jpnn.com, JAKARTA - Kapolri Jenderal Tito Karnavian menepis anggapan yang menyebut institusi yang dipimpinnya menerapkan standar ganda dalam menghadapi massa pengunjuk rasa.
Bantahan itu terkait tudingan tentang cara Polri memperlakukan para pendukung Basuki T Purnama (Ahok) yang berbeda ketika menghadapi massa Aksi Bela Islam.
BACA JUGA: Pak Tito, Kok Perlakuan Polri pada Ahoker dan Aksi Bela Islam Berbeda?
Tito mengatakan, Polri tidak menerapkan standar ganda dalam menangani aksi demonstrasi baik itu yang dilakukan umat Islam maupun massa pro-Ahok.
"Prinsip, kami tidak menetapkan standar ganda. Kami tetap pada aturan ada," ujar Tito dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, Selasa (23/5).
BACA JUGA: Taruna Akpol Tewas, Tito: Kenapa Tidak Dihentikan?
Soal demo umat Islam pada 4 November 2016 yang terpaksa dibubarkan, kata Tito, waktu itu Polri melihat ada potensi terjadinya tindakan anarkistis. "Kita tegas sampaikan batasan waktu tempat dan lain-lain," katanya.
Sedangkan terkait penanganan demo pascaputusan Pengadilan Negeri Jakarta (PN Jakut) terhadap Ahok pada 9 Mei 2017, Tito mengaku sudah memberikan arahan kepada jajarannya untuk melarang demo yang tidak sesuai aturan. Dia menjelaskan, menyampaikan pendapat di muka umum di luar ruangan sudah diatur hanya sampai pada pukul 18.00.
BACA JUGA: Catat, Kapolri Pastikan Penanganan Kasus Habib Rizieq Terus Berjalan
Sedangkan untuk aksi menyampaikan pendapat di dalam gedung, merujuk pada Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2011 maka diperbolehkan sampai pukul 22.00. "Kalau tidak dilaksanakan maka berdasarkan pasal 15 UU Nomor 9 tahun 1998 (tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum), Polri dapat membubarkan," ungkapnya.
Namun, Tito menegaskan, personel Polri di lapangan berupaya menghindari upaya paksa. Dalam aksi demo Ahoker -julukan bagi pendukung Ahok- di depan Rutan Cipinang, kata Tito, pesertanya adalah kaum perempuan terutama ibu-ibu yang menyalakan lilin.
"Jadi tidak tepat kalau langsung dibubarkan dengan kekerasan," ujarnya.
Tito juga mengklaim Polri melakukan upaya persuasif. Kalau tidak bisa, baru dilakukan upaya koersif.
Namun, Tito juga mengatakan bahwa Polri tetap bertindak tegas pada aksi-aksi pendukung Ahok yang tak tertib. Menurutnya, Polri terpaksa membubarkan 10 aksi pendukung Ahok di delapan kota.
“Misalnya di depan Pengadilan Tinggi Jakarta, kami semprot pakai air water cannon. Setelah disemprot langsung bubar," ujar Tito.
Karenanya, Tito menepis tudingan bahwa Polri tidak melakukan langkah tegas terhadap aksi massa pembela Ahok. "Kami bubarkan tanpa adanya konflik," katanya.
Lebih lanjut Tito membantah tudingan Polri tidak adil terhadap umat Islam. Menurut dia, Polri tidak mungkin tak berpihak ke umat Islam di negeri yang mayoritas penduduknya muslim.
Tito menambahkan, tokoh-tokoh umat Islam juga menjadi pendiri bangsa. "Masalah hukum tidak berpihak ke umat Islam kurang tepat," katanya
Namun, katanya, Polri tetap memegang asas equality before the law. Artinya, semua harus diperlakukan sama.
"Siapa pun pelakunya, kalau kebetulan beragama Islam jangan dilihat Islamnya, tapi lihat pelanggaran hukumnya," katanya.
Menurut dia, Polri juga menangani tindak pidana di daerah yang kebetulan pelakunya nonmuslim. Tito pun menegaskan, hal itu bukan berarti Polri bersikap anti terhadap agamanya.
"Kalau memang dianggap hanya tokoh agama Islam ditangani, tapi di daerah juga banyak yang langgar hukum kebetulan beragama Nasrani, Kristen, Katolik, ditangani," paparnya.(boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gelar Tablig Akbar, Polri Harapkan Situasi Politik Kondusif
Redaktur : Tim Redaksi