Agus Johanes Setyabudi Si Pencinta Batu Alam

Tukar Batu Alam dengan Bibit Tanaman

Sabtu, 06 Juni 2015 – 01:01 WIB
Agus Johanes Setyabudi di antara batu-batuan miliknya. Foto: Guslan Gumilang/Jawa Pos

jpnn.com - Booming batu alam atau lebih sering disebut batu akik dimaknai berbeda oleh Agus Johanes Setyabudi. Kemunculan batu-batu itu, menurut dia, merupakan penampakan bumi pertiwi sebagai zamrud khatulistiwa. Fenomena tersebut membuat dia tergerak untuk menjaga alam.

Laporan Farid S. Maulana, Surabaya

BACA JUGA: Potong Rambut Gimbal, Siap Selesaikan Masalah Tahanan Politik

MATANYA berkaca-kaca saat menyampaikan pidato penutupan pameran batu alam yang digagasnya di Surabaya pada 14–31 Mei lalu. Bukan karena sedih. Sebaliknya, dia merasa bahagia.

Batu alam yang dibawanya dari beberapa wilayah di Indonesia dibeli dengan harga layak oleh para kolektor. Gagasannya membuat pameran itu sukses dan berdampak positif. ’’Membeli batu-batuan di sini berarti membantu ekonomi rakyat dan alam asal batu tersebut,’’ tegas pengusaha Agus Johanes Setyabudi.

BACA JUGA: Soponyono, Tokoh Hindu Tengger Penggagas Berdirinya Musala di Gunung Bromo

Tak lama berselang, seorang perempuan tiba-tiba memeluknya. Rasa syukur dan terima kasih diucapkan Serinda Pagawat, nama perempuan asal Papua. Daerah tempat tinggalnya, yang selama ini hanya dieksploitasi untuk batu alam tanpa memedulikan lingkungan di sekitarnya, sekarang bisa menjadi lebih baik. ’’Tuhan bersama Anda, Bapak. Alam kami sekarang bisa hidup lagi dan kami bisa hidup lebih layak,’’ kata Pagawat.

Hans, begitu Agus Johanes biasa disapa, menyambut ucapan Pagawat itu dengan ramah. ’’Saya akan terus berjuang mama, doakan saya,’’ katanya kepada Pagawat.

BACA JUGA: Kumpulan Perempuan PHP, Pemberi Harapan Palsu? Oh, Bukan...

Pria yang merupakan salah seorang owner rumah makan Bandar Djakarta itu memang pencinta batu alam atau layak disebut penggila. Namun, hal tersebut tidak membuat dia buta hati dengan merusak alam demi menemukan batu yang indah.

Hans justru prihatin dengan fenomena batu alam akhir-akhir ini. Eksploitasi yang berlebihan membuat alam di beberapa kawasan rusak parah.

Dari sinilah Hans mempunyai inisiatif. Kualitas lebih baik daripada kuantitas. Saat ini, dengan beberapa kawan, Hans berkeliling Indonesia untuk mencari lokasi-lokasi batu alam tersebut. Apa tujuannya? Hans ingin batu alam di perut bumi pertiwi tidak hanya dikeruk tanpa ada timbal baliknya. Baik untuk alam maupun masyarakat sekitarnya.

’’Apa yang diambil dari dalam, harus ada yang ditanam. Masyarakat di sekitar juga mempunyai hak akan itu. Ekonomi rakyat harus terbangun dari fenomena alam ini,’’ jelas pemilik ratusan koleksi batu alam tersebut.

Semangat Hans untuk membuat gerakan itu berawal lima tahun lalu. Saat itu dia berada di Desa Cempaka, Martapura. Di situ, dia melihat mayoritas masyarakat hidup serba kekurangan. Padahal, sebagian besar mereka merupakan penambang batu intan.

’’Mereka bekerja keras seharian demi batu intan yang besarnya sebutir gula pasir. Intan yang mahal kayak gini kok nggak bikin rakyat di sini sejahtera,’’ kenang Hans.

Hans melihat batu-batuan alam yang indah terbuang percuma saat penggalian intan tersebut. Muncullah ide memanfaatkannya. Lewat jaringan yang dimilikinya, batu-batuan yang tidak terpakai itu dimanfaatkan menjadi suvenir atau gantungan kunci. Masyarakat sekitar heran karena Hans mau memanfaatkan batu sisa tersebut.

Pria asli Surabaya itu menjual suvenir batu tersebut seharga Rp 30.000 per item. Hanya butuh waktu singkat, suvenir-suvenir itu laku keras. Semua hasil keuntungan tersebut diberikan kepada masyarakat Desa Cempaka.

’’Sekarang mereka bisa membeli alat sendiri sampai menjualnya ke luar wilayah pula,” ujar penulis Jalan Sutra, buku yang bercerita tentang pengalamannya berkeliling Indonesia untuk mengeksplorasi batu-batuan alam tersebut.

Namun, Hans mengingatkan kepada para penambang agar tidak terlalu mementingkan kuantitas. Alam tetap harus dijaga. ”Dengan begitu, saat batu-batuan itu habis, mereka tetap bisa hidup dengan berkebun atau bertani,’’ ungkapnya.

Dari kejadian itulah, Hans membuat gerakan untuk melakukan hal serupa di beberapa wilayah di Indonesia. Beberapa aktivis, baik pencinta batu alam ataupun lingkungan, turut menerapkan ide dan gagasannya tersebut. Bahkan, Hans tidak segan menjual batu –yang katanya di pasaran harganya mahal– dengan bayaran bibit pohon untuk mengisi hasil pengerukan batu tersebut. ’’Saya punya banyak batu, yang mahal banyak. Tapi, saya kumpulkan batu itu, lalu saya tukar dengan bibit,’’ tuturnya.

Tanpa lelah, dia selalu menekankan betapa pentingnya kualitas daripada kuantitas. Hal itu, menurut Hans, mampu membangkitkan ekonomi rakyat Indonesia.

’’Kalau dieksploitasi terus-menerus, nanti orang yang menjual bakso, mi goreng, es buah ganti profesi jadi penjual akik. Terus kita makan apa? Saya tidak mau itu terjadi,’’ kata Hans sambil menunjukkan foto-foto di wilayah Palembang. Di wilayah itu, mayoritas pedagang makanan di satu pasar beralih menjadi penjual batu-batu alam.

Hans membuktikan, mencintai batu alam tidak selalu mengoleksi, mengeksploitasi, dan mengeruknya tanpa memikirkan akibat yang ditimbulkan. Rasa cinta yang dimilikinya justru menunjukkan nilai estetika dari kekayaan alam di Indonesia. Sebuah nilai yang dilupakan dan hanya dihargai sebatas rupiah.

’’Saya pribadi memandang kekayaan batu alam Indonesia ini sebagai sebuah sarana. Karena dengan keindahan batu ini, saya bisa menangkap rahmat Allah,’’ kata Hans dengan mata berkaca-kaca. (*/c7/ayi)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebuah Perkampungan di Bali, Banyak Warganya Bisu-Tuli


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler