Tergembleng setelah Enam Tahun Bertugas di Timor Leste

Selasa, 23 Desember 2014 – 11:59 WIB
BINTANG DUA: Mayjen TNI Daniel Tjen di ruang kerjanya, Pusat Kesehatan Mabes TNI. Foto: Dian Wahyudi/Jawa Pos

SIAPA bilang warga Tionghoa tidak bisa menjadi jenderal? Itulah yang dibuktikan Daniel Tjen, kepala Pusat Kesehatan Mabes TNI. Dua bintang kini tersemat di pundaknya sebagai prajurit TNI-AD.
-----------
Laporan Dian Wahyudi , Jakarta
----------
EMPAT pos pemeriksaan dan penjagaan terlebih dulu harus dilalui sebelum sampai di kantor Mayjen TNI Daniel Tjen di lantai 6 Gedung B-3, Markas Besar (Mabes) TNI, Cilangkap, Jakarta. Bagi orang luar, tentu tidak cukup hanya dengan pasang wajah manis setiap melintas di masing-masing pos tersebut.

Setiap tamu memang harus menyebutkan tujuan dan keperluan secara jelas mengapa akan menemui Daniel. Tanpa itu, sulit rasanya bisa menemui satu-satunya perwira tinggi TNI berdarah Tionghoa yang masih aktif tersebut.

BACA JUGA: Kisah Nuraini, Ibu Asuh Anak Korban Tsunami Aceh di SOS Children’s Villages

Sesampai di depan ruangan sang jenderal, dua prajurit TNI kembali akan ’’menginterogasi’’ orang yang akan bertemu komandannya. Setelah memastikan tujuan dan maksud kedatangan tamu, salah seorang prajurit masuk ke ruangan dan menyampaikan kepada atasannya tersebut.

’’Mohon izin, Jenderal,’’ ujar prajurit tersebut tegas melaporkan kedatangan Jawa Pos, Jumat siang (19/12).

BACA JUGA: Para Siswa yang Masih Teguh Menekuni Kegiatan-Kegiatan Pramuka

Membaca namanya, Daniel Tjen, orang yang belum pernah bertemu mungkin bisa menebak bahwa sang jenderal berdarah Tionghoa. Benar saja, kesan itu mendapat penegasan ketika Jawa Pos berhadapan langsung dengan prajurit TNI kelahiran Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung, 24 Juni 1957, tersebut.

Ya, jenderal bertinggi badan 168 cm itu memang terlahir dari orang tua berketurunan Tionghoa. Mendiang ayahnya, Tjen D. Tjoeng, adalah salah seorang karyawan di pabrik timah di Pulau Bangka.

BACA JUGA: Melayani Waria meski Penuh Cibiran

Di antara enam bersaudara, Daniel adalah satu-satunya yang memilih jalan hidup yang ’’out of the box’’. Yakni, menjadi tentara. Lima saudaranya, sebagaimana umumnya warga Tionghoa, menjadi pedagang atau pekerja di perusahaan swasta.

’’Masa kecil saya sama dengan anak-anak lain yang lahir di kampung. Kami tidak berpikir untuk menjadi tentara,’’ kenang Daniel.

Hingga SMA, bapak dua anak itu masih tinggal di pulau yang berada di pesisir timur Sumatera Selatan tersebut. Baru ketika kuliah, dia melanjutkan pendidikan dokter di sebuah universitas di ibu kota.

’’Waktu kuliah itu pun masih belum terpikir (mau jadi tentara). Yang ada bagaimana saya bisa menjadi dokter,’’ tambahnya.

Namun, seiring perjalanan waktu, dunia militer justru menarik perhatian Daniel. Tepatnya sesaat setelah dia lulus pendidikan dokter pada 1984. Ketika itu, Daniel melihat sejumlah seniornya sukses masuk menjadi tentara melalui jalur wamil (wajib militer).

’’Pada tahun-tahun itu, sistem di TNI sudah berjalan baik, tidak ada sekat suku atau agama. Mereka yang terbaik yang akan dipromosikan,’’ tuturnya.

Daniel pun ikut mendaftar tentara lewat jalur wamil pada 1984. Setahun kemudian, dia lulus sekolah calon perwira (secapa) dan mendapat tugas pertama di Kodam IX/Udayana. Tepatnya di Batalyon 745 yang bermarkas di Lospalos, Timor Timur (sekarang Timor Leste). Dia langsung bertugas dalam operasi militer.

Daniel bertugas selama 2,5 tahun di kota berpenduduk sekitar 28 ribu jiwa itu. Selanjutnya, dia pindah tugas ke ibu kota Timor Leste, Dili. Selama sekitar 3,5 tahun dia bertugas di wilayah yang kemudian lepas dari RI pada 1999 tersebut.

’’Enam tahun penugasan di daerah operasi militer itu banyak menempa saya,’’ ungkapnya.

Keluar masuk hutan dengan hanya berjalan kaki sudah biasa bagi dia waktu itu. Sebagai dokter militer, Daniel tidak berbeda dengan prajurit pada umumnya.

’’Makan hanya dengan nasi putih dan sedikit sambal, nikmatnya sudah luar biasa. Makanan di hotel bintang lima nggak ada apa-apanya,’’ ucapnya lantas tersenyum.

Daniel merasa pengalamannya di daerah operasi militer itu sangat berkesan. Sebab, tidak semua dokter militer pernah bertugas di daerah operasi.

Meski juga menguasai penggunaan senjata, sebagai tenaga medis, Daniel memang lebih banyak memainkan peran soft power saat bertugas. Tidak hanya mengurusi kesehatan prajurit TNI dan keluarganya, dia juga melayani masyarakat umum.

Misalnya, saat bertugas di Lospalos, Daniel tiba-tiba dibangunkan pada tengah malam oleh penduduk setempat. Mereka meminta tolong kepada Daniel untuk membantu persalinan seorang warga. Rumah pasien itu berlokasi di seberang hutan yang cukup jauh dari tempat tinggal Daniel.

Tanpa pikir panjang, sebagai satu-satunya dokter di rumah sakit kabupaten, Daniel pun berangkat. Padahal, lokasi desa tempat si ibu yang akan melahirkan dikenal sebagai salah satu sarang Fretilin, kelompok pemberontak.

’’Saat itu, saya berpikir mau membantu karena niat baik saja, tidak melihat apakah warga yang meminta bantuan itu GPK (gerombolan pengacau keamanan) atau bukan,’’ ujarnya.

Daniel bersama dua penduduk yang meminta bantuan itu langsung meluncur ke lokasi. Mereka menembus hutan dengan mengendarai ambulans yang lampu depannya sudah mati.

’’Jadi, yasatu tangan pegang setir, satu lagi pegang senter. Tapi, bersyukur, semua berjalan baik saat itu,’’ ungkapnya lantas tertawa.

Selepas dari Timor Leste, Daniel menjalani tour of duty jabatan dan penugasan. Dia sempat bertugas di Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad), di Kodam III/Siliwangi, hingga akhirnya di Direktorat Kesehatan Mabes TNI-AD. Dengan cepat, dia menjabat wakil direktur kesehatan AD, lalu promosi menjadi wakil kepala pusat kesehatan (Wakapuskes) TNI.

Di jabatan itulah pangkat kemiliteran Daniel naik menjadi bintang satu alias brigadir jenderal (brigjen). Mulai November lalu, dia pun resmi menjabat Kapuskes TNI.

Saat Daniel menjadi direktur kesehatan TNI-AD, prestasi membanggakan berhasil diraih Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta. RS milik TNI-AD itu menjadi rumah sakit pertama di dunia yang terakreditasi secara internasional.

Akreditasi dilakukan Join Commission International (JCI). Di Indonesia, rumah sakit pemerintah yang berstandar internasional adalah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), RS Sanglah Bali, RS Fatmawati Jakarta, dan RSUP Sardjito Jogjakarta.

Menurut Daniel, akreditasi itu penting karena menjadi jalan bagi RS Gatot Soebroto sebagai rumah sakit berkelas internasional. Dia kemudian mengungkapkan keprihatinannya atas fakta bahwa 2 persen GDP (gross domestic product) Singapura berasal dari sektor kesehatan yang disumbang orang-orang Indonesia.

”Saya bersyukur memiliki teman-teman yang merupakan orang-orang hebat hingga Indonesia bisa diakui secara internasional seperti sekarang,” tandas Daniel.

Karir militer Daniel tidak hanya cemerlang di lingkungan TNI. Di dunia internasional, dia juga mendapat pengakuan. Saat ini dia dipercaya duduk sebagai co-chairman di International Committee of Military Medicine (ICMM).

Organisasi di bawah PBB yang berkantor pusat di Brussel, Belgia, itu menaungi satuan kesehatan militer dari 114 negara. Dia terpilih saat kongres terakhir di Riyadh, Arab Saudi.

”Tahun depan, jika tidak ada halangan, saya akan menjadi chairman-nya,” kata Daniel.

Kepercayaan itu bakal diberikan seiring penunjukan Mabes TNI sebagai tuan rumah kongres ICMM.  Kepercayaan tersebut tidak didapat begitu saja. Indonesia harus lebih dahulu menjalani open bidding (seleksi terbuka) dengan sejumlah negara. Saingan terberat saat itu adalah Tiongkok dan Singapura.

”Dua negara yang militernya relatif lebih hebat dari kita itu ternyata kalah oleh kita,” katanya dengan bangga.

Menjadi chairman ICMM, bagi Daniel, bukan sekadar penghargaan atas sebuah jabatan berkelas internasional. Namun, dia memandang jabatan tersebut bisa menjadi peluang Indonesia untuk semakin memajukan peran militer di kancah internasional. Khususnya di lingkup kesehatan militer.

”Ini strategis. Jangan dibayangkan perang era sekarang tembak-tembakan dan senjata. Sesuai perkembangan, kini ada perang asimterik, ada perang proxy, di mana bidang kesehatan menjadi salah satu bagian penting,” ungkapnya.

Selain Daniel, beberapa warga keturunan Tionghoa pernah meniti karir di bidang kemiliteran hingga berpangkat jenderal. Namun, mereka sudah memasuki masa pensiun. Di antaranya, Brigjen TNI (pur) Tedy Jusuf, Laksamana Pertama TNI (pur) Dr dr Harmin Sarana, dan Laksamana Muda TNI (pur) Jahja Daniel Dharma atau yang lebih dikenal sebagai John Lie.

”Saya tidak pernah merasa dibeda-bedakan selama bertugas di milter. Yang saya alami dan rasakan di militer selama ini hanya dua, yakni enak dan enak banget. Tidak ada yang lain,” tegas Daniel, lalu kembali tersenyum. (*/c5/c10/ari)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Aktivitas Arifin Panigoro setelah Gagal Merevolusi Sepak Bola Indonesia


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler