Soponyono, Tokoh Hindu Tengger Penggagas Berdirinya Musala di Gunung Bromo

Ikut Gelisah Mendengar Keluhan Wisatawan Muslim

Jumat, 05 Juni 2015 – 01:41 WIB
Soponyono di depan musala yang ikut digagasnya bersama Laznas dan BSM. Musala itu merupakan satu-satunya tempat ibadah bagi umat Islam di Gunung Bromo. Foto: Dinda Juwita/Jawa Pos

jpnn.com - Wisatawan muslim yang tengah mengunjungi Gunung Bromo kini tak perlu khawatir untuk beribadah. Sebab, kini di objek wisata pegunungan itu telah ada musala. Menariknya, yang berinisiatif membuat tempat ibadah tersebut adalah salah seorang tokoh Hindu Tengger.

Laporan Dinda Juwita, Probolinggo

BACA JUGA: Kumpulan Perempuan PHP, Pemberi Harapan Palsu? Oh, Bukan...

PAGI itu (23/5) langit masih gelap. Waktu baru menunjuk pukul 03.00. Menjelang subuh. Namun, sudah banyak pengunjung, wisatawan domestik dan mancanegara, yang berjubel di bukit penanjakan di Gunung Bromo untuk satu tujuan, melihat matahari terbit (sunrise).

Para wisatawan rela berjam-jam menunggu momen indah di salah satu objek wisata unggulan Jawa Timur itu. Gunung Bromo mempunyai ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut. Lokasinya berada di empat wilayah, yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.

BACA JUGA: Sebuah Perkampungan di Bali, Banyak Warganya Bisu-Tuli

Hanya, para wisatawan muslim, karena momen melihat keindahan ciptaan Tuhan itu, sering kali harus meninggalkan kewajiban salat Subuh. Sebab, tiadak ada sarana untuk beribadah di kawasan gunung berapi tersebut. Maklum, sebagian besar penduduk Bromo, yakni suku Tengger, adalah pemeluk agama Hindu. Dengan demikian, tempat ibadah yang ada umumnya untuk peribadatan warga suku Tengger.

Namun, keluhan para wisatawan muslim itu lama-kelamaan ternyata ’’menggelisahkan’’ tokoh Tengger Soponyono. Maka, berkat inisiatifnya yang tulus, kini berdiri musala satu-satunya di Bromo. Wisatawan muslim pun tak punya alasan untuk tidak menjalankan ibadah salat wajib ketika berada di penanjakan Bromo untuk melihat matahari terbit.

BACA JUGA: Bakal Tampil di Jerman, Tim YPAB Tekun Hafalkan Lirik Lagu dalam Huruf Braille

’’Ya, kira-kira 100 meter di bawah penanjakan tempat wisatawan melihat matahari terbit,’’ ujar Soponyono.

Berperawakan sedang, berkumis tebal, dan mengenakan baju serbahitam serta sarung yang diselempangkan di pundak lengkap dengan udeng (penutup kepala) khas Tengger, pria 50 tahun itu dengan ramah menceritakan kisahnya menjadi inisiator pembangunan musala di Gunung Bromo.

’’Awalnya saya diajak teman mencari lokasi untuk pembangunan musala di kawasan Bromo. Sebab, banyak sekali pengunjung muslim yang mengeluhkan susahnya mencari tempat untuk salat Subuh,” ujar Edel, panggilan Soponyono.

Teman yang dimaksud Edel adalah pengurus Lembaga Amil Zakat Nasional (Laznas) dan Bank Syariah Mandiri (BSM) yang bermaksud untuk mendirikan musala di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) tersebut. Tanpa pikir panjang, Edel langsung mengiyakan ajakan tersebut. Sebagai tokoh umat Hindu yang cukup disegani di kalangan suku Tengger, Edel tak punya banyak pertimbangan untuk ’’merestui’’ pembangunan musala itu.

”Secara pribadi, saya menganggap semua keyakinan itu sama. Baik Hindu maupun Islam ataupun agama lain tidak ada bedanya. Semua keyakinan memiliki satu Tuhan dan tentunya satu tujuan mulia, yakni beribadah,” ujarnya lirih.

Edel mengaku tak mengalami pergulatan batin yang berarti saat menyosialisasikan rencana pembangunan tempat ibadah umat Islam itu kepada masyarakat Tengger yang kebanyakan beragama Hindu. ”Saya justru merasa senang bisa membantu pembangunan musala itu,” tuturnya.

Memang, niat tulusnya tersebut sempat tak berjalan mulus. Saat berdialog dengan masyarakat Tengger, banyak yang melontarkan pertanyaan yang sama. ”Kenapa hanya musala yang dibangun? Bagaimana dengan tempat ibadah agama lainnya?” kata pria yang sehari-hari berprofesi petani sayur tersebut.

Meski begitu, dia tidak mundur. Dengan berbagai cara, dia bahkan terus memantapkan rencana pembangunan musala itu. Selain mendekati warga Tengger, Edel bernegosiasi dengan pihak TNBTS. Tak jarang, saat ada perayaan ataupun upacara agama Hindu, dia mengajak masyarakat ikut mendoakan pembangunan musala itu.  ”Sebab, setahu saya objek wisata yang baik semestinya memiliki tempat ibadah bagi semua agama,” katanya.

Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya pembangunan tempat ibadah bagi umat Islam itu pun dimulai. Musala tersebut dibangun di atas tanah seluas 1.800 meter persegi. Bangunan musala seluas 81 meter. Lokasinya tak jauh dari tempat wisatawan menunggu terbitnya matahari di Gunung Bromo. Musala yang resmi dioperasikan mulai Mei 2014 itu mampu menampung sekitar 40 jamaah.

Tim dari BSM dan Laznas sepakat untuk mengusung nilai-nilai Islam yang universal di musala yang menelan dana sekitar Rp 1,4 miliar tersebut. Mereka juga mengajak masyarakat Hindu Tengger untuk ’’mengawasi’’ pembangunannya.

Salah satu visualisasi yang menunjukkan toleransi antara umat Islam dan Hindu adalah adanya tempat sesaji bagi umat Hindu yang dibangun di luar pagar kompleks musala. Tujuannya, ada kedekatan antara umat Hindu dan Islam.

”Gapura musalanya juga mengusung konsep kerajaan Hindu Majapahit. Konsep itu diangkat agar tetap memperkuat kearifan lokal dan sebagai cermin budaya toleransi antara dua agama,” imbuhnya.

Bukan hanya itu. Seusai pembangunan musala yang memakan waktu sekitar 1,5 bulan tersebut, pihak Laznas meminta salah seorang di antara empat petugas jaga musala adalah warga Hindu. Itu dimaksudkan lebih mempererat kerukunan beragama di Bromo.

Kedekatan umat Islam dengan para tokoh agama dan tokoh pemuda Tengger hingga kini tetap terjaga dengan baik. Hal tersebut tecermin melalui kegiatan sosial seperti pemberian beasiswa lanjutan dari Laznas dan BSM bagi anak-anak suku Tengger, bantuan alat semprot hama bagi para petani, dan pemberian 100 mushaf Alquran untuk 10 masjid di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.

Kini satu-satunya musala di kawasan Bromo tersebut telah ramai dikunjungi wisatawan, baik untuk beribadah maupun rehat di sela-sela waktu penanjakan. Melihat ramainya musala yang diberi nama Musala BSM itu, Edel ikut senang. Bagi dia, hal tersebut merupakan salah satu pencapaian terbaik dalam hidupnya.

”Kalau orang muslim bilangnya alhamdulillah, saya menyebutnya astungkara. Sebab, saya sangat bersyukur akhirnya musala ini berdiri,” tandas Edel. (*/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyedihkan, Seperti Inilah Bentuk Truk Angkutan Pelajar di Perkebunan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler