jpnn.com, JAKARTA - Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigjen Pol Ahmad Nurwakhid menyebut, penganut radikalisme muncul karena adanya politisasi agama yang dilakukan kaum antipemerintah.
Dia menduga kelompok ini menjadi alat politik untuk mengumpulkan kekuatan sebagai oposisi pemerintah.
"Jadi, patut diduga ada simbiosis mutualisme antara politikus yang mempolitisasi agama dengan kekuatan gerakan radikal," ujar Ahmad Nurwakhid saat menjadi pembicara dalam acara 'Seruput Kopi' bersama pegiat media sosial Eko Kuntadhi, Jumat (26/3).
Menurut Ahmad, radikalisme sering kali mengatasnamakan agama, bahkan bukan monopoli satu agama tertentu.
BACA JUGA: Massa Pendukung Ricuh, Sebaiknya Sidang Rizieq kembali Digelar Secara Virtual
Radikalisme juga sering dipicu sikap intoleransi, kemiskinan dan kebodohan, pemahaman agama yang tidak benar, ketidakadilan sosial, ketidakpuasan politik, hingga rasa benci dan dendam.
“Karakteristik kaum radikal terlihat dari sikap intoleransi, ekslusif, klaim kebenaran, merasa dizalimi, hingga playing victim,” ucapnya.
Ahmad menegaskan radikalisme merupakan musuh agama dan negara.
Sebab, gerakan radikalisme merusak agama di satu sisi karena bertindak tidak sesuai dengan nilai-nilai beragama.
Selain itu, radikalisme yang menginginkan perubahan secara inkonstitusional adalah ancaman tersendiri bagi negara.
“Dari paham radikalisme ini pula lahir terorisme. Terorisme itu hilirnya, sementara radikalisme itu hulu. Semua teroris berpaham radikal, tetapi tidak semua radikal akan jadi teroris,” ucapnya.
Untuk itu, Ahmad meminta masyarakat waspada dan jangan takut. Karena ketakutan yang diharapkan terorisme dan radikalisme.
Pada kesempatan yang sama, mantan Komandan Negara Islam Indonesia (NII) Ken Setiawan menyebut radikalisme adalah politik berkedok agama dengan bentuk organisasi sebagai alat propaganda.
Pernyataan pendiri NII Crisis Center ini tidak lepas dari pengalamannya sebagai mantan komandan NII.
“Saat itu, bisa dikatakan saya mabuk agama. Mengkaji kitab suci sesuai kebutuhan. Misalnya, menghalalkan segala cara untuk menghimpun dana atas nama agama,” ucapnya.
Ken juga menyebut gerakan radikalisme cukup subur pada masa sebelum Joko Widodo menjabat sebagai presiden.
Dia menyinggung soal eksistensi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI).
“Pada masa pemerintahan sebelum Jokowi cenderung menerima kelompok seperti HTI dan FPI. Dua organisasi ini diberikan ruang untuk menunjukkan kekuatannya. Saya bisa katakan, ini tragedi kemanusiaan di atas agama,” ucapnya.(gir/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang