Penelitian terbaru mengungkap, lebih dari 12 triliun dolar (atau lebih dari Rp 120 kuadriliun) telah tersedot keluar dari Rusia, China dan sejumlah negara ekonomi berkembang lainnya ke dalam dunia keuangan gelap di lepas pantai.
Para pemimpin dunia akan berkumpul di Inggris pekan depan untuk membahas dana triliunan dolar yang disimpan di negara suaka pajak luar negeri, dan mereka akan belajar bahwa masalah ini hanya semakin buruk.
BACA JUGA: Australia Terbitkan Pedoman Baru Bagi Industri Bedah Kosmetik
Analisis tersebut dilakukan selama 18 bulan oleh Profesor James S Henry dari Universitas Columbia untuk kelompok Jaringan Keadilan Pajak (Tax Justice Network).
Analisis ini muncul setelah Dokumen Panama mencuat, yang menunjukkan penghindaran pajak secara global di saat orang-orang kaya menyembunyikan aset mereka di wilayah lepas pantai.
BACA JUGA: Tutupi Kasus Kekasihnya, Mantan Kepala Polisi Australia Utara Jadi Tersangka
Profesor James mengatakan, terbitan terbaru dari Dokumen Panama menyoroti bagaimana warga yang kaya, korup dan berkuasa mengeksploitasi sistem yang ada, khususnya di negara berkembang.
"Kami melihat sejumlah besar pelarian modal keluar dari tempat-tempat seperti China dalam 18 bulan terakhir, lebih dari satu triliun dolar berpindah," tuturnya.
BACA JUGA: Tasia dan Gracia, Pemenang MKR 2016 Berjumpa Ratusan Penggemarnya
Angka-angka yang terjadi di Rusia memiliki pola yang sama.
"Rusia telah menjadi kontributor besar. Bahkan sejak periode 2014 yang diacu angka-angka ini, sudah ada peningkatan yang luar biasa sehingga Rusia sekarang telah kehilangan lebih dari 1,3 triliun dolar (atau setara Rp 13 kuadriliun)," jelas Prof James.
Sejak tahun 2010, jumlah kekayaan global yang disimpan di lepas pantai telah meningkat dari sekitar 9 triliun dolar (atau setara Rp 90 kuadriliun) menjadi 12,1 triliun dolar (atau setara Rp 121 kuadriliun) pada akhir tahun 2014.
Negara kaya punya peluang ambil alih
Profesor James mengatakan, 30 negara teratas menyumbang sekitar 94% dari total pelarian pajak itu, "dengan rezim otoriter atau rezim kleptokrasi (korup) menyumbang setidaknya 80% dari kondisi itu".
Namun ia menyebut, bergantung kepada negara maju seperti Australia untuk memerangi masalah tersebut.
"Saya pikir itu terserah pihak yang mampu, Anda tahu kleptokrat sedang mencari tempat dengan aturan hukum dan pengadilan independen untuk melindungi aset mereka," katanya.
Prof James menerangkan, "Ini benar-benar bergantung pada negara-negara OECD seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Uni Eropa dan tentu saja, Swiss, sebagai penerima uang ini dalam jumlah besar, sehingga negara-negara kaya di dunia-lah yang memiliki kesempatan untuk mengambil alih ini."
Jika tak sekarang, kapan lagi?
Para pemimpin dunia akan bertemu dalam Pertemuan Tingkat Tinggi Anti-Korupsi Inggris, minggu depan.
Profesor James mengatakan, ada langkah-langkah konkret yang bisa diambil untuk mengatasi masalah itu, dan ia berharap Perdana Menteri Inggris David Cameron akan memimpinnya.
"Kami memiliki daftar hal-hal yang bisa ia lakukan, mulai dengan pendaftaran kepemilikan perusahaan dan aset, mengungkap kerahasiaan keuangan yang berhubungan dengan mereka, dan menerapkan hukuman tegas untuk semua yang dinilai mampu memfasilitasi ini,” jelasnya.
"Bank-bank besar, firma hukum, perusahaan akuntan di seluruh planet ini, karena ini bukan sebuah industri di mana Anda menumbuhkan aset anda sendiri," katanya.
Ia berharap ada cukup kemauan politik untuk mengatasi masalah tersebut.
"Nah kalau tidak sekarang, kapan? Ada kemajuan yang telah dibuat dan ada cukup banyak yang tersisa untuk dilakukan tapi saya optimis, kita bisa terus menekan," sebutnya.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menkeu Bambang: Indonesia Perlu Lebih Banyak Wirausaha Kreatif