jpnn.com, JAKARTA - Pengamat politik Said Salahudin mengatakan, norma pemanggilan paksa dan sanksi penyanderaan terhadap badan hukum atau masyarakat yang diatur dalam Pasal 73 UU Nomor 17/2014 Tentang MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) hasil revisi, telah mengusik kehidupan masyarakat. Meski ia mengakui, norma tersebut bukan hal baru.
"Itu bukan norma baru, tapi mengusik kehidupan masyarakat. Jadi wajar dipersoalkan. Hanya saja agak telat, karena sebenarnya sudah berlaku sejak 3,5 tahun lalu (UU MD3 yang disahkan 2014 lalu,red)," ujar Said di Jakarta, Rabu (14/2).
BACA JUGA: Prof Mahfud MD Tuding DPR Kacaukan Garis Ketatanegaraan
Direktur Eksekutif Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) ini menyarankan, sebaiknya Pasal 73 UU MD3 hasil revisi diuji ke Mahkamah Konstitusi, untuk memperoleh kepastian hukum.
"Saya kira penting diuji ke MK, apakah DPR memiliki wewenang untuk memanggil paksa dan bahkan menyandera masyarakat yang telah memilihnya di pemilu," ucapnya.
BACA JUGA: DPR Pastikan tidak Labrak Putusan MK
UU MD3 hasil revisi diketahui telah ditetapkan pada rapat paripurna DPR, Senin (12/2) kemarin. Ada tiga pasal yang direvisi.
Yaitu, Pasal 73, 122 dan Pasal 245. Pasal 73 mengatur tata cara pemanggilan paksa terhadap badan hukum maupun orang yang tidak menghadiri panggilan DPR sebanyak tiga kali.
BACA JUGA: DPR Memastikan tidak Labrak Putusan MK
Kemudian, Pasal 122 huruf K, mengatur, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bertugas mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Sementara Pasal 245 mengatur tata cara pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR.
Disebutkan, harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD).(gir/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sisa Jabatan Setahun, Kok Kursi Pimpinan DPR/MPR Ditambah?
Redaktur & Reporter : Ken Girsang