jpnn.com - JAKARTA – Sejumlah partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju akan membentuk KIM Plus dalam menghadapi Pilkada Jakarta 2024.
Arah KIM Plus ialah membentuk koalisi besar untuk memenangkan Ridwan Kamil sebagai bakal calon di Pilgub Jakarta 2024.
BACA JUGA: Pilkada Jakarta 2024: PKS Berpotensi Tinggalkan Anies Baswedan, Ini Penyebabnya
Menguat wacana Ridwal Kamil akan disandingkan dengan Kaesang Pangarep.
Muncul kecurigaan bahwa ada skenario besar mengadang Anies Baswedan dan merancang Pilgub Jakarta 2024 hanya diikuti satu pasangan alias calon tunggal, yang bakal melawan kotak kosong.
BACA JUGA: Hasto PDIP Menerima Laporan, Ada Upaya Menjegal Anies Maju Pilkada Jakarta
“Tiba-tiba gagasan tentang calon tunggal menguat jelang tahapan pencalonan dalam Pilkada akhir Agustus ini,” kata Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow dalam keterangan tertulisnya kepada JPNN.com, Jumat (9/8).
Menurut Jeirry, ada semacam siasat antara kekuasaan, parpol, dan calon tertentu untuk menang dalam Pilkada.
BACA JUGA: Romo Benny Ingatkan Demokrasi dalam Bahaya Jika Terjadi Calon Tunggal di Pilkada 2024
“Jadi ini adalah siasat mereka untuk mendorong orang-orang tertentu yang memiliki kedekatan emosional dan keluarga dengan mereka untuk menjadi calon tanpa lawan,” lanjutnya.
Aktivis pemantau pemilut itu menilai, calon tunggal merupakan mainan para penguasa untuk memperkuat dinasti politik mereka.
“Nanti kita akan lihat bahwa orang-orang yang akan dicalonkan kemungkinan besar memiliki kedekatan dengan para penguasa ini, baik pengusaha negara maupun pengusaha parpol.”
Karena itu, kata Jeirry, mereka cenderung mengambil jalan pintas dengan menghalangi calon baik yang memiliki elektabilitas tinggi.
Lebih lanjut dikatakan, fenomena calon tunggal adalah kecelakaan sejarah.
Sebab dibolehkannya calon tunggal dalam Pilkada membuka ruang bagi partai politik dan elite politik untuk mengatur siasat agar calon kepala daerah bisa mereka tentukan. Bukan lagi ditentukan oleh rakyat melalui Pilkada.
“Artinya dukungan partai terhadap paslon dibuat dalam koalisi gemuk sehingga yang muncul hanya bisa satu paslon.”
Fenomena ini, menurut Jeirry Sumampow, ditunjang dengan syarat rekomendasi partai politik harus dari pimpinan pusat parpol.
Akibatnya proses penjaringan dan pencalonan dari bawah yang dilakukan di daerah, tidak lagi bermakna. Sebab semua ditentukan oleh pusat.
Pimpinan pusat, kata Jeirry, bahkan bisa menetapkan calon yang tidak mengakar dan tidak dikenal rakyat di daerah itu untuk menjadi calon tunggal dengan dukungan koalisi parpol mayoritas yang ditentukan oleh pusat.
“Jadi calon tunggal bertentangan dengan prinsip demokrasi. Lewat calon tunggal ini, para elite kekuasaan mengebiri kehendak rakyat untuk kepentingan kekuasaan mereka saja. Mereka ingin mendapatkan kekuasaan dengan jalan demokrasi yang cacat.”
“Mereka ingin menduduki jabatan dengan memanipulasi suara rakyat tanpa rakyat menyadarinya.”
Jadi, menurut dia, seolah-olah demokratis padahal demokrasi yang dikebiri oleh para elite. Rakyat memang memilih, tapi memilih yang sudah mereka tentukan lewat prosedur yang dibajak.
“Karena itu, maka calon tunggal dalam pilkada harus dilawan. Rakyat harus bangkit untuk melawan pemilu yang dikebiri oleh para elite tersebut,” pungkas Jeirry Sumampow. (sam/jpnn)
Redaktur & Reporter : Soetomo Samsu