AI Malware dan Serangan ke Aplikasi Populer Jadi Ancaman Tahun Depan

Senin, 30 Desember 2019 – 19:32 WIB
Serangan Siber. ILUSTRASI. Foto: Pixabay.com

jpnn.com, JAKARTA - Praktisi keamanan siber Pratama Persadha, menjelaskan ancaman serangan siber pada 2020 akan membawa masyarakat dunia pada level baru, para peretas yang memanfaatkan artificial inteligence (AI).

Menurutnya, perkembangan AI tidak hanya terjadi di industri dan dunia birokrasi.
 
Para peretas juga mengembangkan AI untuk melahirkan malware dan ransomware yang mampu melakukan pembelajaran dan menambah peluang  untuk berhasil melakukan satu serangan.

BACA JUGA: Serangan Siber Ransomware Diprediksi Meningkat pada 2020

Melalui AI, malware, ransomware, virus, trojan terus akan berkembang dan mampu memperbaiki kelemahannya saat melakukan operasi.
 
“Perkembangan AI memang sangat menggembirakan bahkan menjadi solusi berbagai tempat, namun juga wajib antisipasi bahwa AI digunakan untuk mengembangkan perangkat serangan siber yang lebih canggih, sebuah parasit di wilayah siber yang bisa berpikir seperti manusia,” kata Pratama dalam keterangan tertulis Senin (30/12).
 
Chairman Communication & Information System Security Research Center, menjelaskan serangan malware akan meningkat. Data Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) menunjukkan Januari - September 2019 ada 129 juta serangan.

Menurutnya, angka tersebut bisa jadi akan jauh lebih besar karena serangan tak semuanya terpantau dan dilaporkan korban.
 
Dia menambahkan selain AI yang digunakan para peretas untuk melakukan evolusi pada malware, netizen tanah air juga akan dipusingkan oleh serangan yang menyasar aplikasi populer.

BACA JUGA: 122 WN Tiongkok Ditangkap Terkait Kejahatan Siber di Nepal

“Tak hanya peretasan saja, aksi memanipulasi juga bisa dilakukan orang biasa tanpa kemampuan hacking. Contohnya dalam kasus akun GoPay Maia Estianty,” terang pria asal Cepu, Jawa Tengah, ini.
 
Menurut dia, semakin banyak orang sadar celah keamanan tidak selalu soal sistem pada web, aplikasi dan jaringan. Makin banyak yang menyadari bahwa manipulasi bisa juga dilakukan lewat korban yang minim pengetahuan IT.

Dia menjelaskan paling banyak adalah kejadian menjebol akun dengan meminta OTP lewat SMS maupun telepon. Ini merupakan praktik social engineering yang sudah sering dilakukan pelaku kejahatan dengan berbagai modus.

BACA JUGA: Iran Jadi Sasaran Puluhan Juta Serangan Siber setiap Tahun

Pratama mengingatkan pihak perbankan, marketplace dan siapa pun yang berbisnis dengan internet serta aplikasi harus memperhatikan ini. Aspek penguatan keamanan siber tidak hanya di teknis, namun juga edukasi ke masyarakat sehingga memperkecil peluang penipuan.

"Social engineering lewat phising juga akan tetep tinggi di 2020.
Kaspersky menyatakan bahwa ada 14 juta upaya phising hanya di Asia
Tenggara sepanjang paruh pertama 2019, pastinya sebagian besar menyasar Indonesia,” tambahnya.
 
Ia menjelaskan ancaman besar juga datang akibat kurang siapnya sumber daya manusia  dalam menghadapi masalah siber dan proses digitalisasi. Pemerintah cukup menyadari ini dengan mengadakan Digital Talent 2019 yang salah satunya memperbanyak SDM dengan kemampuan di bidang siber, salah satunya adalah keamanan siber.
 
Pratama menegaskan ancaman yang cukup serius bagi Indonesia di 2020 adalah penggunaan data  pribadi dan lainnya. Terutama setelah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. PP ini mengatur tentang penempatan pusat data yang lebih fleksibel.

“Padahal di saat bersamaan Indonesia belum memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi sehingga kedaulatan data kita terancam,” jelasnya.
 
Lebih lanjut Pratama mengingatkan serangan berbasis Internet Of Things (IOT) juga akan semakin meningkat di 2020. Dengan kian maraknya perangkat terhubung satu sama lain bisa menciptakan celah bagi penyerang untuk membajak perangkat ini untuk menyusup ke jaringan bisnis.
 
Ancaman terhadap kelangsungan Pilkada Serentak 2020 di tanah air juga bisa berasal dari wilayah siber. Selain peretasan, ancaman dari media sosial lewat hate speech dan hoaks juga sangat membahayakan berlangsungnya proses pilkada serentak. Penegakan hukum dan edukasi di masyarakat akan sangat membantu mengurangi ancaman terhadap pilkada serentak.
 
Dia pun menambahkan tren hoaks akan masuk ke level lebih tinggi dengan adanya deepfake yang dikembangkan dengan AI. Salah satu hasilnya ialah video hoaks yang secara kasat mata sulit sekali dibedakan mana asli mana yang bukan.

“Ini harus diwaspadai sejak dini, karena rawan memecah belah masyarakat bawah,” pungkasnya. (boy/jpnn) 


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler