jpnn.com - JAKARTA - Terdakwa perkara dugaan suap penanganan sengketa pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi dan pencucian uang, Akil Mochtar menyatakan, tuntutan terhadap dirinya diwarnai oleh kepentingan politik pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu, tuntutannya tidak didasarkan kepada fakta hukum yang terungkap di dalam persidangan.
"Kita bersama bisa melihat di berbagai kasus yang ditangani KPK, jika pimpinan memiliki kepentingan politik, maka tuntutannya menjadi rendah, karena ada "deal-deal" di balik itu semua, walaupun pelakunya adalah penyelenggara negara," kata Akil dalam nota pembelaannya berjudul "Saya Bukan Malaikat, Tapi Bukan Pecundang" di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (23/6).
BACA JUGA: Kubu Prabowo Nilai Indonesia Belum Siap Operasikan Drone
Akil menyatakan, apabila pelakunya tidak sesuai dengan keinginan dan harapan pimpinan KPK, maka tuntutannya akan menjadi sangat tinggi. Kata dia, dalam kenyataannya banyak pelaku korupsi yang merugikan kekuangan negara sampai triliunan rupiah hanya dituntut hukuman ringan.
Padahal, lanjut Akil, esensi sebenarnya dari perkara korupsi adalah merugikan keuangan negara. "Sedangkan saya dalam perkara a quo yang didakwa dan dituntut sebagai pelaku Tipikor menerima suap (delik jabatan) yang tidak berhubungan dengan kerugian keuangan negara dituntut sedemikian rupa sampai dengan hukuman maksimal," ujarnya.
BACA JUGA: Hadiri Flash Mob Salam Dua Jari Tanpa Mobilisasi Bukti Kerelaan Hati
Menurut Akil, penuntutan terhadapnya jauh dari rasa keadilan dan mengabaikan penegakan hukum yang sebenarnya. Ia mengaku diperlakukan secara tidak adil oleh KPK.
"Sehingga terhadap diri saya sejak semula telah diperlakukan secara tidak adil oleh KPK, melakukan perlawanan secara hukum, telah dinilai tidak kooperatif dan tidak jujur dalam persidangan, tidak mengakui kesalahannya dan tidak menyesali perbuatannya," tandas Akil.
BACA JUGA: Priyo: Kita Butuh Pemimpin yang Bisa Dibanggakan
Seperti diketahui, Akil dituntut pidana seumur hidup. Selain itu, jaksa juga menuntut pidana denda sebesar Rp 10 miliar dan pidana tambahan berupa pencabutan hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut aturan umum.
Dalam memberikan tuntutan, jaksa mempertimbangkan hal yang memberatkan dan meringankan. Hal yang memberatkan adalah perbuatan terdakwa dilakukan pada saat pemerintah sedang giat-giatnya melaksanakan upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hal memberatkan berikutnya adalah terdakwa merupakan ketua lembaga tinggi negara yang merupakan ujung tombak dan benteng terakhir bagi masyarakat dalam mencari keadilan.
Menurut Jaksa Pulung, perbuatan terdakwa mengakibatkan runtuhnya kewibaan lembaga MK sebagai benteng terakhir penegakan hukum. "Diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada lembaga MK," ujarnya.
Pulung menambahkan terdakwa tidak bersikap kooperatif dan tidak jujur dalam persidangan. Kemudian terdakwa tidak mengakui kesalahan dan tidak menyesali perbuatannya.
"Hal yang meringankan tidak ada," tandas Jaksa Pulung. (gil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Soal Wilfrida, Prabowo Dianggap Nimbrung Saja
Redaktur : Tim Redaksi