Neta mengatakan, setidaknya ada empat indikasi yang patut dicermati Polri. "Yakni momentum peringatan Bom Bali I pada 12 Oktober dan Bom Bali II pada 1 Oktober," kata Neta, Minggu (23/9).
Kemudian, lanjut Neta, pada 20 Mei 2011 Polri pernah umumkan 15 bom aktif masih berada di tangan DPO teroris, lima di antaranya ada di kelompok (Sigit Qurdowi) di Cirebon (kasus bom bunuh diri di Polres Cirebon).
Lalu, kelompok Solo sejak beberapa tahun terakhir dibawa kendali orang-orang Sigit Qurdowi. "Sigit tewas ditembak polisi tahun 2011. Di masa hidupnya ia berhasil merekrut anak-anak muda yang militan dan dia disebut Amir (ketua) oleh kader-kadernya," jelasnya.
Ia mengatakan, Sigit adalah pemasok bahan pembuatan bom ke jaringan Cirebon. "Setelah kematian Sigit anak buahnya selalu berusaha melakukan aksi teror besar tapi tak pernah terlaksana karena keburu diciduk polisi," kata Neta.
Dia menegaskan, kasus bom Tambora, Beiji dan Jebres memiliki kesamaan karakter. Dari fakta-fakta di Tempat Kejadian Perkara, terlihat banyak kecerobohan. "Ini menunjukkan bahwa mereka-mereka adalah pemain baru," tegasnya.
Pertanyaannya kemudian, kata Neta, siapa yang merekrut, membina dan melatih mereka membuat bom? "Sepertinya, orang ini belum tertangkap dan masih berkeliaran," kata Neta.
Dijelaskan Neta lagi, dalam jaringan teroris Indonesia pasca-reformasi ada "struktur acak" yang terdiri dari penyandang dana, pemimpin, pencari dana, perekrut, pelatih bom, pelatih lapangan, pembuat bom, pemantau lokasi, juru picu, pengantin (eksekutor lapangan). "Namun mereka tidak pernah memiliki tim propaganda dan negosiator seperti teroris di luar negeri," katanya.
Mata rantai struktur ini, lanjut dia, masih sulit diputus aparat keamanan, sehingga aksi-aksi sporadis kerap bermunculan. "Dan yang harus diwaspadai saat ini adalah aksi sentimentil para teroris dalam mengenang kasus bom Bali yang indikasinya sudah bermunculan," tuntasnya. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Puluhan Bom Siap Ledak di Solo
Redaktur : Tim Redaksi