jpnn.com, JAKARTA - Indonesia Center for Legislative Drafting (ICLD) mengkritik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan.
ICLD menyebutkan masing-masing Undang-Undang BPJS dan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) harus diatur dalam satu undang-undang tersendiri, bukan malah digabung dalam omnibus law RUU Kesehatan.
BACA JUGA: Pemkab Lamongan Lindungi 22 Ribu Petani Tembakau dengan BPJS Ketenagakerjaan
Hal itu diungkapkan langsung oleh Direktur ICLD sekaligus pakar perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Fitriani Ahlan Sjarif.
Dia mengatakan, RUU Kesehatan tidak memenuhi syarat keterhubungan untuk disatukan ke dalam undang-undang, karena memiliki materi muatan yang terlalu luas dan tidak serumpun.
BACA JUGA: Menko PMK Ingin Warga Miskin Ekstrem Cepat Jadi Pesertaan BPJS Kesehatan
“Harus ada argumentasi keterhubungan dan relevansinya antara satu undang-undang dengan yang lain sebelum digabungkan dalam RUU. Judul dan perubahan parsial omnibus law menimbulkan kebingungan pengaturan karena tidak sesuai dengan isinya," kata dia, Senin (3/4).
Dia menambahkan RUU Kesehatan dikatakan akan bicara soal kesehatan, tetapi ternyata ruang lingkupnya mencabut 9 undang-undang, bahkan mengubah 4 undang-undang yang bukan termasuk lingkup kesehatan, yaitu sistem pendidikan tinggi, BPJS, SJSN, dan sistem pendidikan nasional.
BACA JUGA: Dorong Peningkatan Layanan Kesehatan, BPJS Watch Sarankan RUU Sistem Kesehatan
"Tentu akan yang bentrok azas-azasnya,” jelasnya.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh RUU Kesehatan (Omnibus Law), regulasi tersebut bisa menguatkan kedudukan Kementerian Kesehatan dan menjadikan BPJS seakan lembaga subordinatif.
Sehingga berpotensi menimbulkan tarik ulur kewenangan untuk menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan BPJS.
Padahal RUU Kesehatan disebut-sebut untuk mengurangi regulasi, tetapi Fitriani menilai RUU tersebut justru berdampak sebaliknya.
“Ini akan berpotensi membingungkan tujuan dibentuknya UU BPJS dan UU SJSN. Saya khawatir dengan RUU Kesehatan, mungkin fokusnya lebih ke kesehatan karena BPJS di situ hanya sebagai pelengkap,” tegas Fitriani.
Fitriani mengatakan DPR dan Pemerintah harus menghormati Mahkamah Konstitusi dengan melaksanakan Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005, yakni yang menentukan agar BPJS diatur dalam satu undang-undang tersendiri yang tidak bercampur dengan materi lainnya.
Hal itu karena, berdasarkan teori materi muatan dan dikuatkan penafsiran Putusan MK Nomor 007/PUU-III/2005 terhadap Pasal 5 ayat (1) UU SJSN.
“DPR RI dan Pemerintah seyogyanya tidak mencampuradukkan UU BPJS dan UU SJSN dalam RUU Kesehatan. BPJS seharusnya diatur ke dalam satu undang-undang yang tersendiri dan tidak bercampur pengaturannya dengan materi-materi lain," ujarnya.
"Sebab UU BPJS adalah amanat langsung dari UU SJSN. DPR RI dan Pemerintah hendaknya memahami bahwa penguatan kewenangan kementerian terhadap BPJS dapat menjadikan BPJS kurang leluasa dan menambah birokrasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara jaminan kesehatan,” pungkasnya. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Beban BPJS Kesehatan untuk Penyakit Akibat Polusi Udara Meningkat, Tembus Puluhan Triliun
Redaktur : Dedi Sofian
Reporter : Dedi Sofian, Dedi Sofian