Akar Konflik Pemilu 2019 versi Peneliti Seven Strategic Studies

Hoaks, Sikap atau Aksi-Aksi Intimidatif Akan Ramai Mewarnai Tahapan Pemilu ke Depan.

Selasa, 05 Maret 2019 – 23:25 WIB
Pemilu 2019. Ilustrasi: radartegal.com

jpnn.com, JAKARTA - Sebentar lagi pemilu serentak 2019, akan memasuki tahapan rapat umum, masa tenang dan pemungutan suara.

Berbagai elemen sudah saling mengonsolidasikan diri, baik sebagai pendukung masing-masing peserta pemilu maupun yang menyatakan diri sebagai kelompok-kelompok independen. Baliho, spanduk dan Alat Peraga Kampanye sudah semakin banyak ditemui, walau di jalan sempit sekalipun ada saja spanduk-spanduk berukuran tidak kecil.

BACA JUGA: OSO Optimistis Lolos PT 4 Persen

Akan tetapi, ada fenomena yang akan hadir, dan yang mungkin dampaknya bisa sangat destruktif terhadap proses pelaksanaan pemilu yang kita harapkan terlaksana dengan damai dan demokratis. Kedua kubu mengklaim tidak memproduksi berita-berita hoaks yang membingungkan dan menyesatkan masyarakat.

BACA JUGA: SIMAK! Seruan Moral Komisi Kerasulan Awam KWI untuk Pemilu 2019

BACA JUGA: Bertemu Jokowi, PGI Dukung Pemilu Damai

Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies, Girindra Sandino, Selasa (5/3) menyampaikan pandangannya terkait situasi tersebut. Pertama, isu hoaks yang berkembang di beberapa daerah, termasuk di Jawa Barat hanya salah satu dari awal strategi Black Campaign lapangan yang agresif dan ofensif sebagai testing the water atau bagaimana publik menyikapi hal-hal demikian.

Namun memang berkorelasi dengan elektabilitas Capres-Cawapres tertentu. Oleh karena itu, jangan dianggap enteng. Oleh karena strategi tersebut dianggap jitu, maka akan diteruskan sebagai senjata ampuh mendobrak elektabilitas capres-cawapres agar naik.

BACA JUGA: Usai Dijamu Jokowi, Parisada Hindu Dharma Keluarkan Imbauan soal Pemilu

“Artinya ke depan hoaks yang beraneka ragam dan cenderung mengarah ke black campaign berpotensi menyebar kebencian massal akan semakin massif, terukur, dan sistematik di basis-basis kuat lawan yang akan dirangsek salah satu kubu,” kata Girindra.

Kedua, adanya fenomena sikap atau aksi-aksi intimidatif dari beberapa kelompok tahu organ-organ untuk melanjutkan pembenaran hoaks yang berhasil dilempar ke beberapa wilayah daerah. Pengalaman Pilkada dibeberapa daerah terjadi menjelang pemungutan suara dan pada proses pemungutan suara, mereka hadir di TPS-TPS.

Ketiga, jangan sampai aksi dan sikap intimidatif berpotensi kuat terjadi di tahapan pemilu ke depan. Artinya harus ada langkah antisipasi yang konkret dari pihak-pihak terkait, baik penyelenggara pemilu seperti halnya pemerintah setempat, kepolisian dan Bawaslu dan jajarannya untuk memetakan aksi intimidasi sel-sel organ yang dapat mempengaruhi masyarakat dalam tahapan kampanye rapat umum maupun psikologis pemilih dalam memilih pada proses pemungutan suara.

Keempat, agar penegakkan hukum dibuka seluas-luasnya. Kanalisasi konflik melalui jalur hukum terhambat, maka potensi konflik aktual di jalur politik akan terbuka. Paling tidak arus gugatan secara hukum langsung ke pengadilan melalui proses hukum akan lebih tinggi, dengan penyelesaian yang bukan mustahil tidak memuaskan secara sosial.

Oleh karena, fragmentasi politik masyarakat yang sudah mengidentifikasikan diri secara emosional dengan kubu capres dan cawapres. Dalam kondisi ini, tensi politik lebih menyengat, dan mudah terpicu menjadi konflik sosial.

Kelima, agar kedua kubu tidak saling terus saling menyalahkan dan diperlukan himbauan dari berbagai kalangan pemerintah, politisi dan tokoh agama agar pemilu berlangsung damai terhindar dari konflik sosial bermuatan kekerasan pemilu yang bermuara dari hoaks dan aksi intimidatif harus menjadi pedoman bagi setiap warga negara yang kritis dalam berdemokrasi.

Walau pun pemilu belum menjamin proporsionalitas, keterwakilan politik maksimal, bahkan belum tentu berkorelasi dengan kemajuan demokrasi, namun memelihara agar tahap kehidupan demokrasi yang sudah dicapai tidak mengalami kemunduran adalah tanggung jawab setiap warga negara.

Legitimasi pemilu demokratik ditentukan oleh imparsialitas, independensi dan akuntabilitas institusi-institusi penyelenggara, kontestan yang bersaing secara jujur, kuantitas dan kualitas partisipasi politik rakyat, serta kebebasan rakyat menentukan pilihan politik yang diproteksi oleh negara, termasuk bebas dari rasa takut dalam memilih di bilik-bilik suara.

“Maka aksi-aksi intimidatif yang berpotensi terjadi di tahapan pemilu ke depan harus menjadi perhatian serius dan perlawanan kaum demokratik,” tegas Girindra.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... APTI Imbau Anggota Pilih Caleg yang Perjuangkan Petani Tembakau


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler