Ada Pembersihan Etnis di Myanmar

Selasa, 23 April 2013 – 07:53 WIB
BANGKOK--Dugaan soal keterlibatan pemerintah dalam kerusuhan etnis di Negara Bagian Rakhine, pantai barat Myanmar, tahun lalu ternyata bukan isapan jempol. Human Rights Watch (HRW) Senin (22/4) membeber temuan mereka soal adanya pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam konflik antara etnis Rakhine yang beragama Buddha dan etnis Muslim Rohingya tersebut.

Organisasi internasional di bidang HAM yang bermarkas di New York, Amerika Serikat (AS), itu menyatakan bahwa kekerasan sektarian oleh warga Buddha Rakhine terhadap Muslim Rohingya itu merupakan aksi pembersihan atau pemusnahan etnis yang didukung pemerintah Myanmar.

Laporan HRW itu didukung oleh temuan adanya kuburan masal maupun pengusiran secara paksa Muslim Rohingya. Puluhan ribu warga Rohingya harus mengungsi ke negara-negara lain, termasuk ke Indonesia. Muslim Rohingya yang statusnya tidak diakui pemerintah Myanmar itu dilaporkan mengalami berbagai bentuk kejahatan seperti pembunuhan, diskriminasi, dan pengusiran.

Menurut HRW, aparat pemerintah, pemimpin masyarakat lokal, maupun para bhiksu (rohaniawan agama Buddha) ikut mengorganisasi dan mendorong massa agar melakukan serangan secara berencana ke wilayah permukiman Muslim di Rakhine pada Oktober tahun lalu. Aksi mereka didukung polisi atau aparat keamanan Myanmar.

"Pemerintah Burma (Myanmar, Red) jelas terlibat upaya pembersihan etnis Rohingya yang prosesnya berlangsung hingga hari ini. Caranya, mereka menutup akses bantuan kemanusiaan dari luar (negeri) dan melarang pergerakan warga Rohingya," papar Deputi Direktur HRW Asia Phil Robertson dalam keterangan pers di Bangkok, Thailand, kemarin.

Laporan HRW tersebut dirilis pada hari yang sama saat Uni Eropa (UE) dijadwalkan mengumumkan pencabutan semua sanksi atas Myanmar, kecuali embargo senjata. Robertson  menilai langkah UE itu prematur dan tak pantas diberikan kepada Myanmar. Bahkan, HRW menganggap keputusan itu bakal memperlemah pengaruh UE di mata pemerintahan Presiden Thein Sein.

Sanksi ekonomi tersebut temasuk pembekuan aset lebih dari seribu perusahaan Myanmar, larangan bepergian bagi pejabat pemerintah, dan larangan investasi UE di beberapa wilayah tertentu.

Robertson menyeru seluruh negara donor internasional, termasuk AS, supaya meningkatkan tekanan atas Myanmar agar terus mengupayakan reformasi demokrasi. "Situasi di Rakhine, kalau dibiarkan memburuk, akan mengancam upaya reformasi itu sendiri," jelasnya.

HRW menggarisbawahi bahwa meski pembersihan etnis bukanlah istilah hukum formal, tindakan itu biasa merujuk pada kebijakan yang dibuat suatu etnis atau kelompok tertentu untuk melenyapkan kelompok lain di suatu wilayah dengan menggunakan kekerasan atau teror.

Di Rakhine, menurut HRW, lebih dari 125 ribu Muslim Rohingya dan kelompok Muslim lainnya telah diusir secara paksa. Mereka juga tak mendapat akses terhadap bantuan kemanusiaan dan dilarang kembali ke rumah mereka.

Temuan HRW itu diperkuat video yang diperoleh oleh BBC. Dalam rekaman video itu, tampak keterlibatan aparat keamanan dalam rusuh di Meiktila, Provinsi Mandalay, bagian tengah Myanmar, bulan lalu. Rekaman amatir itu memperlihatkan polisi hanya berdiri dan diam menyaksikan massa Budha merusak toko emas milik warga Muslim. Dalam kekerasan Buddha-Muslim saat itu, 43 orang tewas. Seorang pria Muslim terbakar dalam rekaman tersebut.

Pemerintah Myanmar bereaksi keras atas laporan HRW itu. Jubir Kepresidenan Myanmar Ye Htut menuduh HRW sengaja merilis laporan tersebut bersamaan dengan rencana UE mengumumkan keputusan untuk mencabut sanksinya. "Pemerintah (Myanmar) tidak akan menggubris laporan seperti itu," katanya lewat akun Facebook miliknya.

Dia lantas menegaskan bahwa pemerintah Myanmar akan menunggu laporan dan hasil investigasi dari komisi resmi yang dibentuk untuk menyelidiki kekerasan itu. Laporan komisi tersebut sudah beberapa kali ditunda. (AFP/AP/RTR/cak/dwi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Ramai-Ramai Isap Ganja Untuk Desak Legalisasi

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler