Agama Angka

Oleh Dahlan Iskan

Minggu, 17 November 2019 – 11:33 WIB
Dahlan Iskan.

jpnn.com - Kian sedikit.

Kian brutal.

BACA JUGA: Tidak Pulang

Itulah demo di Hong Kong. Yang hari ini memasuki bulan keenam.

Awal minggu lalu demonstran menguasai terowongan vital. Terowongan bawah laut. Yang menghubungkan Hong Kong --Pulau Hong Kkong-- dengan Kowloon --yang satu daratan dengan Tiongkok.

BACA JUGA: Dinding Lennon

Tidak sebentar. Empat hari terowongan itu di bawah kekuasaan demonstran. Jalan masuk ke terowongan itu pun dipasangi barikade.

Mulut terowongan itu menjadi area luas yang kosong. Area itu lantas dipenuhi dengan batu bata.

BACA JUGA: Menyerah Sulit

Atau bongkaran paving. Yang ditata menyebar. Siap untuk diambil dan dilemparkan. Atau siap untuk menghadang mobil yang akan lewat --manakala barikadenya dipaksa buka.

Pembakaran juga terjadi di mana-mana. Kecil-kecil. Satu yang agak besar: bakar mobil.

Bom-bom botol juga beterbangan. Beberapa toko dan bagian depan bank dirusak. Yakni toko dan bank yang terkait dengan Tiongkok.

”Kami bukan Tionghoa. Kami ini orang Hong Kong,” kata mereka.

Ucapan seperti itu membuat banyak orang Tionghoa antipati --termasuk yang dulunya bersimpati.

Lantas muncullah isu: sebagian besar aktivis itu adalah bukan orang Tionghoa asli. Mereka adalah keturunan Vietnam. Yakni anak-anak pengungsi Vietnam (1975) yang kawin dengan Tionghoa Hong Kong.

Di akhir Perang Vietnam itu memang jutaan orang mengungsi. Ada yang lewat Batam. Sampai ada kamp pengungsi Vietnam di pulau dekat Batam. Banyak juga yang mengungsi ke Hong Kong.

Bisa juga itu isu yang dicari-cari. Untuk memecah belah dukungan pada demonstran.

Yang jelas dukungan pada mereka memang mengecil. Tidak ada lagi aksi yang diikuti ratusan ribu orang. Bahkan tidak ada lagi yang puluhan ribu.

Sering aksi demo lanjutan itu hanya diikuti ratusan orang.

Berkurangnya dukungan itu juga akibat kekerasan. Sebagian mereka mulai merusak. Mulai mengancam --termasuk mengancam orang yang berbicara dalam bahasa Mandarin.

Jumlah pedemo sempat naik lagi. Saat ada mahasiswa meninggal: jatuh dari gedung parkir.

Demonstran menilai itu untuk menghindari serbuan polisi. Namun rekaman CCTV malam itu menunjukkan mendiang berjalan sendirian di gedung parkir itu.

Begitulah hukum alamnya: kian sedikit yang demo, kian radikal. Mereka adalah yang paling militan. Yang moderat menyisih. Bahkan mulai tidak simpati.

Lagu yang dinyanyikan pedemo pun berubah. Dulunya mereka selalu menyanyikan lagu gereja Sing Hallelujah to the Lord. Sebagai lagu kebangsaan pemrotes.

Saat itu memang banyak pastor dan pendeta yang di barisan depan. Termasuk seorang pastor yang punya keahlian fotografi.

Pastor itu selalu mengenakan rompi ”Pastor” agar tidak dihajar polisi. Beliau juga membawa tustel.

Mengabadikan apa pun yang ada di garis depan. Foto-foto itu diunggah ke Facebook beliau. Termasuk foto yang sangat menghebohkan: seorang mahasiswi terkena tembakan polisi di salah satu matanya. Yang menurut polisi mata itu terkena ketapel pedemo sendiri.

Sejak demo berubah ke brutal pihak gereja terbelah. Terjadi pro-kontra soal peranan gereja dalam politik. Dampak kebrutalan itu bisa mencederai citra gereja yang mestinya membawa misi damai.

Pihak berwajib di Hong Kong sudah lama tahu: ada pihak gereja di gerakan itu. Aktivis utama seperti Joshua Wong, Benny Tai, dan Chan Kinman adalah juga aktivis gereja.

Karena itu polisi lebih hati-hati dalam menghadapi pedemo. 

Pemimpin tertinggi Hong Kong sendiri, Carrie Lam, juga Katolik. Tokoh-tokoh gereja juga pernah bertemu Lam. Untuk menyampaikan komplain atas kekerasan yang dilakukan polisi.

Namun Lam saat itu menjawab: mengapa gereja tidak mengecam kekerasan yang dilakukan pedemo.

Belakangan polisi tidak begitu peduli lagi. Polisi mulai berani masuk gereja. Mengejar pedemo yang menyelamatkan diri ke gereja.

Gereja masih tetap mengecam kekerasan terhadap pedemo. Namun juga mulai klarifikasi: bahwa adanya pastor di garis depan adalah untuk menghindari bentrok.

Pemimpin agama itu sering bicara kepada pedemo di garis depan. Agar tidak melakukan kekerasan.

Seruan itu memang sering tidak mempan. Kekerasan sering datang dari barisan di belakangnya. Melemparkan apa saja dari garis kedua.

Pihak pastor juga mengatakan sering bicara dengan polisi. Agar tidak melakukan kekerasan. Tapi tetap terjadi.

Sebagian aktivis gereja belakangan mulai menarik diri dari garis depan. 

Lagu kebangsaan pedemo pun tidak lagi Sing Hallelujah to the Lord. Sudah diganti dengan Glory of Hong Kong. Lagu yang diciptakan belakangan yang tidak terkait agama apa pun.

Kristen-Katolik merupakan agama dari 15 persen penduduk Hong Kong. Sebagian lain Buddha, Konghucu dan agama-agama kecil.

Sebagian besar lagi agama mereka uang. Tuhannya angka-angka.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Penjara Sukarela


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler