dr Wenitong, kedekatan waktu antara kejadian di Amerika dengan kedatangan penyakit ini di Australia patut dicurigai.

"Ada tentara - setidaknya seorang tentara - yang pernah terlibat dalam perang di Amerika, yang melihat orang India terkena cacar, suatu perang biologis yang terdokumentasi dengan baik," katanya.

Tidak adanya narapidana atau penjajah Inggris yang tercatat menderita cacar selama wabah 1789 semakin meningkatkan kecurigaan.

Dia mengatakan penggunaan perang biologis terhadap orang Aborigin sejalan dengan kekerasan yang ditimbulkan selama Perang Perbatasan.

"Orang mungkin bilang ini cuma dugaan. Tapi hal itu tidak ada bedanya dengan meracuni sumber air atau menembak orang [dalam Perang Perbatasan]," jelas Dr Wenitong.

"Apakah mereka akan membunuh orang Aborigin tanpa pandang bulu? Ya, memang begitu."

"Ada orang-orang yang saat itu berpikir semuanya dibenarkan karena kami bukan bagian dari umat manusia."

Profesor Maynard juga menunjuk fakta adanya prajurit di Armada Pertama yang pernah bertugas di Amerika dalam Perang Pontiac dan kaitannya dengan tabung-tabung cacar variola.

"Tak akan pernah terpecahkan ... tapi tentu saja, bagi saya, hal itu cocok dengan bencana kemudian yang terjadi." Membangun kepercayaan

Nathan Moran menyebutkan banyak orang Aborigin sampai sekarang percaya bahwa penyakit cacar sengaja disebarkan oleh orang Inggris.

Dengan cara seperti itu, katanya, mereka mampu menjajah banyak bangsa di dunia Inggris melalui semboyan, "angkat senjatamu, pelurumu, dan jangan lupa penyakit cacarmu".

Shayne Williams mengatakan wabah tahun 1789 perlu dipelajari lebih teliti.

"Jika benar ada bukti-bukti bahwa penyakit cacar sengaja disebarkan kepada bang kami, maka hal itu akan mengubah seluruh sejarah bangsa ini."

Menurut Dr Wenitong, memahami wabah ini bukan semata untuk menambah pengetahuan tentang masa lalu Australia.

"Ketidakpercayaan yang terus berlanjut ini sangat besar." Penyakit cacar hanya permulaan

Terlepas dari dari mana penyakit itu berasal, dampaknya terhadap penduduk asli Australia sangat menghancurkan.

"Dengan satu atau lain cara, pandemi terjadi dari virus yang masuk ... dan hasilnya menimbulkan malapetaka bagi bangsa kami," kata Dr Wenitong.

Sejak tahun 1789, gelombang penyakit telah menyapu permukiman penjajah Inggris di Australia.

Penyakit influenza, campak, TBC, dan berbagai penyakit menular seksual akhirnya menyebar ke sini juga.

Tidak diketahui berapa banyak orang Aborigin yang tinggal di Australia sebelum tahun 1788, tapi perkiraan awal mencapai ratusan ribu orang.

Sejarawan Noel Butlin menyebutkan penduduk asli sekitar 1 juta orang sebelum kedatangan orang Inggris, tapi jumlah itu telah menurun drastis.

"Butlin memperkirakan dalam 60 tahun setelah kedatangan orang Inggris, populasi Aborigin Australia berkurang antara 60 hingga 90 persen," jelas Profesor Maynard.

"Bayangkan beberapa bom atom dijatuhkan ke Australia sekarang untuk memusnahkan manusia yang sama jumlahnya." Bukti ketangguhan

Menurut Profesor Maynard, tidak punahnya penduduk asli Australia hingga dari "serangan gencar seperti itu" menjadi bukti ketangguhan mereja.

“Kami masih berada di sini. Masih mempertahankan siapa kami, dari mana kami berasal … dan tentu saja membawa kebanggaan kami."

"Kami terhubung dengan tanah ini. Selalu begitu, akan selalu begitu."

Tapi di samping kelangsungan hidup orang-orang Aborigin, ada pula penderitaan yang berkelanjutan.

Profesor Troy mengatakan wabah penyakit historis memiliki dampak yang bertahan lama.

"Perkembangan hasil kesehatan yang buruk bagi orang Aborigin dimulai pada saat itu."

"Apakah orang sengaja diinfeksi, atau terjadi secara kebetulan, efeknya tetap sama: keadaan hidup yang berubah, ketidakmampuan untuk melanjutkan gaya hidup yang jauh lebih sehat."

Saat ini, tingkat harapan hidup orang Aborigin dan Kepulauan Selat Torres lebih rendah, tingkat kematian bayi lebih tinggi, dan tingkat penyakit fisik dan psikologis juga lebih tinggi.

"Sebagai pria Aborigin berusia 67 tahun ini, saya termasuk berumur panjang," ujar Profesor Maynard.

Upaya Australia menutup kesenjangan kesehatan antara pendatang dengan penduduk asli ini sangat lambat.

"Kami terus terpuruk dalam statistik kesehatan terburuk di negara ini. Semuanya mengarah kembali ke momen awal itu," ujar Profesor Maynard. 'Tak pernah bisa menghancurkan kami'

Barbara Simms berharap dapat belajar lebih banyak mengenai apa yang terjadi pada leluhurnya.

"Saya berharap bisa kembali ke masa lalu, duduk bersama orang-orang tua dan bertanya seperti apa, bagaimana penyakit itu mempengaruhi tulang mereka, mempengaruhi kulit mereka."

Dia percaya dengan memahami rasa sakit leluhurnya, dan daya tahan mereka, akan dapat membantu pemulihan pada masyarakat Aborigin.

"Sebagai orang Aborigin kami masih terus berjuang untuk mendapatkan perlakuan yang sama."

"Kalian tak akan pernah bisa menghilangkan ke-Aborginal-an saya. Kalian tak akan bisa menghilangkan semangat saya."

"Kami, rakyat ini, kalian tak bisa menghancurkan kami. Kalian mungkin bisa menekuk kami, tapi tidak bisa menghancurkan kami."

Artikel ini bersumber dari Patient Zero, serial delapan bagian tentang wabah penyakit. Kredit:

Editor dan produser digital:

Produser eksekutif:

Fotografi:

Videografi:

Penerjemah:

Arsip: National Museum of Australia, New South Wales State Library

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Klaster Baru Covid-19 di Solo, Gibran: 38 Santri Pondok Pesantren Positif

Berita Terkait