Romo Benny Ingatkan Demokrasi dalam Bahaya Jika Terjadi Calon Tunggal di Pilkada 2024

Kamis, 08 Agustus 2024 – 07:12 WIB
Pakar komunikasi politik Antonius Benny Susetyo atau akrab disapa Romo Benny mengingatkan demokrasi Indonesia dalam bahaya jika terjadi calon tunggal di Pilkada 2024. Foto: source for jpnn

jpnn.com, JAKARTA - Pakar komunikasi politik Antonius Benny Susetyo menyoroti potensi calon tunggal dalam Pilkada 2024 yang belakangan ini menjadi sorotan lantaran mengancam esensi dari demokrasi.

Sebab, seharusnya Pilkada menawarkan pilihan kepada masyarakat untuk memilih pemimpin yang paling sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.

BACA JUGA: Pilkada Grobogan 2024: Seruan PDI Perjuangan Munculkan Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong

Menurut Benny, implikasi dari fenomena ini tidak hanya memengaruhi kualitas demokrasi, tetapi juga kemampuan pemerintah dalam merespons masalah-masalah lokal secara efektif.

"Fenomena calon tunggal dalam Pilkada adalah sinyal berbahaya dari matinya demokrasi. Ketika hanya ada satu calon yang tersedia, proses pemilihan menjadi sekadar formalitas, menghilangkan kebebasan memilih yang merupakan hak dasar setiap warga negara," kata Romo Benny yang akrab disapa.

BACA JUGA: Ridwan Kamil Tinggal Pilih: jadi Calon Tunggal atau Bersaing dengan 2 Kawan

Keberadaan calon tunggal dalam Pilkada, kata Romo Benny, merupakan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya ada ruang bagi berbagai ide, visi, dan solusi untuk bersaing secara sehat demi kebaikan bersama.

"Demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang menawarkan alternatif pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk berpihak kepada kepentingan publik," tegasnya.

BACA JUGA: Eddy PAN Bantah Pembentukan KIM Plus Demi Menjegal Anies Baswedan di Pilkada Jakarta

Dia mengingatkan ketika hanya ada satu calon, pemimpin yang terpilih sering kali hanyalah karbitan yang tidak memiliki akar pada hak-hak dan persoalan yang dihadapi masyarakat.

Kondisi ini sangat berbahaya jika dipaksakan, karena pemerintahan yang dihasilkan tidak akan efektif dalam merespons persoalan-persoalan publik.

Romo Benny menilai pemimpin yang dipilih tanpa adanya kompetisi yang sehat cenderung kurang bertanggung jawab dan kurang memiliki visi yang jelas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Sebaliknya, mereka lebih cenderung mengutamakan kepentingan kelompok atau individu tertentu yang mendukung pencalonan mereka," ungkapnya.

Tak hanya itu, lanjut Romo Benny, calon tunggal mencerminkan adanya masalah struktural yang mendalam dalam sistem politik.

"Ini bisa jadi merupakan hasil dari dominasi kekuasaan oleh segelintir elit politik yang berupaya mempertahankan kekuasaan mereka dengan segala cara, termasuk dengan menghalangi munculnya calon-calon alternatif," ujarnya.

Jika dibiarkan, menurutnya, hal ini bisa menyebabkan erosi lebih lanjut terhadap kepercayaan publik pada proses demokratis dan pada akhirnya membawa kematian bagi demokrasi itu sendiri.

Esensi dari demokrasi, kata Romo Benny lagi, adalah partisipasi aktif dan pilihan yang bebas.

Ketika demokrasi kehilangan esensinya, sistem ini tidak lagi mampu memberi ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam menentukan calon pemimpin.

Masih kata Benny, partai politik yang seharusnya menjadi penyalur aspirasi masyarakat justru kehilangan kemandirian dan cenderung hanya mengikuti tren populer.

Fenomena calon tunggal menjadi bukti nyata hilangnya martabat demokrasi, karena pencalonan tersebut sering kali dilakukan dengan membeli dukungan partai-partai politik, bukan berdasarkan meritokrasi atau kemampuan calon tersebut.

Menurutnya, ketika kekuatan kapital dan kekuasaan overdosis, pilihan demokratis menjadi sulit kembali.

Masyarakat hanya disodori satu calon tanpa alternatif pemimpin, menciptakan kebuntuan politik yang merugikan.

"Kartel politik yang terlalu dominan mengakibatkan partai politik tidak mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang memiliki karakter dan kemampuan untuk memimpin rakyatnya," imbuhnya.

Benny mengungkapkan hal ini menyebabkan politik menjadi pragmatis yang pada gilirannya mengakibatkan ekosistem demokrasi mengalami persoalan yang sangat berat.

Padahal, lanjut dia, demokrasi mengharapkan partisipasi publik dan kemampuan para pemilih untuk menentukan pemimpin mereka.

"Sistem ini juga mengharapkan adanya berbagai pilihan pemimpin, bukan hanya satu orang. Dalam konteks ini, kita bisa merujuk pada pandangan Socrates yang dijabarkan dalam karya Plato. Socrates berpendapat bahwa seorang penguasa haruslah dipilih berdasarkan keahlian, kebajikan, pengetahuan, dan pemahaman mendalam tentang tugas-tugas pemerintahan," paparnya.

Dia menjelaskan pandangan Socrates ini relevan dengan kondisi demokrasi Indonesia saat ini.

Seorang pemimpin yang baik tidak hanya dipilih karena popularitasnya, tetapi juga karena karakter dan rekam jejak yang baik.

Pemimpin yang ideal adalah mereka yang memiliki tanggung jawab moral dan mampu menjalankan kebaikan sebagai landasan dalam mengatur wilayah atau daerah tempat mereka menjabat.

"Partai politik memiliki peran krusial dalam sistem demokrasi," sebut Benny.

Kata Romo Benny, parpol seharusnya bukan menjadi dealer kekuasaan, tetapi penyalur aspirasi rakyat.

"Sayangnya, dalam banyak kasus, partai politik lebih memilih untuk mengakomodasi nafsu melanggengkan kekuasaan daripada mencari dan mendukung calon pemimpin yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat," ungkapnya.

Ketika partai politik kehilangan kemandirian dan hanya mengikuti tren populer, mereka gagal menjalankan tugas utama mereka.

Mereka tidak lagi mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki karakter yang berpihak kepada kepentingan publik.

Akibatnya, masyarakat terjebak dalam pilihan-pilihan yang terbatas dan tidak mendapatkan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar mampu membawa kebaikan.

"Alternatif pemimpin adalah hal yang esensial dalam demokrasi," tegas Benny kembali.

Benny mengatakan dengan adanya beberapa pilihan, masyarakat dapat menentukan pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan mereka dalam menyelesaikan problem-problem masyarakat.

"Ketika hanya ada satu calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih," jelasnya.

Masyarakat hanya dihadapkan pada satu pilihan tanpa alternatif yang berbahaya bagi kesehatan demokrasi.

Benny menambahkan demokrasi yang sehat membutuhkan ruang bagi munculnya berbagai alternatif pemimpin.

"Partai politik harus mampu menghadirkan calon-calon yang memiliki karakter dan kemampuan untuk memimpin rakyat," tambahnya.

Parpol harus bekerja sama dengan masyarakat untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat dan memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil.

"Untuk mengembalikan esensi demokrasi, kita harus memastikan sistem Pilkada memberikan ruang bagi munculnya berbagai alternatif pemimpin," terangnya.

Partai politik harus memiliki kemandirian dan tidak terjebak dalam kepentingan kapital dan kekuasaan.

Parpol harus mampu menghadirkan calon-calon pemimpin yang berkualitas dan memiliki karakter yang berpihak kepada kepentingan publik.

"Pemerintah dan masyarakat juga harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat. Pemerintah harus memastikan proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil, tanpa intervensi dari kelompok kepentingan tertentu," pesannya.

Benny juga mengingatkan masyarakat harus aktif terlibat dalam proses politik dan tidak hanya menjadi penonton.

Masyarakat harus kritis dan memilih pemimpin berdasarkan kualitas dan kemampuan, bukan hanya berdasarkan popularitas.

"Fenomena calon tunggal dalam Pilkada merupakan ancaman serius terhadap kualitas demokrasi kita," tegasnya kembali.

Sebab, lanjut dia, Demokrasi yang sehat membutuhkan alternatif pemimpin yang berkualitas.

"Ketika hanya ada satu calon, masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar berpihak kepada kepentingan publik," tambahnya.

Partai politik harus memiliki kemandirian dan tidak terjebak dalam kepentingan kapital dan kekuasaan.

"Kita harus bekerja sama untuk mengembalikan esensi demokrasi, memastikan bahwa proses Pilkada berjalan dengan jujur dan adil, dan masyarakat aktif terlibat dalam proses politik," imbaunya.

Tanpa adanya kompetisi, lanjut Benny, calon tunggal tidak memiliki insentif untuk berinovasi atau memperbaiki diri, karena ketiadaan pesaing yang dapat menantang dan menguji kapabilitas serta kebijakan yang ditawarkan.

"Hal ini dapat berujung pada pemerintahan yang stagnan dan kurang responsif terhadap kebutuhan masyarakat," pungkasnya. (mar1/jpnn)

Yuk, Simak Juga Video ini!


Redaktur & Reporter : Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler