jpnn.com, JAKARTA - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini mengingatkan pentingnya TNI/Polri menjaga netralitas dalam Pemilu 2024.
Titi mengungkit pengalaman dalam Pilkada pada 2016 silam. Kala itu, Pilkada di 10 Tempat Pemungutan Suara (TPS) Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, harus diulang karena adanya campur tangan aparat.
BACA JUGA: Lantik 300 Bintara, Irjen Iqbal: Jangan Permalukan Polri, Orang Tua, dan Diri Sendiri
"Ketika aparat tidak netral ongkosnya mahal sekali," kata Titi dalam diskusi LP3ES di Jakarta, Selasa (26/12/2023).
Saat itu, aparat polisi terbukti melakukan intimidasi kepada Kepala Kampung Fona agar memilih salah satu kandidat. Warga pun diancam akan ditembak bila tidak memilih salah satu kandidat.
BACA JUGA: Demi Pemilu Damai, Anak Buah AKBP Dody Wirawijaya Tempuh Jalan Berlumpur Hingga Banjir
"Itu Pilkada di beberapa TPS harus diulang karena ada keterlibatan aparat dalam hal ini Polri Brimob dalam proses pemungutan suara," kata Titi.
Dia juga mengingatkan bahaya dari aparat yang tidak netral dalam pemilu yang bisa merusak prinsip pemilu demokratis, yakni pemilu yang bebas, adil, dan setara.
BACA JUGA: Latih Kesiapan Pengamanan Pemilu, Polres Rohil Gelar Simulasi Pemungutan Suara
"Merupakan tindakan sewenang-wenang yang melanggengkan/atau bisa membuat terus berlanjutnya kesewenang-wenangan dan penyimpangan di masa datang. Kesewenang-wenangan yang menjadi bibit laten bagi praktik pemilu," katanya.
Titi mengatakan aparat yang tidak netral tidak hanya merusak prinsip pemilu demokratis dan memberikan ketidakpuasan atas proses pemilu.
Selain itu, berpotensi memunculkan konflik horizontal atau benturan antarpendukung.
Dia menilai aparat yang tidak netral pada akhirnya turut memengaruhi kinerja pemerintah menjadi tidak efektif karena terus-menerus menghadapi isu legitimasi.
Oleh karena itu, Titi berharap masyarakat sipil, akademisi, serta kelompok masyarakat dapat memperkuat konsolidasi untuk melaporkan pelanggaran terkait netralitas aparat.
Pengajar Fisipol UI Sidratahta Mukhtar memaparkan sistem kepolisian yang saat ini sangat sentralistik karena adanya sistem komando yang dipimpin oleh Kapolri.
"Meskipun dalam konstitusi Polri tunduk pada hukum tapi Polri menganut sistem komando," katanya.
Dia mengungkapkan kepolisian sulit dikontrol karena sistem komando dan sentralistik tadi.
"Karena dipimpin oleh Kapolri yang sangat kuat. Di Indonesia ini unik karena polisi menganut sistem komando," tambahnya.
Kerentanan polisi dalam isu netralitas ini adalah akan rentan terjadi bila tidak ada pengawasan.
"Makin rendah tingkat pengawasan makin tinggi kemungkinan abuse of powernya," katanya.
Ketua LP3ES Abdul Hamid menjelaskan pentingnya aparat netral dalam pemilu. Dia mendesak seluruh aparat harus memahami pemilu ini untuk menjadi Indonesia yang lebih baik.
"Kalau mereka tidak berkontribusi dalam menghadirkan pemilu yang lebih baik, maka dia berkontribusi dalam kemuncuran Indonesia," kata Abdul Hamid.
Hamid mendapatkan informasi ancaman yang muncul yaitu 'curang perang'. Kalau ada kecurangan maka akan ada perlawanan.
"Ini bahaya. Ini kita harus jadikan alarm bahaya. Kalau menjadi kesadaran publik, KPU dan aparat menjadi tanggung jawab yang besar," pungkasnya. (flo/jpnn)
Jangan Lewatkan Video Terbaru:
Redaktur & Reporter : Natalia