Ahli Hukum Ungkap Banyak Masalah di RUU Kesehatan, Tidak Selaras dengan Naskah Akademik

Selasa, 04 April 2023 – 12:52 WIB
Ahli hukum yang juga Direktur PUSHAN Dr Oce Madril mengungkapkan banyak masalah di RUU Kesehatan yang tengah digodok pemerintah dan DPR. Foto: dokumentasi Fakultas Hukum UGM

jpnn.com, JAKARTA - Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Pemerintahan (PUSHAN) Dr Oce Madril mengungkapkan banyak masalah di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.

Dia pun mengingatkan pemerintah dan DPR yang tengah menggodok RUU Kesehatan dengan menggunakan metode omnbus harus fokus menyelesaikan persoalan di sektor kesehatan.

BACA JUGA: Kritik Draf RUU Kesehatan, Pakar: BPJS Seharusnya Diatur Dalam Satu Undang-Undang

“Ada banyak isu kesehatan yang muncul dalam naskah akademik sehingga harapannya RUU Kesehatan tidak keluar dari pengaturan di bidang kesehatan,” ujar ahli hukum asal Payahkumbuh, Sumatera Barat itu.

Menurut Oce, naskah akademik merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi untuk menentukan materi yang akan diatur dalam undang-undang.

BACA JUGA: RUU Kesehatan, Uni Irma Ingatkan Kemenkes Jangan Potong Kompas ke Baleg

“Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU 13/2022, bahwa tujuan, sasaran, jangkauan dan arah pengaturan suatu RUU harus selaras dengan naskah akademik,” terang Oce.

Persoalannya, beber Oce, muatan materi RUU Kesehatan tidak konsisten dengan naskah akademik.

"Dalam naskah akademik dijelaskan hasil kajian dan analisis mengenai kondisi dan masalah sektor kesehatan. Tidak ada pembahasan mengenai BPJS Ketenagakerjaan atau Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan,” bebernya.

Oce lantas menyoroti beberapa pasal yang mengatur BPJS Ketenagakerjaan di dalam RUU Kesehatan. Kelembagaan BPJS Ketenagakerjaan turut serta diutak-atik.

Tanpa penjelasan dalam naskah akademik, RUU ini tiba-tiba mengatur dan mengubah sistem pertanggungjawaban BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya langsung kepada Presiden, menjadi melalui Menteri Ketenagakerjaan.

“Perubahan sistem pertanggungjawaban tersebut tentunya berimplikasi pada kedudukan BPJS Ketenagakerjaan yang seharusnya langsung berada di bawah presiden,” ungkap dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Ketentuan dalam RUU Kesehatan sebenarnya tidak terkait dengan program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (Jamsostek) dan BPJS Ketenagakerjaan.

Hal ini terbukti dari naskah akademik yang hanya memuat kajian evaluasi terhadap sektor kesehatan tanpa sedikitpun memuat penjelasan mengenai program Jamsostek dan BPJS Ketenagakerjaan.

“Jadi, jika dilihat dari berbagai jenis undang-undang yang diubah oleh RUU ini, maka dapat disimpulkan bahwa RUU ini dikhususkan untuk mengatur berbagai hal dalam sektor kesehatan. Muatan materi dalam RUU Kesehatan juga menunjukkan bahwa sebagian besar materi (hampir seluruhnya) berhubungan dengan sektor kesehatan,” papar Oce.

Dia menegaskan jika faktanya Nnskah akademik hanya fokus pada isu kesehatan, maka arah pengaturan dan ruang lingkup pengaturan RUU Kesehatan mestinya fokus pada regulasi di bidang kesehatan.

"Oleh karena itu, muatan materi sepanjang berkaitan dengan BPJS Ketenagakerjaan sudah selayaknya dikeluarkan dari RUU Kesehatan," tegasnya.

Dia menegaskan jika RUU Kesehatan mengatur isu-isu di luar masalah kesehatan, hal ini bertentangan dengan teknik penyusunan naskah akademik dan Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oce mengungkapkan masih banyak masalah dalam muatan materi RUU Kesehatan.

Salah satu contohnya mengenai ketentuan mengenai pemberhentian anggota Dewas dan Direksi BPJS dalam Pasal 34 UU BPJS.

RUU Kesehatan menambah alasan baru sebagai penyebab dapat diberhentikannya anggota dewas dan direksi, yaitu tidak cakap dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Ketentuan tersebut, lanjutnya, multi-interpretatif (pasal karet).

Tidak jelas ukuran dalam menilai cakap atau tidaknya anggota dewas atau direksi dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.

Ketentuan semacam ini sangat diskresional dan tidak menggambarkan prinsip security of tenure bagi anggota dewas dan direksi yang memiliki fixed-term of office selama 5 tahun menjabat.

“Ada banyak pasal-pasal dalam RUU Kesehatan yang perlu didiskusikan lagi, disesuaikan dengan semangat konstitusi dan UU SJSN. Sebagai bentuk meaningful participation, maka ruang diskusi harus dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah dan DPR,” pungkas Oce. (mrk/jpnn)


Redaktur : Sutresno Wahyudi
Reporter : Sutresno Wahyudi, Sutresno Wahyudi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler