jpnn.com, JAKARTA - Politikus PDI Perjuangan Adian Napitupulu menyoroti kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Ia bahkan membandingkan besaran utang perusahaan-perusahaan pelat merah itu, jauh lebih tinggi ketimbang total utang luar negeri Malaysia.
Adian menyebut total utang perusahaan milik negara yang kini di bawah koordinasi Menteri BUMN Erick Thohir, telah mencapai Rp 5.600 triliun. Sementara total utang luar negeri Malaysia hanya ada di kisaran Rp 3.500 triliun.
BACA JUGA: Adian Napitupulu Mendadak Dipanggil ke Istana, Ada Apa?
Adian mengungkapkan pandangannya dalam sebuah tulisan panjang yang diberi judul 'BUMN dan UMKM Dalam Cerita dan Angka, Siapa Pahlawan Sesungguhnya?'
Tulisan tersebut diterima jpnn.com, Jumat (12/6) siang. Berikut sajian lengkapnya:
BACA JUGA: Adian Napitupulu Minta Artis, Selebgram hingga Pejabat Lakukan Hal Ini
Mana yang lebih banyak, utang BUMN atau utang luar negeri Malaysia? Jangan kaget ya, total utang BUMN sekitar Rp 5.600 triliun, sementara total utang luar negeri Malaysia ada di kisaran Rp 3.500 triliun.
Prok.... prok .... Ayo tepuk tangan karena BUMN ternyata juara, unggul Rp 2.100 triliun mengalahkan Malaysia. Mungkin ada yang coba ngeles dengan membedakan asal utang, tetapi utang mau dari tetangga, dari mertua atau dari Bank, utang ya tetap saja utang.
BACA JUGA: Panas! Jet Tempur AS Sergap Bomber Rusia Berkemampuan Nuklir
Kenapa utang BUMN sedemikian besar? Ada yang bilang karena korupsi, ada yang katakan karena tidak efisien, tidak produktif dan lain lain.
Tanggal 5 Desember 2019, di media, Erick Thohir sempat "mengeluh" bahwa BUMN banyak diisi pensiunan. Konon di media, menurut Erick itu tidak sesuai dengan visi misi Presiden. Erick juga menjelaskan bahwa 58 persen penduduk Indonesia diisi angkatan muda (menurut PP 45/2015 usia pensiun itu 56 tahun) Mungkin saja ini menjadi sebab tidak produktif nya BUMN.
Lalu apa yang kemudian di lakukan Erick terkait para pensiunan di BUMN? Apakah ia akan mengganti para pensiunan itu dengan generasi yang lebih muda?
Eng ing eeeeng... 19 hari berikutnya, tepatnya 24 Desember 2019 Erick Thohir mengangkat Zulkifli Zaini yang berusia 64 tahun menjadi Dirut PLN.
Berikutnya, 17 Febuari 2020 Erick Thohir mengangkat Abdul Ghani di usia 61 tahun menjadi Dirut PTPN 3. Selanjutnya 29 Mei 2020 Erick Thohir mengangkat Krisna Wijaya yang berusia 65 tahun menjadi Komut Danareksa. Jreeeng.....
BUMN kembali di isi para Pensiunan dan yang muda kembali tersingkirkan. Memang lidah tak bertulang.
Beberapa waktu lalu pemerintah sudah setuju memberi dana talangan lagi ke BUMN sebesar Rp 152 triliun. Lucunya, beberapa BUMN yang dapat dana talangan adalah BUMN yang sudah go publik.
Salah satunya Garuda Indonesia sebesar Rp 8,5 triliun. Di Garuda, pemerintah punya saham sebesar 60 persen. Sisanya dimiliki pihak swasta, salah satunya dimiliki Chairul Tanjung sebesar 25,6 persen.
Di sini, ada yang aneh dan membingungkan. Logika perusahaan go-publik ketika butuh dana segar setidaknya ada dua pilihan. Pertama, mencari pinjaman. Kedua, menambah/menerbitkan saham baru.
Lucunya, status Rp 8,5 triliun yang di dapat Garuda ini tidak jelas diberikan sebagai apa. Apakah sebagai pinjaman atau penambahan modal (saham) negara.
Dalam PP 23/2020, tidak dikenal istilah pinjaman negara. Ketentuan hanya mengatur PMN, Penempatan Dana (tidak bisa diluar Perbankan), Investasi atau Penjaminan. Ketika negara memberikan uang pada Garuda dari anggaran PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional) maka tidak ada pilihan pemberian tersebut harus dalam bentuk PMN atau Investasi.
Ridak bisa yang lain, kecuali pemerintah nekad menabrak PP yang dibuatnya sendiri, dan itu adalah pelanggaran hukum yang tentunya sedang ditunggu para penggemar Impeachment.
Menteri itu untuk memecahkan masalah bukan membuat masalah.
Kalau pemberian uang itu masuk pada kategori PMN atau investasi, maka konsekuensi hukum yang timbul adalah persentase saham pemilik saham yang lain bisa tergerus atau delusi.
Sebagai contoh, jika pemerintah memberi PMN Rp 8,5 triliun, maka bisa jadi 25,6 persen saham milik Chairul Tanjung berkurang tinggal 8 persen, 5 persen atau mungkin di bawah itu.
Boleh jadi karena manisnya rayuan atau wabah Corona, pemerintah agak kurang fokus dan kurang jeli menegaskan status dana talangan itu. Yang penting bagi pemerintah adalah mencegah Garuda bangkrut agar tidak terjadi PHK besar besaran.
Mencegah PHK besar besaran di Garuda, maka Erick Thohir tanggal 3 April 2020 memanggil Dirut Garuda. Saat itu Erick Thohir minta agar Garuda tidak melakukan PHK.
Pada bulan yang sama, Presiden Jokowi juga meminta pengusaha (termasuk BUMN) tidak melakukan PHK. Kira kira 27 hari kemudian yaitu 30 April, Dirut Garuda mengajukan syarat, PHK bisa dicegah asal ada relaksasi financial.
Mungkin berniat menjawab keinginan Garuda, maka 18 hari kemudian, tepatnya19 Mei 2020, Menteri Keuangan menjanjikan dana talangan untuk Garuda sebesar Rp 8,5 triliun, jauh lebih menguntungkan dibanding relaksasi financial.
Gedubrakkk.... setelah diminta jangan ada PHK oleh Presiden Jokowi dan Erick Thohir, lalu dana talangan Rp 8,5 triliun direncanakan oleh Sri Mulyani, kenapa yang terjadi justru PHK dan perumahan serta penderitaan massal di Garuda.
Pada 17 Mei 2020, sekitar 400 pramugari dirumahkan. Kemudian 1 Juni 2020, sekitar 181 pilot di PHK dan 2 Juni lalu sebanyak 800 karyawan Garuda dirumahkan.
Bahkan, berdasarkan surat JKTDZ/SE/70010/2020 sejak April hingga saat ini, Garuda menunda dan memotong besaran 10 persen hingga 50 persen gaji sekitar 25 ribu karyawannya.
Lho.... lho..... Lalu rencana dana talangan Rp 8,5 triliun itu sesungguhnya untuk menyelamatkan siapa? Menyelamatkan Garuda, menyelamatkan karyawan atau jangan jangan menyelamatkan sekitar 40 persen saham yang dimiliki swasta?
Hal yang lebih membingungkan, dari rangkaian derita karyawan Garuda ini, terjadi karena menteri tidak menjalankan permintaan Presiden? atau ditektur utamamya tidak menjalankan permintaan menteri?
Sulit menjawab ini, tetapi terlepas siapa yang membangkang pada siapa, yang pasti sudah banyak karyawan Garuda di PHK, dirumahkan dan menderita karena gaji dipotong dan ditunda.
Apakah PHK hanya dilakukan Garuda? Tidak !! Selain 181 Pilot Garuda, PHK terhadap 359 pekerja juga terjadi di PT Aerofood (anak Perusahaan Garuda).
Sebanyak 490 pekerja di PT INKA dan aroma PHK massal juga tercium akan segera susul menyusul terjadi di berbagai BUMN lain.
Mandiri misalnya, sudah lempar wacana hanya mempertahankan 20 persen kantor cabang dan menutup sekitar 2000 kantor cabang. Andai tiap kantor cabang ada lima karyawan saja, berarti yang terancam PHK bisa jadi mencapai 10 ribu orang.
Pengurangan BUMN dari 141 menjadi 107 lalu menjadi 80-an BUMN, penutupan anak dan cucu BUMN yang sebentar lagi dilakukan, juga semuanya sangat potensial berbuah PHK.
Presiden Jokowi menegaskan berkali kali untuk berusaha agar tidak terjadi PHK karena sebab apa pun, tetapi BUMN justru berancang ancang perampingan dengan konsekuensi PHK massal di masa pandemi Covid-19.
Kembali pada rencana dana talangan Rp 152 triliun. Dana itu digunakan untuk apa sesungguhnya? Kalau untuk tetap membuat BUMN bertahan hidup, kenapa ketika sudah ada rencana dana lalu terjadi PHK sekian banyak?
Kalau ada dana talangan, seharusnya yang sekarat bisa dibuat kembali sehat, yang sudah sempoyongan bisa kembali berdiri tegak. Ini yg terjadi justru sebaliknya, dana talangan cair tetapi sekian banyak anak cucu justru ditutup.
Membingungkan dan sulit mencari jawabannya, atau jangan-jangan apa yang disampaikan oleh salah satu anggota DPR Komisi XI Kamrrusamad, mungkin saja benar. Yaitu untuk memuluskan pencapresan di Pemilu 2024.
Kalau dibilang untuk pencapresan nanti, bisa debatable, tetapi serangkaian video dari pembagian sembako sampai deklarasi di hotel, tentunya agak sulit untuk dibantah.
Apalagi konon rumornya, ada yang membuat deklarasi untuk mendukung seorang menteri jadi capres 2024. Tak lama kemudian pelaksana deklarasi diangkat menjadi komisaris salah satu BUMN. Hmmm.. teori baru nih, cara cepat menjadi komisaris.
Sebelum masuk pada sedikit cerita dan angka terkait UMKM, ada baiknya juga situasi covid menjadi momentum yang bagus untuk presiden melihat lebih jernih kinerja para menterinya dan bisa menggunakan hak konstitusionalnya untuk melakukan evaluasi kabinet.
Setelah cerita dan angka tentang BUMN, Sekarang mari kita bandingkan dengan UMKM.
Tahun 1998 ketika terjadi krisis ekonomi, banyak perusahaan besar yang tutup, bank bangkrut, pabrik gulung tikar. PHK merebak di mana mana.
Ketika situasi semakin buruk dan mencekam, para pengusaha besar itu berlomba cari aman dengan pergi keluar negeri. Siapa pelaku ekonomi yang tersisa dan bertahan di Indonesia saat itu?
Jawabannya adalah UMKM. Mulai dari pedagang kaki lima, warteg, warung kelontong, penjual sayur keliling, pedagang bubur ayam dan sektor usaha mikro dan kecil lainnya.
Ya, mereka yang tersisa, yang setia menjaga agar roda ekonomi negara tetap berputar. Ketika situasi kembali membaik, banyak pengusaha besar itu pulang lagi ke Indonesia dan berdiri di depan seolah pahlawan, kembali berkoar, atur sana atur sini.
Situasi ekonomi serupa sedang terjadi saat ini. Pabrik, kantor, bank, mall, bioskop, tempat hiburan semua tutup. Ekonomi melemah, PHK menurut kadin sudah tembus 6 juta orang, defisit mencapai Rp 1.039 Trilyun.
Serupa tetapi tak sama dengan tahun 1998 karena krisis terjadi dari sebab yang berbeda.
Untuk kesekian kalinya UMKM kembali membuktikan keperkasaan, ketangguhan dan kepahlawanannya. Sudah hampir 4 bulan situasi darurat Corona di berlakukan, BUMN menjerit, pengusaha besar menjerit, tetapi UMKM walau terseok terus berjalan tanpa lobi lobi.
UMKM membuat roda ekonomi terus berputar di bawah, transaksi jual beli tetap terjadi, perputaran uang terus tidak berhenti di tangan para pelaku UMKM.
Saat truk peti kemas hilang dari jalan, di gang gang dengan sepeda atau motor pelaku UMKM tetap mengirim tahu, tempe, kue rumahan, jamu, sayur, telur, dan bahan kebutuhan pokok tetap beredar dari tangan ke tangan, dari warung di rumah kontrakan, dari kampung ke kampung. Tangguh luar biasa!
Percaya atau tidak, mau tertawa meremehkan atau tidak, terserah, tetapi data menunjukan usaha mikro di Indonesia mempekerjakan tidak kurang 107 juta orang.
Kemudian, usaha kecil 5,7 juta orang dan usaha menengah 3,7 juta orang. Mereka para pelaku UMKM berkeringat, bekerja tanpa ribut ribut, tanpa tim sosmed untuk mempopulerkan citra diri.
Mereka bekerja dalam kesunyian dan keheningan tanpa puja puji, tetapi nyata menyelamatkan negara ini.
Bagaimana dengan para pengusaha besar itu? Para pengusaha besar bisa jadi termasuk BUMN yang kerap melobi kemudahan, fasilitas, pengurangan pajak, pinjaman berskala besar dengan bunga rendah, dana talangan dan kemudahan lain itu ternyata dalam data hanya mempekerjakan 3,58 juta pekerja.
Jumlah itu hanya sekitar 3 persen dari total pekerja di Indonesia. Sangat sedikit, tidak berbanding seimbang dengan semua tuntutan dan permintaan ini itu mereka.
Huffff.... andaikata program padat karya yang dicanangkan Presiden Jokowi diimplementasikan dengan membagikan Rp 152 triliun itu untuk modal kerja masing masing usaha mikro melalui KUR mikro dan kecil sebesar Rp 25 juta saja, setidaknya akan ada 6 juta usaha mikro dan kecil yang bergeliat dan lepas dari sesak nafasnya.
Andai tiap usaha mikro dan kecil itu mempekerjakan 3 orang saja, maka paling tidak ada 18 juta lapangan kerja untuk 18 juta orang.
Itu kalau Rp 152 triliun, nah terbayang kalau 50 persen dari dana PEN yaitu Rp 320 triliun jadi KUR mikro yang disalurkan langsung ke UMKM tanpa mampir kanan kiri.
Maka, paling tidak ada 12.800.000 UMKM akan bangkit. Lalu akan ada setidaknya 38.400.000 lapangan kerja kembali terbuka, 38.400.000 orang kembali mendapatkan pekerjaan.
Sebagai catatan tambahan, menurut direktur ytama pusat investasi pemerintah, hingga saat ini kredit macet/bermasalah atau NPL (Non Performing Loan) dari kredit ultra mikro ternyata hanya 0 persen.
Mungkin ada yang bisa mencarikan data pembanding berapa besaran NPL dari pengusaha pengusaha besar?
Sebagai penutup, mungkin ada yang bertanya, apa maksud tulisan ini? Apakah Adian sudah tidak dukung Jokowi? Hmmmm saya ini cuma skrup kecil dari mesin kampanye besar.
Saya sudah ikut hore-hore mendukung Jokowi sejak menuju ibu kota untuk menjadi gubernur. Lalu Pilpres 2014 dan Pilpres 2019, dan sampai sekarang. saya tetap mendukung Jokowi dan belum terpikir untuk meninggalkannya apalagi dalam situasi sulit saat ini.
Lalu kenapa saya menulis ini? Karena saya mau mengambil peran menjaga Jokowi dengan cara yang berbeda. Bukan dengan memujinya setinggi langit tetapi mengingatkannya terus menerus.
Tentunya dengan beragam cara, walaupun mungkin cara saya membuat banyak orang di sekeliling Jokowi merasa gerah dan mungkin memusuhi saya dengan berbagai cara termasuk mungkin menggunakan Buzzer. (gir/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Ken Girsang