Akidi Tio

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Rabu, 28 Juli 2021 – 07:11 WIB
Gubernur Sumsel Herman Deru (kiri) didampingi Kapolda Sumsel Irjen Eko Indra Heri menerima bantuan penanganan COVID-19 secara simbolis dari keluarga Akidi Tio di Mapolda Sumsel, Palembang, Senin (26/7). Foto: ANTARA/HO-Pemprov Sumsel/21

jpnn.com - Tidak ada yang mengenal nama Akidi Tio sebelumnya. Tidak banyak yang mengetahui latar belakang maupun kisah perjalanan bisnisnya.

Tahu-tahu, Akidi Tio mengagetkan orang seantero negara dengan menyumbangkan uang Rp 2 Triliun untuk penanggulangan pandemi di Palembang, Sumatera Selatan.

BACA JUGA: Turun ke Jalan, Raffi Ahmad Bantu Masyarakat Saat PPKM Darurat

Nama itu langsung viral. Orang pun bertanya-tanya siapa Akidi Tio. Uang sebesar itu tentu jumlah yang sangat besar. Bahkan bagi para crazy rich pun jumlah itu mencengangkan. Akidi Tio sudah meninggal dunia, dan para ahli warisnya memberikan amal itu atas namanya.

Masyarakat umum, terutama para warganet, suka melakukan glorifikasi, puja-puji yang berlebihan kepada seseorang yang dianggap kaya dan punya gaya hidup mewah.

BACA JUGA: Crazy Rich Surabaya Ini Sukses Kembangkan Bisnis Fesyen di Masa Pandemi

Berbagai julukan diberikan, mulai dari crazy rich sampai sultan. Begitu ada orang yang punya kekayaan berlebih, langsung disebut sebagai crazy rich atau sultan.

Banyak juga yang sengaja mengejar gelar itu dengan cara pansos, panjat sosial, melalui media massa.

BACA JUGA: Anggota DPR Berjuluk Crazy Rich Tanjung Priok Ini Jadi Ikon Taat Pajak

Mereka pamer kekayaan berbagai jenis mobil mewah, lalu pamer gebokan uang yang dihitung secara demonstratif.

Gelar crazy rich dan sultan menjadi kebanggaan, meskipun tidak jelas dari mana mereka memperoleh uang.

Mereka yang suka pamer arloji mewah, mobil sport Eropa jenis terbaru, pakaian-pakaian branded, dan berbagai pameran gaya hidup mewah lainnya, sekarang jadi diam tidak berkutik.

Anak-anak muda bergelar sultan yang dapat uang dari jualan medsos semua tidak berkutik karena mereka tidak ada apa-apanya dibanding Akidi Tio.

Tentu, Akidi Tio tidak bermaksud mempermalukan siapa pun. Namun, mereka yang selama ini sok pamer kekayaan hanya supaya dapat gelar crazy rich, seharusnya malu. Dibanding dengan kekayaan Akidi Tio para crazy rich dan sultan jadi-jadian itu hanyalah ‘’peanut’’ alias kacang goreng.

Nama Akidi Tio tidak pernah masuk dalam daftar 50 orang pembayar pajak terbesar Indonesia. Namanya juga tidak pernah masuk dalam daftar orang tajir Indonesia versi Forbes, atau versi apa pun.

Meski begitu, dengan menyumbang Rp 2 triliun orang bisa membayangkan berapa nilai total kekayaan Akidi Tio.

Gelar manusia paling tajir di Indonesia versi Forbes sekarang dipegang oleh duet kakak beradik Budi dan Michael Hartono.

Berdua kekayaan mereka sekitar USD 400 miliar, atau kalau dirupiahkan sekitar Rp 600 triliun. Chairul Tanjung ada di urutan kelima dengan total kekayaan Rp 70 triliun. Di urutan kesepuluh ada pengusaha Theodore Rachmat yang punya kekayaan Rp 25 trilun.

Melihat daftar kekayaan orang-orang tajir Indonesia itu, Akidi Tio bisa dengan mudah masuk ke daftar 100 besar manusia terkaya Indonesia. Bahkan, untuk masuk 10 Besar pun tampaknya tidak terlalu sulit.

Sekadar berandai-andai, apakah seseorang akan mengamalkan sepuluh persen dari total kekayaan pribadinya?

Seseorang yang punya keyakinan Kristen mungkin akan mengeluarkan sepuluh persen. Seorang muslim hanya diwajibkan mengeluarkan zakat harta sebesar 2,5 persen.

Taruhlah Akidi Tio punya keyakinan Kristen dan dia ingin menginfakkan sepuluh persen hartanya, berarti kekayaannya mencapai Rp 20 triliun, tidak jauh dari total kekayaan Theodore Rachmat yang masuk di 10 Besar orang terkaya Indonesia.

Pengacara kaya Hotman Paris pun mengakui bahwa Akidi Tio layak disebut sebagai pahlawan karena kedermawanannya. Hotman yang suka pamer mobil mewah dan aksesoris mahal, membandingkan kedermawanan Akidi Tio dengan pendiri Microsoft, Bill Gates.

Hotman bahkan menganggap apa yang dilakukan Akidi Tio lebih hebat dari kedermawanan Bill Gates.

Pengusaha nasional Peter F. Gontha juga memuji sikap filantropis Akidi Tio.

Menurut hitungan Gontha, dalam dolar Amerika nilai sumbangan Akidi Tio setara dengan USD 130 juta. Bahkan orang-orang terkaya di dunia seperti Bill Gates, Warren Buffett, atau Jeff Bezos tidak pernah mengamalkan uang pribadinya sebesar itu.

Orang-orang kaya itu memang terkenal dengan proyek kedermawanan filantropisnya. Bill Gates dan mantan istrinya Melinda Gates, mempunyai yayasan Gates Foundation yang memberikan amal bagi orang-orang miskin di seluruh dunia.

Orang-orang kaya Amerika sejak zaman Rockefeller dan Carnegie mendirikan yayasan, dan menyumbangkan sebagian harta mereka untuk amal.

Namun, tanpa buruk sangka kepada mereka, yayasan amal itu sering dicurigai sebagai bagian dari upaya untuk menyelamatkan harta mereka dari pajak. Di Amerika, harta yang diamalkan melalui yayasan dibebaskan dari kewajiban pajak.

Kalau toh mereka ikhlas menyumbangkan hartanya untuk amal hal itu wajar saja, karena selama ini mereka mengeruk keuntungan dari model ekonomi kapitalis liberal Amerika, yang memberi keleluasaan sepenuhnya untuk mengumpulkan harta sebanyak mungkin.

Bill Gates menjadi kaya raya, antara lain, karena memegang banyak sekali hak cipta dan hak paten. Dengan kekayaan HAKI (hak atas kekayaan intelektual) itu, kekayaan Bill Gates akan terus mengalir dari seluruh dunia sepanjang hidupnya.

Karena itu, wajar saja kalau sekarang Gates merasa berdosa dan kemudian ingin mengamalkan sebagian uangnya untuk penduduk dunia.

Perdagangan bebas dan sistem ekonomi kapitalis-liberal telah menciptakan jurang yang lebar antara negara kaya dengan negara-negara miskin.

Bill Gates, dengan proyek filantropisnya, ingin membantu orang-orang miskin. Namun, Gates tidak ingin menghilangkan penyebab kemiskinan itu, yaitu sistem ekonomi kapitalistik liberal ala Amerika, yang dipaksakan ke seluruh dunia melalui globalisasi.

Di Indonesia, ketimpangan ekonomi dalam bentuk jurang kaya dan miskin menjadi problem yang masih sulit dipecahkan. Sepuluh persen elite kaya Indonesia menguasai 90 persen dari total kekayaan nasional.

Pandemi yang melanda dalam setahun terakhir menyebabkan orang miskin di Indonesia naik sepuluh persen, atau setara dengan 27 juta orang.

Orang-orang miskin itu menjadi korban yang paling menderita akibat pandemi dan pembatasan pergerakan yang sekarang diterapkan pemerintah.

Kasus Pak Bilal, penarik becak berumur 84 tahun yang meninggal di atas becaknya di Yogyakarta, maupun kasus Vino, anak sepuluh tahun yang yatim piatu karena kedua orang tuanya meninggal karena Covid 19 di Kalimantan Timur, adalah contoh kecil dari penderitaan rakyat miskin yang tak tertanggungkan.

Bagi orang-orang miskin itu pilihannya sama-sama mengerikan, mati kena virus di jalan, atau mati kelaparan di rumah.

Sistem pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial yang diberikan pemerintah masih belum menjangkau orang-orang miskin seperti Pak Bilal dan Vino.

Tindakan filantropis Akidi Tio akan sangat membantu mengatasi kerumitan ini. Tindak filantropis Akidi Tio seharusnya bisa mengetuk hati orang-orang kaya Indonesia, bahwa sekaranglah saat yang paling tepat untuk memberi, setelah selama ini mereka sangat banyak menerima.

Sangat banyak orang-orang yang menjadi relawan dan berjuang keras membantu warga miskin yang menjadi korban pandemi.

Namun, belum ada yang sedermawan (keluarga) Akidi Tio. Siapa pun dia, dia akan tercatat sebagai salah satu filantropis besar di Indonesia.

Legasinya akan dikenang lama. Seperti kata pepatah Inggris, everybody dies, but only some leave legacy, setiap orang akan mati, hanya sedikit yang meninggalkan legasi. (*)


Redaktur & Reporter : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler