Agar Abadi, Tetaplah Menjadi Bintang di Langit

Rabu, 13 Maret 2013 – 13:25 WIB
Sehari di Jogja, Menko Perekonomian Hatta Rajasa membuka Kongres PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) di Royale Ambarrukmo Hotel, kuliah umum di kampus UGM, dan orasi budaya di Candi Prambanan. Foto: Setyaki/Radar Jogja
Jarang sekali berjumpa momentum duduk santai di atas tikar, sambil menyantap mie rebus khas Pak Tele bersama Menko Perekonomian Hatta Rajasa. Suasana di sudut Alun-Alun Utara Jogjakarta itu pun berubah menjadi ceria, kaya canda dan penuh tawa. Bagi spesialis wisatawan kuliner, mie godhog –sebutan mie rebus ala Jogja- dan mie nyemeg –direbus kental kuahnya sedikit--, di situ termasuk paling dahsyat di dunia.
 
Wow! Paling sensasional di dunia? Boleh dirasa, kalau kebetulan sedang menikmati  Kota Budaya dan Kota Pendidikan, Jogjakarta itu. Posisinya mudah diingat, gampang diakses, dan titik koordinatnya cepat dimengerti. Tanpa harus membuka GPS, tanpa mendownload google map, Anda pasti langsung ngeh! Pokoknya persis di sudut alun-alun utara sebelah kanan kalau Anda berdiri di Bangsal Pagelaran dan Siti Hinggil, Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Samping pintu berpagar besi vertikal, di sebelah pohon beringin.

Jika Anda berkendara dari ujung Malioboro, view sebelah kiri ada Benteng Vredeburg dan sayap kiri ada Gedung Agung –mantan Istana Negara di era Republik Indonesia Serikat (RIS)—dari jalan yang paling legendaris di Jogja itu, ambil posisi lurus. Bertemu bangjo (baca: traffic light) di perempatan  Jl KH Ahmad Dahlan dan Jl Senopati, lurus saja, menuju Jl Trikora, yang berakhir di Alut (Alun-alun Utara). Dari tepian Alut itu, kaki lima spesialis mie godhog itu persis di arah jam 11.00. Belok kiri, mengitari lingkaran alun-alun, lalu belok ke kanan lagi, mentok sampai di ujung yang segaris dengan Bangsal Pagelaran Keraton.

Di situlah Menko Perekonomian Hatta Rajasa berkesempatan duduk bersila di atas tikar bersama masayarakat umum di Kota Gudeg itu. Ketua Umum PAN yang lahir di Palembang, Sumsel, 18 Desember 1953 itu mencicip mie godhog dan nasi goreng khasnya. Juga menyeruput wedang ronde hangat dan teh tawar hangat gaya Jogja, yang kental dan nendang. Apa komentarnya? “Enak.. Enak banget. Gurih, khas!” jawab pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara (2007-2009), Menteri Perhubungan (2004-2007), dan Menteri Negara Riset dan Teknologi (2001-2004) ini.

Pengamen tetap di situ pun kecipratan rezeki. Dia diminta memainkan gitar melodi dan ceilo bas betot besarnya. Tanpa sound system, tanpa stage, tanpa gemerlap lampu-lampu efek, suasana menjadi lebih cair, lebih nyaman, dan lebih menyatu dengan atmosfer Jogja yang kreatif. Eros Djarot yang ikut makan malam bersama rombongan Hatta Rajasa itu pun tanpa ragu-ragu mengedarkan kotak saweran. “Ayo-ayo.. mari-mari.. Ini untuk dia (baca: si pengamen),” ucap Eros yang juga seniman, sutradara dan pencipta lagu itu.

Si pengamen pun semakin semangat menyanyikan lagu-lagu permintaan rombongan Hatta Rajasa itu. Menko berambut perak itu rupanya sangat menikmati suasana duduk bersila dengan petikan gitar si pengamen itu. Lagu-lagunya cukup menggugah rasa, termasuk saat mendendangkan lagu-lagu Jawa, “Ndang Balio Sri”, “Bojo Loro” dan “Sewu Kutho” Didi Kempot itu. Apa tahu maknanya? “Oh, Bahasa Jawa?  Saya tahu dong! Saat kuliah di ITB Bandung, itu multiculture, banyak bahasa dan sangat Indonesia,” katanya.

Suasana bertambah asyik, ketika si pengamen itu melantunkan lagu “Jogjakarta” yang dinyanyikan oleh Katon Bagaskara bersama mantan groupnya, KLA Project. Semua ikut menyanyi. Hatta pun berkomentar, “Lagu-lagu yang bertema kota-kota, selalu abadi dan melegenda, bersama kota itu. Misalnya: Lagu Halo-halo Bandung, Surabaya, Semalam di Cianjur, Semalam di Malaysia, New York New York, Massachusetts, dan masih banyak lagi. Dia akan abadi, bersama nama dan kenangan akan kota itu,” ungkap Hatta.

Giliran lagu-lagu country, semua ikut bertepuk tangan mengikuti ritme lagu. Termasuk lagu Country Road Take Me Home - John Denver, yang ketukannya pas untuk menggeleng-gelengkan kepala dan menggerakkan badan. Juga lagu-lagu berirama latin yang dinyanyikan sangat fasih. “Saya tertarik dengan cara mereka memainkan melodi gitar dan musikalitasnya. Cukup berbakat dan detail. Lagi-lagi khas pengamen Jogja yang serius dengan ngamen-nya,” ungkap ayah M. Reza Radjasa, Siti Ruby Aliya Radjasa, Azimah Radjasa, Rasyid Radjasa ini.

Terakhir, Hatta minta dinyanyikan satu lagu yang bermemori bagi dirinya dalam tema mengamen. Kalau itu, Aliya bersama dengan tim IPB Bogor sedang gathering di Lapangan Golf mencari dana untuk membangun Rumah Pintar di Ciwide. “Saya menyanyikan lagu ini, lagunya Padi, berjudul: Tetaplah Menjadi Bintang di Langit. Satu lagu itu saya nyenyikan, dan menghasilkan satu Miliar Rupiah untuk Mobil Pintar,” kisahnya, sambil meminta sang pengamen menyanyikan lagu yang sama.

Apa yang paling menarik dari lagu itu? “Liriknya oke. Tetaplah menjadi bintang di langit!” Sebelum nuansa Jogja itu berakhir, Hatta sempat bertanya kepada si pengamen, soal gitar merek Yamaha yang dipakainya. Sudah berumur sepertinya, tetapi masih bisa meresonansi suara yang jernih berdenting. Kalau beli baru berapa? Begitu tanya Hatta. Si pengamen pun menjawab, “Mahal pak, satu jutaan!” Hatta pun merogoh koceknya, besok beli gitar yang baru, agar kualitas suaranya lebih cling! (*/dk)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Bukan Sulap Bukan Sihir, Minum Air Banjir

Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler