PENDETA Agus Sutikno mungkin tergolong pemuka agama yang langka. Tubuhnya penuh tato, dandanannya sangar, dan wilayah pelayanan doanya adalah tempat-tempat yang tidak lazim. Dia biasa blusukan ke kompleks lokalisasi atau tempat-tempat mangkal waria.
------------
Laporan Priska Birahy, Semarang
-----------
’’MAS Agus, Mas Agus bawa apa?’’ teriak beberapa bocah penghuni tepi Kanal Banjir Timur Semarang kepada seorang pria berpenampilan seperti preman, berkaus hitam dan mengenakan sepatu ber-spike ala anak punk.
BACA JUGA: Jutaan Akrilik Simbolkan Hati Umat Manusia
Pria itu lalu mengembangkan senyum dan mengeluarkan roti dari kantong plastik yang dibawa, kemudian membagikannya satu per satu kepada anak-anak yang mengerumuninya.
Bak Sinterklas, kehadiran ’’Mas Agus’’ di kampung pinggiran itu memang ditunggu anak-anak. Mereka terlihat begitu akrab. Karena itu, anak-anak polos saja memanggil pria yang setiap kehadirannya ditunggu-tunggu tersebut dengan panggilan apa adanya, ’’Mas Agus’’. Padahal, dia seorang pendeta.
BACA JUGA: Ramalannya Jitu, Ingatkan Potensi Gempa Selat Sunda
Ya, pria itu adalah Pendeta Agus Sutikno alias Agus Tato. Nama alias tersebut disematkan lantaran tubuh pendeta yang satu ini dipenuhi tato. Anak-anak di tempat itu pun lebih senang memanggil sang pendeta dengan panggilan akrab ’’Mas Agus’’ daripada ’’Pak Pendeta’’.
’’Nggak apa-apa, itu kan lebih akrab. Apalagi mereka anak-anak yang mungkin belum tahu siapa saya,’’ ujar Pendeta Agus Tato ketika ditemui Jawa Pos saat blusukan ke tempat-tempat pinggiran di Semarang, Minggu (14/12).
BACA JUGA: Tergembleng setelah Enam Tahun Bertugas di Timor Leste
Setiap kehadiran Pendeta Agus Tato memang selalu menarik perhatian anak-anak. Karena itu, tidak heran bila kehadiran Agus selalu disambut anak-anak yang langsung mengeremuninya. Ada saja tingkah anak-anak minta perhatian sang pendeta. Mereka terlihat manja begitu bertemu idolanya.
Bocah-bocah lugu tersebut tidak lain adalah anak para pekerja seks komersial (PSK) yang tinggal di gubuk-gubuk pinggiran Kanal Banjir Timur Semarang. ’’Yang tinggal di sini rata-rata PSK. Ini anak-anaknya,’’ kata Agus sambil mengelus kepala seorang bocah.
Tepat di seberang jalan dari tempat Agus berdiri, dua waria tua duduk di depan gubuk kumuh mereka. Keduanya berpakaian seadanya dengan bentuk wajah yang ’’bengkak’’ karena suntikan silikon. Tangan salah seorang waria itu mulai tremor.
Pemandangan mengiris hati itu jadi sarapan sehari-hari Pendeta Agus Tato. ’’Ini garapan saya. Merekalah ladang tempat saya melayani,’’ kata pendeta Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) tersebut.
Sejak 11 tahun lalu, seluruh hidup Agus tercurah di kawasan merah itu. Dia punya ’’tempat tinggal’’ kedua di lokalisasi liar tersebut. Memang, di tempat itu, tidak banyak jemaat gereja atau masyarakat umum yang mau membaur. Mereka khawatir dengan tingkat kriminalitas di tempat tersebut. Apalagi ancaman persebaran virus HIV/AIDS.
Sebagian takut tertular penyakit kelamin, sedangkan kelompok lainnya jijik dan bernyali ciut menghadapi mereka. Tapi, berbeda dengan Agus. Pendeta berusia 39 tahun itu justru menilai kawasan tersebut merupakan lahan garapannya yang utama.
’’Kalau tidak ada yang ngaruhke, kasihan masa depan anak-anak itu. Karena itu, saya mau mendampingi mereka,’’ ucapnya.
Begitu pula bagi dua waria sepuh yang sudah tidak berdaya di gubuknya tersebut. Bentuk wajahnya aneh, bengkak di pipi, dahi, dagu, serta hidung karena silikon. Rambutnya beruban dan lebih mirip nenek sihir sehingga mereka kian diabaikan masyarakat. Bahkan, banyak yang ’’tidak berani’’ menatap wajah mereka.
’’Kak Bon dan Kak Tesi (panggilan dua waria itu, Red) sudah lama tinggal di sini. Keduanya sudah terima Yesus,’’ ujar Agus.
Masa lalu yang kelam dan keterbatasan ekonomi orang-orang pinggiran itu mendorong Agus untuk menjangkau mereka. Sebab, dia pernah berada di titik terkelam manusia. Berkawan dengan iblis dan menjadi budaknya. Namun, nama Yesus jualah yang akhirnya mengentaskan Agus dari titik kelam tersebut.
Dibesarkan oleh orang tua yang keras membentuk karakter dan watak Agus yang keras pula. Tontonan live show tindak kekerasan sang ayah itu menyemai dendam dan kepahitan dalam diri Agus.
’’Saya pernah menantang ayah untuk berantem. Sempat menyesal punya ayah seperti dia,’’ ungkap lelaki yang sempat diisi ilmu kebal tubuh oleh ayahnya tersebut.
Sejak itu, Agus tumbuh menjadi anak yang suka melawan orang tua. Hidupnya hanya bermabuk-mabukan dan menjadi penguasa jalanan. Namun, seiring perjalanan waktu, hati Agus melunak. Timbul kesadaran dalam hatinya untuk berdamai dengan Tuhan. Karena itu, dia pun bertobat.
Hanya, lantaran chasing fisiknya telanjur seperti preman, ketika Agus memutuskan untuk menjadi pelayan doa, kesannya jadi pendeta yang sangar.
’’Tuhan Yesus kan sudah mengasihi saya. Kenapa dengan orang pinggiran kita jadi jaga jarak?’’ tegas lelaki yang pernah terlibat dalam kejahatan narkoba dan segala jenis kekerasan jalanan itu.
Sejak kedatangannya pada 2005 di kawasan tepian Kanal Banjir Timur Semarang, satu per satu warga tersentuh oleh sikap dan pengajaran Agus akan kebaikan Kristus. Tidak bermaksud mengkristenkan warga. Bahkan, Agus tidak peduli apakah warga yang dibina beragama Kristen atau beragama lain.
’’Saya hanya ingin membaur dengan mereka. Mendampingi mereka dalam suka dan duka,’’ tegas pria kelahiran 17 Agustus 1975 itu.
Pendeta yang hingga kini tetap memelihara tato di sekujur tubuh itu memberikan pelayanan doa kepada umat binaannya. Dalam aktivitas pelayanan doa, Agus mengisinya dengan memberikan les pelajaran kepada anak-anak TK dan SD.
”Saya dan istri merangkap jadi guru. Tapi, kalau pelajarannya susah, ya saya nggak bisa ajari mereka,” ujar bapak seorang anak itu, lantas tertawa.
Mata pelajaran yang diajarkan adalah matematika, bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan kesenian. Lulusan Sekolah Alkitab Magelang itu juga siap memberikan pelajaran agama apa saja. ”Ada anak yang minta diajari sejarah para nabi dalam Alquran, ya saya usahakan,” tuturnya.
Selama sejam, belasan anak ingusan duduk anteng hingga pukul 18.00 di atas spanduk bekas di gubuk. Di pojok tempat les sederhana beraroma kali dan sampah tersebut, cita-cita mereka dibentuk.
”Tapi, pernah ada anak yang tiba-tiba nangis saat les. Dia melihat ibunya dibawa tamu pria masuk ke kamar,” katanya lirih.
Meski demikian, pelayanan pria yang ingin berpuasa 40 hari meniru Yesus itu penuh liku dan terjal. Dia pernah patah arang dalam memberikan pelayanan doa kepada kaum pinggiran. Tiga kali dia berniat kabur, namun selalu gagal.
”Saya sempat kelelahan, merasa sebatang kara berjuang menyelamatkan mereka,” jelasnya.
Kini, selain pelayanan tiap Minggu di gereja, Agus fokus mengayomi para penghuni tepian Kanal Banjir Timur Semarang. Bahkan, secara rutin tiap pukul 05.00 dia melakukan pelayanan doa pribadi bagi keluarga yang membutuhkan.
”Meski cuma satu orang, saya tetap akan layani. Seperti yang Tuhan bilang untuk selalu taat pada panggilannya,” tandas Pendeta Agus Tato. (*/c15/c10ari)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Kisah Nuraini, Ibu Asuh Anak Korban Tsunami Aceh di SOS Childrenââ¬â¢s Villages
Redaktur : Tim Redaksi