Agus Widjajanto Berbagi Cara Memahami Sistem Ketatanegaraan Sebuah Bangsa

Senin, 28 Agustus 2023 – 21:38 WIB
Praktisi Hukum Agus Widjajanto. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi Hukum Agus Widjajanto menyatakan untuk bisa memahami dan mengetahui sistem ketatanegaraan sebuah bangsa maka harus mempelajari sejarah dan latar belakang terbentuknya negara.

Hal itu meliputi baik dari perspektif kultur budaya dan sosial politik yang berurat berakar dari bangsa tersebut secara sosiologis. Demikian halnya Indonesia.

BACA JUGA: Agus Widjojanto Bicara Vox Populi Vox Dei dan Pemilu 2024, Simak

Hal yang harus dipahami oleh generasi muda dengan menelisik ke belakang sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, saat itu founding father bangsa ini memanfaatkan kekosongan kekuasaan dan perubahan geopolitik kawasan dan dunia.

“Setelah Pemerintahan Jepang menyerah pada Sekutu - Amerika Serikat, pimpinan Tertinggi Militer Jepang di Asia Tenggara telah membentuk BPUPKI pada 1 Maret 1945,” kata Agus dalam keterangan tertulis pada Senin (28/8/2023).

BACA JUGA: Agus Widjajanto Bicara Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Simak

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau Docuritsu Junbi Cosakai kemudian diresmikan penguasa Jepang di Hindia Belanda pada 29 April 1945.

Tugas BPUPKI adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal penting menyangkut politik, tata pemerintahan, ekonomi dan lainya yang diperlukan untuk persiapan Kemerdekaan Hindia Belanda jadi sebuah Negara.

BACA JUGA: Ganjar Beberkan Keberhasilan Pemerintahan Jokowi, Sebut Indonesia Siap jadi Negara Maju

BPUPKI tercatat melaksanakan sidang dua kali. Pertama pada 29 Mei hingga 1 Juni dengan menghasilkan rumusan Dasar Negara yang berupa pandangan Umum.

Falsafah negara diusulkan oleh Moh Yamin pada 29 Mei 1945, Soepomo pada 31 Mei 1945, dan Soekarno pada 1 Juni 1945.

Agus menuturkan dalam pidato falsafah negara itu, Soekarno menjabarkan nilai-nilai luhur dari bangsa ini sejak ratusan tahun yang merupakan bangsa yang berbudaya.

Soekarno merujuknya dari Kitab Negara Kertagama dan Sutasoma serta ajaran leluhur yang tidak tertulis dari budaya bangsa yang dikenal dengan Sila-Sila Pancasila.

"Nilai-nilai luhur bangsa ini dikemudian hari, setelah kemerdekaan, dibuat sebagai Dasar Negara, yaitu Pancasila," ujar jebolan Magister Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) tersesebut.

Kedua, BPUPKI menggelar sidang pada 10-17 Juli 1945 dengan membahas tentang Rancangan Undang Undang Dasar (UUD) termasuk pembukaannya yang memuat Dasar Negara dan arah politik Indonesia.

Dalam membentuk rancangan UUD tersebut dibentuk panitia perancang UUD yang diketuai oleh Soekarno.

“Belajar dari sejarah, saya selalu katakan antara Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD sebagai Hukum Dasar dan kontitusi tertulis adalah satu. Keduanya tidak bisa dipisahkan dan merupakan hubungan integral saling terkait dan saling mengisi seperti suami istri dalam rumah tangga," kata Agus.

Agus menyebutkan dari awal negara ini didesain dan diilhami dari Pemerintahan Desa Adat atau desa-desa pada zaman itu bersifat otonom.

Desa yang mempunyai perangkat pemerintahan dalam menentukan pemimpinnya berdasarkan keputusan bersama melalui Rembug Desa atau musyawarah tokoh-tokoh perwakilan desa.

Desain besar kemudian dijabarkan dalam UUD yang disahkan pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah Proklamasi menjadi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lembaga Tinggi Negara ini adalah pengejawantahan dari suara rakyat seluruh negara yang dalam paham demokrasi disebut sebagai Vox Populi Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).

Keberadaan MPR RI, menurut Agus Widjajanto, oleh para Pendiri Bangsa dalam UUD 1945 ditempatkan paling terhormat sebagaimana Pasal 1 Ayat 2 bahwa 'Kedaulatan adalah di tangan takyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR '.

Pasal 1 Ayat 2 tersebut sejalan dan selaras dengan Sila ke-4 dari Pancasila sebagai Dasar Negara bahwa 'Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat, kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan'.

Implementasi Pancasila

Presiden ke-2 Republik Indonesia Jenderal Besar TNI HM Soeharto selalu menyebut bahwa implementasi dari Pancasila yaitu Eka Prasetya Panca Karsa.

Calon mahasiswa doktor hukum Universitas Padjajaran itu mengatakan Eka Prasetya Panca Karsa digali dan diilhami dari falsafah huruf Honocoroko yang merupakan ajaran luhur dari para leluhur.

Ajaran ini menekankan pentingnya memahami dan menemukan jati diri bangsa sehingga pada gilirannya akan memahami karakter bangsa ini.

“Oleh sebab itu, Pancasila bukan hanya sebagai Dasar Negara saja, tetapi juga falsafah dan pandangan hidup bangsa serta sumber hukum dari segala hukum sangsa ini," ujar Agus Widjajanto.

Terakhir, pria kelahiran Kudus Jawa Tengah itu mengatakan salah satu implementasi Pancasila pada era Orde Baru adalah keterwakilan utusan daerah dan utusan golongan sebagai Anggota DPR RI.

Kemudian urusan daerah diisi oleh para kepala daerah yang kebanyakan diangkat langsung dari kalangan militer sebagai konsekuensi adanya Dwi Fungsi ABRI dalam politik saat itu.

"Memang kurang demokratis, tetapi akan menjadi lebih kurang demokratis jika keberadaan MPR RI dikebiri, dihilangkan peran dan fungsinya seperti saat ini," katanya.

Meminjam istilah Guru Besar Tata Negara Unpad, Prof Gede Panca Astawa, keberadaan MPR RI saat ini diibaratkan layaknya orang yang tengah duduk di kursi dan digigit tengu (kutu; red).

Penyelesaiannya, bukan mencari tengu namun justru menghancurkan dan membakar kursinya. Harusnya, implementasi kebijakannya yang dibangun kembali dalam struktur organ MPR nya, bukan Lembaga Tertinggi-nya.

Dari situlah sebenarnya masalah demi masalah bergulir yang berakibat krisis multi dimensi dari pada kondisi politik terjadi dan itu dirasakan langsung dampaknya oleh seluruh rakyat Indonesia.

“Jangan sekali-kali kita melupakan Sejarah Bangsa ini. Kita harus sadar telah melakukan kesalahan dengan merubah desain besar awal yang dibangun oleh para pendiri Bangsa. Mendesain ulang yang sadar maupun tidak, berkiblat pada desain bangsa lain bukan dari budaya bangsa sendiri," kata Agus Widjajanto.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler