Ada Miskomunikasi Pemerintah dengan Pelaku Industri

Rabu, 06 Desember 2017 – 23:56 WIB
Kawasan Industri Batamindo. Foto: batampos/jpg

jpnn.com, JAKARTA - Kementerian Perindustrian dengan Kamar Dagang dan Industri berseberangan terkait dengan pertumbuhan ekonomi dalam bidang industri. Ada perbedaan persepsi terhadap paradigma industri nasional.

Hal itu terlihat dari keterangan yang disampaikan Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto saat menyampaikan orasi ilmiah dengan menyebut industri nasional mencapai peningkatan 20 persen sumbangan terhadap pendapatan negara dari tahun sebelumnya. Pencapaian itu yang kemudian mengakibatkan Indonesia masuk dalam 10 jajaran elit negara industri dunia.

BACA JUGA: Permen Jonan Dianggap Berupaya KemenESDM Terlibat Kelola BUMN

Politikus Golkar tersebut memaparkan bahwa kini Indonesia sudah bisa disejajarkan dengan Brazil. Sedangkan Inggris misalnya hanya menyumbangkan 10 persen terhadap pendapatan nasionalnya.

Airlangga menyampaikan, kinerja industri kembali di atas pertumbuhan ekonomi pada triwulan III tahun 2017.

"Ini merupakan momentum baik, yang harus dijaga bahkan perlu ditingkatkan lagi, seiring upaya pemerintah menciptakan iklim investasi yang kondusif dan kemudahan berusaha. Langkah ini perlu dijalankan secara sinergi di antara pemangku kepentingan," kata Airlangga pada Wisuda Universitas Muhammadiyah Malang ke-86 Periode IV Tahun 2017 di Malang, Sabtu (25/11).

Merujuk data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan industri non-migas tumbuh sebesar 5,49 persen atau lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5,06 persen pada triwulan III/2017.

Cabang industri yang mengalami pertumbuhan tinggi adalah industri logam dasar sebesar 10,6 persen, diikuti industri makanan dan minuman 9,49 persen, industri mesin dan perlengkapan 6,35 persen, serta industri alat transportasi 5,63 persen.

Berbeda dengan pendapat Ketua Umum Kadin Rosan Perkasa Roeslani. Menurutnya, kondisi ekonomi dalam bidang industri justru mengalami deindustrialisasi.

Rosan mengungkapkan, kontribusi sektor industri terhadap produk domestik bruto (PDB) menurun dibandingkan era 1990-an hingga awal 2000-an. Krisis keuangan global berimbas pada sektor industri nasional.

Menurut Rosan, pada tahun 2001, kontribusi sektor industri terhadap PDB mencapai sekitar 27 persen, namun angka tersebut menurun hanya menjadi 20,51 persen pada tahun 2016 lalu. Angka tersebut pula diharapkan meningkat pada tahun 2017 ini.

Artinya, sektor industri sebenarnya mengalami pertumbuhan, namun lebih lambat dibandingkan sektor-sektor lainnya. Hingga kuartal III 2017, sektor jasa masih menjadi andalan utama pertumbuhan ekonomi.

Faktor tersebut berbeda dengan karakter industri manufaktur yang memiliki daya serap tenaga kerja tinggi, serta dapat dibangun di mana saja sesuai potensi daerah.

"Industri memiliki potensi bersumbangsih bagi pemerataan pembangunan, menegakkan ekonomi masyarakat, hingga menggenjot ekonomi nasional," tutup Rosan.

Terpisah Fungsionaris Partai Perindo, Hendrik Kawilarang Luntungan menyatakan kedua institusi itu harus memiliki visi dan misi yang selaras. Dia mengingatkan Kemenperin agar turut melibatkan aktif Kadin dalam proses merumuskan sebuah rencana industrialisasi nasinal.

“Pemerintah kini memiliki Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN yang akan dilaksanakan rentang 2017-2026. Terhitung sejak 2016 porsi listrik industri di pulau Jawa-Bali adalh 67% dari porsi nasional. Jika, RUPTL ini berhasil maka pada tahun 2026 pasokan Jawa-Bali akan bertambah 39,1 Giga Watt. Meningkat sekitar 72,2% dari porsi nasional,” katanya.

Lebih rinci, Kawilarang menekankan, jika potensi surplus pasokan listrik itu tidak di persiapkan dalam upaya industrialisasi nasional, maka ini bisa menjadi serangan balik terhadap pemerintah di masa depan.

Karena, jika terjadi overproduksi energi listrik juga akan melahirkan problem-problem ekonomi-energi dimasa depan. Pemerintah akan menghadapi isu defisit keuangan dalam pengelolaan listrik dan isu pencemaran lingkungan, karena bertumpu pada PLTU batu bara.

Kawilarang melihat, perbedaan dalam melihat geliat industri masih adanya egosentris kelembagaan dan miskomunikasi antara pemerintah dan pelaku industri. Karena dalam pandangannya rezim Presiden Jokowi sangat membuka peluang tubuh pesatnya industrialisasi nasional.

“Pernyataan Menteri Airlangga terlalu muluk-muluk dalam pemaparan pencapaian, padahal kita tahu yang selama ini yang tumbuh bergerak adalah industri jasa, bukan industri manufaktur. Menteri Airlangga harus mampu menerjemahkan visi industrialisasi Presiden Jokowi. Sebaiknya, dimulai dengan membangun komunikasi dan penyesuaian visi-misi para aktor industri” katanya. (jpnn)


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler