jpnn.com, JAKARTA - Air bersih saat ini adalah kebutuhan utama masyarakat dunia. Pasalnya, tidak sedikit orang yang saat ini sulit mendapatkan air bersih, terutama untuk dikonsumsi. Termasuk di Indonesia.
Pendiri Indonesia Water Institute, Firdaus Ali mengatakan saat ini di Indonesia, belum semua masyarakat bisa mengonsumsi air yang bersih, berkualitas dan berstandar kesehatan.
Menurutnya, Indonesia Water Institute (IWI) berdasarkan hasil uji sampel pada air minum isi ulang hasilnya mayoritas belum memenuhi standar mutu kesehatan sesuai yang ditetapkan pemerintah.
Uji sampel itu dilakukan di sejumlah depot yang berada di Tamangapa, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, Kabupaten Ponorogo Jatim, Banymanik, Semarang, Jawa Tengah dan di Kota Tomohon, Sulawesi Utara.
BACA JUGA: PWI Mengingatkan Masyarakat Mengonsumsi Air Minum yang Layak dan Sehat
"Studi kualitas bakteriologis pada depot air minum isi ulang di depot Tamangapa, Kota Makassar ada 21 sampel yang diteliti, hanya tiga yang memenuhi syarat kualitas bakteriologis sesuai Permenkes No 492/Menkes/per/IV/2010," katanya dalam acara webinar yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Firdaus mengatakan hasil uji sampel juga menemukan adanya bakteri 'eschericia coli' pada air isi ulang di Kabupaten Ponorogo.
BACA JUGA: Sudah 3 Bulan Hujan Tidak Turun di Tasikmalaya, Warga Kesulitan Air
Sementara itu dari segi kebersihan dan kelayakan sanitasi yang dimiliki depot air minum di Kecamatan Banymanik, Semarang juga dilaporkan tidak memenuhi syarat kesehatan.
"Air minum isi ulang sebagian besar tidak memenuhi syarat kesehatan berdasarkan status 'colifrom' dan terkontaminasi 'escherichia coli' sebanyak 27 dari 35 sampel atau 77,1 persen," tambahnya.
Dari sejumlah hasil pemaparan uji sampel itu, Firdaus mengingatkan masyarakat untuk lebih teliti saat membeli air isi ulang maupun yang dalam kemasan.
“Salah satunya dengan memerhatikan benda-benda yang melayang di dalam kemasannya," ujar Firdaus yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Sumber Daya Air itu.
Dia mengatakan air kemasan dan isi ulang yang terlihat bening belum tentu bersih dan layak untuk dikonsumsi masyarakat sehingga pengolahan air sebelum konsumsi juga perlu diperhatikan.
Dalam webinar yang sama Peneliti dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad) Sri Yusnita Irda Sari juga menjelaskan pentingnya masyarakat teliti dalam mengonsumsi air.
Sri mengakui saat ini kepatuhan pengusaha depot air minum isi ulang dalam memenuhi standar mutu produksi juga masih sangat rendah.
Ditambah kurangnya pengalaman para pelaku usaha itu dalam mengelola air berkualitas.
Menurutnya, sebanyak 70 persen pelaku usaha berdasarkan hasil studi dilaporkan hanya menjalankan usaha mereka kurang dari sepuluh tahun dan tingkat kepatuhan rendah.
"Hanya 41,5 persen depot yang memiliki sertifikat pelatihan, 26,6 persen memiliki izin usaha," papar Sri.
Saat ini, sambung Sri, hanya 17,9 persen pengusaha depot air minum isi ulang yang memiliki sertifikat Laik Higiene Sanitasi (LHS).
Tak hanya itu, baru 10,5 persen saja yang patuh pada peraturan pemeriksaan laboratorium secara reguler.
Menurut Sri, standar prosedur operasional dalam menjalankan usaha juga menjadi salah satu barometer penilaian dalam menghasilkan air minum yang berkualitas.
Dia memaparkan hanya 12,2 persen yang memiliki standard prosedur operasional dalam menjalankan usahanya.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasionel (Susenas) 2015, kata Sri, sebanyak 41 persen populasi menggunakan air minum isi ulang.
Pada kurun 1997 hingga 2008, pertumbuhan usaha depot air minum isi ulang di DKI Jakarta bertambah hingga hingga mencapai 800 persen.
Namun, tak semua depot itu mematuhi standar kesehatan dan kualitas air.
Oleh karena itu, masyarakat sebagai konsumen juga dituntut memiliki keberanian dalam menanyakan sertifikat yang dimiliki pengusaha depot air minum isi ulang.
"Perlu kesadaran dari pengusaha dan juga perlu pengawasan pemerintah. Masyarakat juga harus mulai berani sekarang. Harus bisa melaporkan kalau ada pelanggaran," tegasnya.
Konsumsi air dengan kualitas rendah dan tidak memenuhi standar kesehatan bisa menimbulkan penyakit pada manusia.
Hal itu disampaikan Spesialis Penyakit Dalam dan Konsultan Gastroenterologi-hepatologi dr. Kaka Renaldi, Sp.PD, KGEH yang juga menjadi pembicara dalam Webinar yang digelar PWI bersama Alodokter tersebut.
Menurut Dokter Kaka, masyarakat perlu mengetahui jarak antara sumber air minum dengan lokasi yang menyebabkan pencemaran.
Lokasi pencemar itu seperti jamban atau septic tank, kandang ternak, saluran pembuangan air, dan tempat pembuangan sampah.
"Jika terlalu dekat – yakni kurang dari 10 meter, sumber air bisa tercemar oleh limbah rumah tangga, limbah industri dan logam berat. Jarak dua meter saja sudah bisa tercemar," ujar Dokter Kaka.
Dia mengingatkan air dari sumber tercemar tersebut bisa terkontaminasi bakteri berbahaya, seperti Pseudomonas, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, dan E. coli.
Terpenting, kata dia, masyarakat harus waspada terhadap bakteri e-Coli yang bisa menyebabkan infeksi dan membawa penyakit untuk manusia.
"Infeksi bakteri E. coli pada saluran pencernaan bisa menimbulkan beragam gejala, salah satunya yang paling umum adalah diare," tambahnya.
Di Indonesia, lanjut Dokter Kaka, kasus penyakit diare terbilang sangat tinggi, yakni lebih dari 7 juta total kasus pada 2019.
Pada bayi dan balita, penyakit diare merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi dengan jumlah kasus lebih dari 1.000 kematian.
Tak hanya itu, air dengan kualitas rendah serta tercemar bakteri berbahaya itu juga bisa mengganggu ginjal manusia.
“Infeksi bakteri E. coli pada saluran pencernaan juga selaput otak pada bayi dalam kandungannya, hingga keguguran. Ada ibu hamil menceritakan pada saya dia berada di kampung yang memang air kurang bersih. Saat dipakai untuk membersihkan usai buang air, justru menjadi infeksi," tambahnya.
Oleh karena itu, Dokter Kaka meminta masyarakat lebih jeli dan teliti lagi dalam mengonsumsi maupun menggunakan air dalam kehidupan sehari-hari demi kesehatan tubuh masing-masing.
Organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai penggagas webinar tersebut juga menaruh perhatian khusus terhadap isu kesehatan terutama soal konsumsi air minum layak untuk masyarakat.
Hal ini disampaikan Ketua PWI Atal S Depari saat membuka kegiatan Kelas Jurnalis “Peran Media dalam Mengedukasi Masyarakat Mengenai Perilaku Hidup Bersih Melalui Pemahaman Air Minum Terstandarisasi”.
Menurut Atal, media massa memiliki peran penting untuk memberi edukasi masyarakat terkait konsumsi air minum yang layak untuk kesehatan.
"Melihat fakta di lapangan, masih banyak masyarakat yang mengonsumsi air minum dari sumber air yang tidak terlindungi. Seperti pengisian air minum dari produsen tidak terpercaya, sumur dan air pompa," ujar Atal.
Dia mengatakan semua kalangan harus mengambil peran untuk memberi edukasi bagi masyarakat terkait air minum yang layak dan sehat. Bukan hanya dari kerja pemerintah.
Atal mengatakan isu air minum menjadi sangat penting setelah melihat kondisi lingkungan masyarakat saat ini yang tinggal di sekitar sumber air dekat area limbah dan tanah dangkal. Ini menjadi ancaman tersendiri untuk kehidupan masyarakat Indonesia. Terutama untuk anak-anak.
"Air yang tidak layak mengandung bekteri e-coli yang berbahaya bagi tubuh dan meningkatkan kasus diare di Indonesia sejak 2013-2018. Ini juga menjadi salah satu penyebab kematian nomor dua untuk anak-anak di bawah 5 tahun," sambung Atal.
Dia berharap kegiatan kelas jurnalis dengan tema air yang layak itu bisa menjadi pintu masuk edukasi bagi masyarakat. Termasuk menyokong perbaikan kesehatan masyarakat lewat ajakan dengan nilai-nilai baik.
"Wartawan jurnalis maupun organisasi media harus ambil andil untuk sosialisasi air minum yang layak dan terstandarisasi yang baik. Media massa punya peran untuk menyebarluaskan informasi termasuk menghubungkan kebijakan pemerintah tersebar ke masyarakat," pungkas Atal.(flo/jpnn)
Redaktur & Reporter : Natalia