Ada Ritual Menolak Bala Pandemi di Lereng Merapi, Bagaimana Prosesinya?

Rabu, 02 September 2020 – 08:20 WIB
Keluarga Padepokan Tjipto Boedojo di kawasan Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menabuh gamelan "Uyon-Uyon Candi" sebagai pembuka tradisi "Suran Tutup Ngisor", Selasa (1/9). (ANTARA/Hari Atmoko)

jpnn.com, MAGELANG - Keluarga seniman petani Padepokan Tjipto Boedojo di lereng Gunung Merapi Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, mengadakan tradisi "Suran Tutup Ngisor" yang secara khusus dilakukan untuk menolak bala dari pandemi COVID-19.

Padepokan Tjipto Boedojo di Dusun Tutup Ngisor, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, sekitar enam kilometer barat daya puncak Gunung Merapi, didirikan pada 1937 oleh Romo Yoso Sudarmo (1885-1990).

BACA JUGA: Tugu Peringatan COVID-19, Senjata Terbaru Anies Baswedan dalam Memerangi Virus Corona

"Suran kali ini kami keluarga padepokan yang utama untuk tolak bala (dari pandemi, red.)," kata pemimpin padepokan itu, Sitras Anjilin (58), di sela pembukaan rangkaian tradisi "Suran Tutup Ngisor" yang berlangsung selama 1-3 September 2020 dalam suasana pandemi virus corona jenis baru tersebut.

Diketahui, keluarga besar padepokan tersebut hingga saat ini rutin menjalankan empat tradisi budaya yang bersifat wajib dikerjakan setiap tahun, yakni Suran, HUT RI, Idul Fitri, dan Maulid Nabi Muhammad SAW.

BACA JUGA: Kasus Positif COVID-19 di Jakarta, Lihat Jumlah yang Sembuh

Tradisi "Suran Tutup Ngisor" sebagai perayaan tahun baru dalam kalender Jawa, mereka lakukan setiap pertengahan Sura bertepatan dengan bulan purnama yang tahun ini jatuh pada 2 September 2020.

Prosesi "Suran Tutup Ngisor" yang diberi nama "Uyon-Uyon Candi" dibuka dengan penabuhan gamelan dengan tembang-tembang Jawa. Ritual ini  dilakukan di makam Romo Yoso di kompleks padepokan tersebut. Keluarga padepokan yang umumnya hidup sehari-hari sebagai petani di kawasan Merapi itu, menyebut makam Romo Yoso sebagai candi.

BACA JUGA: Alhamdulillah 17 Pasien Covid-19 Sembuh, Kepala Daerah jangan Kendur

Sejumlah gending yang mereka sajikan pada acara "Uyon-Uyon Candi" dalam suasana takzim pada Selasa (1/9) hingga menjelang tengah malam itu, antara lain berjudul Sri Wilujeng, Subokastowo, Ugo-ugo.

Kemudian, Sri Kacarios, Sri Rejeki, Asmarandana, Kutut Manggung, dan Pangkur. Selama perayaan, keluarga padepokan mengenakan pakaian adat Jawa. "Malam ini kami 'miwiti' (memulai rangkaian tradisi 'Suran', red.)," ucap Sitras.

Rangkaian tradisi "Suran Tutup Ngisor" yang tahun ini sudah ke-85, akan dilanjutkan pada Rabu malam ini (2/9) dengan pembacaan Surah Yasin, kenduri, pemasangan sesaji di perkampungan, tirakatan, persembahan panembrama, beksan Kembar Mayang, hingga puncaknya berupa pementasan wayang sakral dengan lakon "Lumbung Tugu Mas".

Pada Kamis (3/9), kegiatan itu dilakukan dengan kirab jatilan dan wayang topeng. "Kali ini kami tidak menghadirkan pementasan dari luar daerah. 'Suran' dilakukan oleh keluarga padepokan. Kami menyesuaikan dengan situasi (pandemi-red)," jelasnya.

Simbol-simbol tolak bala dari pandemi COVID-19 selain disajikan melalui doa para sesepuh padepokan pada pertengahan pentas wayang sakral, juga saat kirab jatilan mengelilingi kampung itu sebanyak tiga kali sambil membawa sejumlah alat dapur.

Tahun ini, saat kirab jatilan juga dilakukan penaburan beras kuning, selain pemukulan linggis menggunakan muntu dan penabuhan tampah memakai centong. "Suran tahun ini kami sertakan penaburan beras kuning saat kirab jatilan," kata dia.

Sitras menyampaikan pentingnya berbagai upaya untuk mengatasi COVID-19 beserta dampaknya agar kehidupan masyarakat normal kembali setelah sekitar enam bulan terakhir menghadapi pandemi virus tersebut.

"Termasuk terus-menerus dikuatkan kesadaran masyarakat untuk menaati protokol kesehatan," kata Sitras Anjilin.(Ant/fat/jpnn)

Video Terpopuler Hari ini:


Redaktur & Reporter : M. Fathra Nazrul Islam

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler