Para saksi yang berbicara di depan majelis dengan tegas tegas menguatkan pendapat saksi sebelumnya yang mengatakan bahwa pemusatan kepemilikan dan penguasaan frekwensi pada satu orang atau satu badan hukum melanggar UU.
Para ahli menjelaskan, Pasal 18 Ayat 1 harus ditafsirkan bahwa lembaga penyiaran tidak boleh dimiliki secara monopoli oleh satu orang atau satu badan hukum.
Demkianpun Pasal 34 Ayat 4, bahwa pemindahtangan frekwensi ke pihak lain melanggar hukum. Dengan demikian, kasus akuisisi Indosiar oleh PT EMTK misalnya, jelas cacat hukum karena pemindahtanganan dan pemusatan kepemilikan frekwensi terjadi pada kasus tersebut.
Para ahli berpadangan, berbagai pelanggaran selama ini terjadi karena pemerintah membiarkan pengusaha bersembunyi dibalik UU Pasar Modal, untuk mengangkangi UU Penyiaran. Padahal UU Pasar modal harus tunduk pada UU Penyiaran.
Paulus Widiyanto berpendapat, lembaga penyiaran tidak boleh dimiliki secara monopoli atau perorangan. "Sesuai pembahasan dalam rapat kerja Pansus Pasal 18 Ayat 1 harus dibaca tidak boleh terjadi pemusatan kepemilikan oleh satu orang atau satu badan hukum tertentu baik di satu wilayah siaran maupun beberapa wilayah siaran dan sebagai penyeimbang," tegas Paulus.
Keberadaan pasal tersebut menurutnya untuk menjaga keseimbangan penyebaran informasi dengan tetap memberikan kesempatan bagi berkembangnya industri penyiaran lain di Indonesia.
"Pemusatan kepemilikan dan penguasaan berbagai Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) dilakukan melalui mekanisme pengambilalihan saham-saham perusahaan penyiaran yang lain, antara mereka yang sudah mempunyai lembaga penyiaran," ucap dia.
Sebagaimana diketahui, KIDP mengajukan uji materil atas dua pasal ini, karena UU Penyiaran sengaja dibenturkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Badan Pengawas Pasar Modal-Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) dengan UU Pasar Modal dalam kasus akuisisi Indosiar oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTK), yang juga memiliki SCTV dan O Channel.
Dalam hal ini, Kementerian Kominfo dan Bapepam-LK dinilai membiarkan PT EMTK melanggar UU Penyiaran dengan memiliki 3 frekwensi di satu provinsi, yakni Provinsi DKI Jakarta, yakni SCTV, O Channel, dan Indosiar. Padahal UU itu mengatur sebuah badan hukum hanya boleh memiliki 1 frekuensi di satu provinsi atau setidaknya 2 frekuensi di dua provinsi berbeda.
Terhadap praktek monopoli lembaga penyiaran, Prof Alwi Dahlan , Prof Ichsanul Amal, dan Prof Tjipta Lesmana meminta Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsiran yang arif, sehingga frekwensi tidak dikuasai konglomerat tertentu saja dan dengan mudah dipindahtangankan ke pihak lain.
Menurut mereka, praktek monopoli menjadi ancaman bagi industri televisi dan demokrasi.
“Pemerintah harus mengatur itu, sehingga terjadi pemerataan. Tidak boleh lagi dikuasai konglomerat tertentu dan dengan mudah dipindahtangankan,” kata Prof Dahlan.
Profesor Ichlasul Amal menambahkan; “Jika bertentangan dengan UUD 1945, maka harus ditegaskan, sehingga demokratisasi dunia penyiaran dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia.”
“Monopoli dan oligopoli penyiaran mengancam demokratisasi opini. Akibatnya, diversity of content hilang, yang terjadi malah monopoli opini. “Ini sangat berbahaya untuk demokratisasi penyiaran,” tegas Prof Tjipta.
Hal yang sama ditegaskan Yanuar Rizky, saksi ahli bidang ekonomi dan pasar modal menegaskan, berbagai kasus monopoli lembaga penyiaran terjadi karena pengusaha bersembunyi dibalik UU Pasar Modal.
Padahal seharusnya UU tersebut tunduk pada UU Penyiaran, karena usaha di bidang penyiaran sangat diproteksi oleh UU (high regulated industry), dalam ini UU No 32 Tahun 2002.
Karena itu, imbuh dia, usaha penyiaran tidak memperkenalkan model konglomerasi horizontal, yaitu pengendalian oleh seseorang atau badan usaha (entitas ekuitas) tertentu atas beberapa unit usaha penyiaran.(fuz/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Dugaan Korupsi di Banyuwangi Dilaporkan ke KPK
Redaktur : Tim Redaksi