Akhirnya, Setelah JK Ikuti Pesan Pak Kiai, Perdamaian di Aceh Terwujud

Minggu, 15 November 2015 – 17:30 WIB
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Gubernur Aceh Zaini Abdullah, dan Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Alhaytar dan Kepala Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN Ferry Mursiyidan Baldan di Aceh, Sabtu (14/11) malam. FOTO: Natalia/JPNN.com

jpnn.com - Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla mengisahkan pengalaman saat terlibat aktif dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekitar sepuluh tahun lalu. Saat itu, JK menjabat Wapres di era Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) I saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat Presiden.

Pengalaman dan kisah JK itu disampaikan saat diundang ke International Conference 10th Year Anniversary of MoU Helsinki di Aceh, Sabtu (14/11) malam.

BACA JUGA: Firasat Aneh, Tiba-tiba Dokter Andra Minta Pulsa

JK, sapaan akrab pria asal Makassar itu, masih mengingat jelas proses perdamaian yang sudah dirindukan masyarakat Aceh selama bertahun-tahun. Banyak kisah unik selama proses perundingan yang akhirnya menghasilkan kesepatan Helsinki itu.

Salah satunya, kenang JK, saat mengurus perundingan itu, dirinya gagal menemui seorang Kiai yang dekat dengannya. Sang Kiai, tak marah padanya. Ia justru meminta JK untuk membaca surat Yassin sebanyak 10 kali.

BACA JUGA: Cara Mengubah Stigma Nama Asep Pembawa Sial jadi Keberuntungan

“Malam itu, saya ada janji dengan seorang Kiai untuk bertemu di suatu acara. Tetapi, saya batalkan karena ini (perundingan) terancam deadlock. Tetapi, Kiai telepon saya dan mengatakan jika saya ada masalah, harus membaca Yassin 10 kali," katanya.

Menurut JK, untuk membaca Surat Yasin sebanyak 10 kali membutuhkan waktu setidaknya 1,5 jam. Itu ia lakukan. Kemudian dibantu sang istri Mufidah Jusuf Kalla

BACA JUGA: Asep yang Satu Ini Hartanya Melimpah tapi Putuskan Tutup Usaha, kok Bisa?

“Persis setelah (pembacaan) Yasin itu, Sofyan (Sofyan Djalil) telepon bilang mereka (GAM) bisa memahami," kenangnya.

Akhirnya, perdamaian di Aceh terwujud dengan ditandatanganinya kesepakatan yang kemudian disebut Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, pada 15 Agustus 2005.

JK pun bisa bernapas lega setelah adanya perdamaian itu. Ia kini dijuluki sebagai "'Bapak Perdamaian Aceh”.

Sebelumnya diberitakan, masyarakat Aceh hingga saat ini terus mengenang jasa Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menginspirasi perdamaian di kota Serambi Mekkah itu lewat kesepakatan di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005 silam.

Saat diundang ke International Conference 10th Year Anniversary of MoU Helsinki di Aceh, Sabtu malam (14/11), JK, sapaan akrab pria asal Makassar itu, juga masih mengingat dengan jelas proses perdamaian yang sudah dirindukan masyarakat Aceh selama bertahun-tahun.

Sambil berkelakar, JK mengungkapkan orang dari suku Jawa tidak cocok mengurus perdamaian di Aceh. Karena itu, orang dari Makassar yang bisa menanganinya.

“Kenapa perundingan tidak ada orang Jawa? Maaf nih karena takut dia tersinggung kalau Pak Malik atau Zaini ngomongnya keras, tersinggung pula nanti. Gagal perundingan. Makanya orang Makassar. Orang Makassar satu sifat sama orang Aceh,” kata JK sambil tertawa, dan disambut tawa tamu undangan.

Orang-orang yang dimaksudnya itu adalah tiga tokoh GAM kalai itu yang ikut dalam perundingan, yaitu Perdana Menteri Malik Mahmud, Menteri Luar Negeri Zaini Abdullah dan Menteri Dalam Negeri Bakhtiar Abdullah.

Di hadapan, sekitar seratus peserta yang hadir, JK mengungkapkan betapa alotnya perundingan yang memakan waktu selama enam bulan dan enam kali pembicaraan tersebut.

Perundingan itu, diakuinya, cukup rumit karena harus mengedepankan dua tujuan dari pihak yang berbeda. Di satu sisi, sejumlah permintaan dari GAM diupayakan untuk diakomodir. Tetapi, di sisi lain, pandangan negatif dari dalam negeri juga harus ditelan pahit.

JK mengungkapkan setidaknya butuh waktu selama 10 hari untuk mempersiapkan para perunding, di antaranya Hamid Awaludin (Menteri Kehakiman saat itu) dan Sofyan Djalil (Menteri Komunikasi dan Informatika ketika itu). Tak hanya itu, kata dia, pengetahuan mengenai Aceh harus hafal di luar kepala.

Saat melakukan perundingan, tim JK pun sempat dibuat pusing dengan protes bertubi-tubi karena pemerintah pusat meluluskan permintaan adanya hymne, bendera dan aturan khusus mengenai ekspor-impor untuk Aceh.

“Semua protes, mengetahui pemerintah setuju adanya hymne Aceh. Jawabnya mudah saja, PSSI ada hymne-nya, masa Aceh tidak boleh. Soal bendera juga semua orang protes. Padahal, DKI Jakarta ada (bendera), Makassar juga ada, masa Aceh tidak ada. Diskriminasi dong,” paparnya.

Bukan hanya itu tantangan yang dihadapi JK dan tim untuk ciptakan perdamaian, ada juga tudingan menjual negara sendiri yang dialamatkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat itu pada pemerintah, karena minimnya akses informasi mengenai proses perundingan.

“Proses perundingan yang tahu hanya saya, yang berunding, Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono). Menteri pun tidak tahu,” kata dia.

Namun, protes itu diabaikannya. JK bergeming dan tetap merahasiakan demi menjaga kepercayaan pihak kedua. Alasannya, proses perundingan berjalan lancar meskipun harus melalui lima kali pembicaraan dan satu kali pertemuan untuk menandatangani kesepakatan.

Perbedaan waktu antara Tanah Air dan Helsinki, diakui JK juga menjadi harga yang harus dibayar. Sebab, membuatnya harus tidur dini hari hanya untuk mengawal perundingan.

Menurutnya, tantangan terberat muncul saat perundingan kelima. Tepatnya, saat GAM meminta dizinkan membentuk partai politik lokal.

“Namun akhirnya, doa-lah yang menyelamatkan nasib perundingan yang selama enam bulan," sambungnya.(flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Prasodjo asal Purworejo, Sakit-sakitan Lantas Ganti Nama Asep Sutisna, Eh...Sehat


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler