jpnn.com - Sejak akhir November 2013, ibu kota Ukraina berubah menjadi panggung protes oposisi. Barikade yang terbuat dari sisa dan puing kendaraan menutup sebagian besar jalanan Kota Kiev. Di dekat kompleks pemerintahan, berdiri puluhan hingga ratusan tenda yang menampung ribuan demonstran.
= = = = = =
BACA JUGA: Baku Tembak Pecah di Xinjiang
UNJUK rasa damai Ukraina mulai berubah menjadi bentrokan berdarah pada awal pekan ini. Tepatnya setelah tiga nyawa demonstran melayang dalam bentrokan dengan aparat pada Rabu (22/1). Oposisi yang awalnya menyuarakan aspirasi mereka dengan kalem pun berubah brutal. Pekan ini massa oposisi menggunakan petasan, bom molotov, dan batu sebagai senjata dalam unjuk rasa anti pemerintah.
Pada Jumat (24/1), para demonstran menduduki kantor-kantor pemerintah di ibu kota. Mereka melarang para pegawai negeri sipil masuk kantor. Selain di Kiev, pendudukan terjadi di beberapa kota lain di kawasan barat Ukraina. Di antaranya, Kota Lviv, Oleg Salo, Cherkasy, Ivano-Frankivsk, Rivne, Ternopil, Khmelnytsky, Lutsk, dan Chernivtsi. Di enam kota, oposisi sukses memaksa pemimpinnya mundur.
BACA JUGA: Sehari Sebelum Ultah, Presiden UEA Diserang Stroke
Oposisi menjadi beringas setelah Presiden Viktor Yanukovych gagal bersepakat dengan perwakilan massa anti pemerintah dalam perundingan Kamis (22/1). Meski menyatakan masih menjunjung tinggi gencatan senjata, para demonstran tidak segan bertindak yang memancing reaksi tegas aparat. Termasuk mendirikan lebih banyak barikade dan memperluas area kamp protes.
Benih kekerasan yang mulai tumbuh subur di Ukraina lantas memunculkan berbagai spekulasi politik. Marin Sieff, seorang pengamat politik Eropa, mengungkapkan bahwa suasana unjuk rasa di Ukraina tidak lagi damai. Dia menuduh negara-negara Barat sengaja mengobarkan perpecahan di negara tersebut. Terutama setelah Yanukovych lebih memilih Rusia ketimbang Uni Eropa (UE).
BACA JUGA: 14 Tewas Dalam Peringatan Revolusi Mesir
"Tidak ada unjuk rasa damai di Ukraina. Yang kami lihat saat ini adalah sekumpulan pengunjuk rasa yang terpengaruh negara-negara UE untuk bertindak tak bertanggung jawab. Ini sungguh berbahaya," ungkapnya sebagaimana dilansir situs resmi RT. Daniel McAdams, pengamat politik Eropa yang lain, juga menyebut campur tangan Amerika Serikat (AS) dalam kerusuhan Ukraina.
Seiring dengan berjalannya waktu, aksi protes di Ukraina yang dipicu kebijakan Yanukovych soal UE berubah menjadi ajang adu kepentingan. Yakni, kepentingan Rusia melawan UE dan AS. Saat ini yang berkuasa di negeri berpenduduk sekitar 44 juta jiwa tersebut adalah politikus pro-Rusia. Karena itu, UE dan AS menyusup oposisi demi melengserkan pemimpin yang enggan menjadikan Ukraina bagian dari UE tersebut.
Melalui media, UE dan AS menyebut Yanukovych sebagai diktator. Itu merujuk pada perundangan yang baru saja dia resmikan tentang kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat. Berdasar aturan tersebut, Ukraina berusaha membungkam oposisi. Aparat Ukraina juga lantas merazia besar-besaran dengan dalih menerapkan aturan anyar tersebut.
Bukan hanya itu, pemimpin 63 tahun itu juga dengan gampangnya mencap organisasi-organisasi asing di Ukraina sebagai antek asing. Bahkan, pemerintahan Yanukovych mengancam menjebloskan para demonstran yang menggunakan topeng atau topi tinggi selama protes ke penjara. Pemerintah juga melarang operasional seluruh media dan kantor berita yang tidak terdaftar di Ukraina.
Selain membenahi legislasi, Yanukovych membersihkan pemerintahannya dari orang-orang moderat. Salah satunya adalah memecat Serhiy Liovochkin yang menjabat direktur administrasi kepresidenan. Menurut kabar, posisi yang masih kosong hingga sekarang itu akan diisi seorang tokoh radikal. Dengan demikian, lawan politik Yulia Tymoshenko tersebut bisa bebas mengumbar kediktatoran.
Namun, pengamat politik CNN tidak yakin Yanukovych bisa membangun takhta diktator di Ukraina. Setidaknya, ada tiga alasan yang membuat politikus ambisius itu harus bekerja keras mempertahankan jabatan atau memimpikan dirinya terpilih kembali dalam pemilu 2015. Alasan pertama adalah dukungan rakyat. Sejauh ini dukungan rakyat terhadap Yanukovych rendah.
Menurut survei terbaru, sekitar 50 persen rakyat Ukraina mendukung unjuk rasa oposisi. "Sebanyak 25 persen lain menyatakan siap terlibat dalam aksi protes bila memang diperlukan," terang CNN mengutip hasil survei independen. Alasan kedua adalah faktor Yanukovych sendiri. Selama menjadi pemimpin, dia tidak pernah menunjukkan kewibawaan atau kepercayaan diri.
Alasan ketiga yang terpenting adalah perekonomian. Sebagai salah satu negara Eropa yang terdampak krisis finansial, Ukraina tidak memiliki model perekonomian yang mendukung kediktatoran.
Sampai sekarang, kondisi makroekonomi Ukraina terlalu rapuh. Iklim bisnis dan investasi di negara tersebut juga tidak pernah bagus. Padahal, diktator butuh dukungan ekonomi yang kuat.(AP/AFP/CNN/BBC/RT/hep/c14/tia)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bercerai, Sopir Tabrakkan Truk ke Istana Presiden Taiwan
Redaktur : Tim Redaksi