jpnn.com - JAKARTA - Sejumlah elemen menyerukan pentingnya menjaga kebhinnekaan dan komitmen kebangsaan agar Indonesia tetap harmonis. Seruan itu sebagai pengingat seiring rencana aksi unjuk rasa besar-besaran bertitel Aksi Bela Islam II yang rencananya akan digelar di kawasan Monas, Jumat (4/11) agar tetap tertib, aman dan damai.
Sebagaimana diberitakan laman RMOL, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syamsudin Haris menyatakan, kecurigaan di antara elemen bangsa sudah melembaga sejak lama. “Sehingga sering kali menempatkan kita pada situasi sulit," katanya dalam diskusi Forum Wartawan Peduli Kebhinnekaan di Jakarta, Kamis (3/10).
BACA JUGA: Pemeriksaan Habib Rizieq Dipantau Langsung Tiga Jenderal
Diskusi itu juga menghadirkan sejumlah pembicara lain. Yakni wartawan senior Budiarto Shambazy, Ketua Lembaga Kajian Sosial Politik Ketahanan Nasional (LKSPKN) Bambang Sulistomo, pengamat sosial Emmy Hafild, Ketua Umum PB HMI Mulyadi Tamsir dan Ketua Presidium Pusat GMNI, Chrisman Damanik.
Syamsuddin menambahkan, situasi saling curiga sudah terkondisikan sejak masa kolonial. Bahkan, katanya, saat Indonesia di bawah era otoritarian, sikap saling curiga itu justru dilembagakan.
BACA JUGA: Ini Komentar Munarman soal Pasukan Asmaul Husna Polri
Karenanya saat pemerintahan otoriter jatuh, di antara pemimpin sipil tidak punya agenda menata bangsa ini ke depan. Yang ada justru persaingan di antara para tokoh politik yang terus berlanjut meskipun pemilu sudah usai.
Sedangkan Bambang Sulistomo mengatakan, banyak gagasan di bidang politik maupun ekonomi yang tak pernah dituntaskan. Menurutnya, hal itu disebabkan tidak adanya kesungguhan dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen.
BACA JUGA: Politikus Golkar: Peran Saya Kecil tapi Kok Dituntut 9 Tahun Penjara?
Karena itu, cara yang bisa mengatasi berbagai ketimpangan adalah melalui penegakan hukum dan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen. Sayangnya, sejak dulu, para penguasa tidak pernah melaksanakan perintah konstitusi secara tuntas dan tegas.
Sementara Emi Hafild mensinyalir banyak negara asing yang iri terhadap kehidupan harmonis di antara elemen masyarakat di Indonesia. Karenanya, selalu ada kekuatan luar yang berupaya menunggangi berbagai situasi sehingga membuat suasana terlihat mencekam.
Adapun Budiarto Shambazy menilai situasi sosial saat ini sudah terlalu dikendalikan media sosial yang informasinya belum tentu akurat. Dia juga melihat situasi yang berkembang saat ini terkait demo 4 November 2016 karena dipicu akun Si Buni Yani di Facebook yang mengunggah video pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu, September lalu tidak secara utuh.
"Media mainstream sudah tergeser media sosial di mana banyak informasi yang disampaikan sering kali tidak valid," terangnya.
Sedangkan Mulyadi Tamsir mengatakan, masalah kebhinnekaan bangsa sudah menjadi suatu keniscayaan. Tapi, pihaknya akan turun demo besok, menuntut proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama.
"Kita tidak boleh saling memaksakan kehendak, biarkan orang menyampaikan aspirasi secara damai," terangnya.
Sementara itu, Ketua Presidium Pusat GMNI Christian Damanik menegaskan, masalah kebhinekaan bangsa merupakan komitmen bersama yang melahirkan Pancasila sebagai titik temu berbagai aliran. Hanya saja, katanya, belakangan memang ada pengusung paham radikal.
“Apalagi, saat ini, radikalisme bukan hanya menyangkut isme tertentu, tapi meliputi fundamentalisme pasar yang sangat menggangu. Kita berharap, demo besok tetap berlangsung damai sehingga memberi ketenangan bagi bangsa keseluruhan," paparnya.(fer/rmo/ara/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa Sosok Pahlawan di Mata Mbak Puan?
Redaktur : Tim Redaksi