jpnn.com, JAKARTA - Ketua Tim Pemenangan Bambang Soesatyo, Ahmadi Noor Supit menilai keberadaan tujuh pelaksana tugas (Plt) DPD Partai Golkar Tingkat I Provinsi dan 32 Plt Tingkat II Kabupaten/Kota merupakan bukti nyata pelanggaran yang dilakukan Airlangga Hartarto terhadap AD/ART dan peraturan organisasi.
Ahmadi mengatakan, Airlangga bukan mencerminkan sosok yang demokratis. "Hanya demi ambisi pribadi melanggengkan kekuasaan, menghalalkan segala cara dengan tidak patuh terhadap konstitusi, itu mencerminkan Airlangga otoriter," katanya dalam keterangan tertulis, Sabtu (30/11).
BACA JUGA: Tiga Menteri Diduga Intervensi Munas Golkar, Begini Reaksi Istana
"Peraturan Organisasi Partai Golkar, PO-08 No.08/DPP/GOLKAR/VIII/2010, dalam Pasal 7 Ayat (3) menyatakan Pelaksana Tugas Ketua wajib menyelenggarakan Musyawarah Luar Biasa dalam waktu dua bulan terhitung sejak tanggal penetapan sebagai Pelaksana Tugas. Langkah Airlangga yang membiarkan PLT lebih dari dua bulan, sama saja dengan menginjak konstitusi partai," imbuh Ahmadi.
Dia memaparkan, para Plt DPD I tersebut antara lain Ahmad Doli Kurnia (Sumatra Utara), Sarmuji (Jambi), Rizal Mallarangeng (DKI Jakarta), Zainuddin Amali (Jawa Timur), Gde Sumarjaya Linggih (Bali), Muhtarudin (Kalimantan Timur) dan Ibnu Munzir (Sulawesi Barat).
BACA JUGA: 7 Orang Ambil Formulir Pendaftaran Caketum Golkar, Tidak Ada Airlangga Hartarto
Masih kata Ahmadi, ada pula pengurus DPD Tingkat II yang di-Plt lantaran tidak sejalan dengan Airlangga Hartarto. Antara lain Kab. Batubara, Sumut (23 Maret 2019), Kab. Sijunjung, Sumbar (April 2018), Kota Dumai, Riau (25 Sept 2019), Kab. Lebong, Bengkulu (25 Sept 2019), Kab. Bengkulu Tengah, Bengkulu (25 Sept 2019), Kab. Seluma, Bengkulu (31 Okt 2019), Kab. Bengkulu Utara, Bengkulu (5 Nov 2019), Kota Cirebon, Jabar (6 Juli 2019), Kab. Bekasi, Jabar (9 Juli 2019), Kab. Indramayu, Jabar (23 Okt 2019), Kab. Wonosobo, Jateng (8 April 2019), Kab. Sragen, Jateng (8 Juli 2019), Kab. Pasuruan, Jatim (11 Okt 2018).
Kemudian Kab. Bangli, Bali (23 Mei 2019), Kab. Jembrana, Bali (23 Mei 2019), Kab. Badung, Bali (23 Mei 2019), Kab. Karangasem, Bali (23 Mei 2019), Kab. Tabanan, Bali (23 Mei 2019), Kab. Buleleng, Bali (23 Mei 2019), Kab. Sabu Raijua, NTT (30 Okt 2019), Kota Samarinda, Kaltim (April 2019), Kab. Bantaeng, Sulsel (17 Nov 2016), Kab. Takalar, Sulsel (17 Nov 2016), Kab. Palopo, Sulsel (17 Nov 2016), Kab. Luwu, Sulsel (8 Okt 2019), Kab. Morowali Utara, Sulteng (23 Okt 2019), Kab. Minsel, Sulut (terpilih Ketua DPD I), Kab. Halbar, Malut (11 Juli 2019), Kab. Haltim, Malut (11 Juli 2019), Kab. Tidore Kep, Malut (11 Juli 2019), Kab. Sarmi, Papua (Nov 2019).
BACA JUGA: KPK Bakal Pelototi Munas Golkar
"Awalnya sepuluh 10 DPD II di Maluku juga di-Plt, tetapi dianulir setelah balik badan menyatakan komitmen mendukung Airlangga Hartarto pada 10 Juli 2019. Ini menjadi bukti betapa Airlangga menggunakan jabatan untuk menekan dan mengintimidasi demi syahwat kekuasaan, bukan sebagai alat perjuangan menegakan nilai-nilai luhur Karya Kekaryaan Partai Golkar," tutur Ahmadi.
Dia menjelaskan, keberadaan Plt bukanlah kehendak kader Partai Golkar di daerah, melainkan atas penunjukan dari pusat. Ahmadi menambahkan, konstitusi partai juga mengatur, menjelang enam bulan sebelum Musyawarah Nasional (Munas), tidak boleh ada lagi PLT di berbagai daerah. Konstitusi partai juga mengatur bahwa PLT tak punya hak suara dalam Munas.
"Membiarkan Plt untuk kemudian diberikan hak suara dalam Munas dengan mengangkangi konstitusi partai, sepertinya akan menjadi strategi picik yang dijalankan Airlangga Hartarto. Padahal sikap seorang pemimpin dinilai dari seberapa besar ia menghormati peraturan. Sikap Airlangga Hartarto ini menjadi preseden buruk bagi Partai Golkar," pungkas Ahmadi Noor Supit. (*/adk/jpnn)
Redaktur & Reporter : Adek