jpnn.com, JAKARTA - Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengaitkan keberadaan pendengung (buzzer) dengan proses pengambilan kebijakan di Tanah Air belakangan ini.
Menurut Adnan, eksistensi pendengung makin meningkat dalam proses kebijakan publik.
BACA JUGA: Kelompok Sipil Bersenjata Akhirnya Serahkan Senjata ke TNI, Jumlahnya Sebegini
Hal tersebut memicu kemunculan pertarungan narasi yang tidak sehat.
Adnan mengemukakan pandangannya pada webinar 'Buzzer dalam Pusaran The Colosseum of Rome', Jakarta, Kamis (14/10).
BACA JUGA: Selisih TKD Guru Madrasah dengan Sekolah Umum di DKI Jakarta Bisa Sampai Rp 5 Juta
Menurutnya, narasi yang tidak sehat adalah narasi yang ditekankan pada pembentukan opini publik tanpa melibatkan perdebatan publik yang sehat.
Adnan menjelaskan perdebatan publik yang sehat, khususnya di media sosial, seharusnya berbasis data, bersifat ilmiah dan berdasarkan bukti yang ada.
BACA JUGA: Kasus Sembuh COVID-19 di Sumut Terbanyak se-Indonesia, yang Meninggal Tertinggi Kedua
Kemudian, dapat diukur, objektif, melibatkan keahlian spesifik dan berbasis data.
Namun, kebanyakan pendengung menggiring opini publik terhadap berbagai isu yang didominasi kebijakan publik dan kepentingan politik.
Yakni, dengan membidik sisi emosional personal dan sentimentil para pengguna media sosial.
Dengan demikian, mereka akan lebih cepat mendapatkan simpati dan dukungan.
“Buzzer bisa mengemas sedemikian rupa informasi sehingga hal-hal yang ilmiah tidak relevan lagi dalam konteks kebijakan publik,” katanya.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro Wijayanto mengatakan pendengung merupakan pengguna akun fiktif di media sosial yang memengaruhi opini publik terkait isu tertentu.
Fenomena kemunculan pendengung sering digunakan untuk melakukan kampanye, entah itu produk, politik di media sosial, bahkan untuk menggiring opini publik.
Dosen sekaligus Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu juga mengatakan keberadaan pendengung pernah memengaruhi beberapa kasus di Indonesia.
Antara lain, Pilpres 2019, revisi undang-undang KPK, Omnibus Law dan pemilihan kepala daerah secara langsung di tengah pandemi.
Penelitian itu dituangkan dalam artikel 'The Threat of Cyber Troops' yang telah diunggah di laman Inside Indonesia.
Menurut Wijayanto, manipulasi oleh pendengung sebenarnya dapat dihindari dengan memperhatikan ciri-cirinya.
Ciri-ciri yang utama adalah kemunculan banyaknya narasi berunsur isu serupa di media sosial.
Maka, pengguna media sosial harus berhati-hati menyerap informasi dari narasi semacam itu.
Dalam diskusi yang dilatarbelakangi pesatnya pengaruh teknologi informasi dalam ekosistem sosial dan politik itu, Adnan Topan Husodo menyampaikan tidak semua pendegung berpihak pada kepentingan kekuasaan.
Ada pula pendengung yang menyuarakan isu positif secara konsisten.
Mereka harus diajak untuk menggaungkan kebijakan publik yang tengah diperjuangkan.(Antara/jpnn)
Yuk, Simak Juga Video ini!
Redaktur & Reporter : Ken Girsang