Aktivis 98: Rapor Pemberantasan KKN dan Penegakan Hukum Nyaris Tidak Lulus

Sabtu, 23 Mei 2020 – 16:40 WIB
Aktivis 98 sekaligus mantan Ketua Senat Mahasiswa FISIP UI Herzaky Mahendra Putra saat diskusi virtual bertajuk Refleksi 22 Tahun Demokrasi: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan yang digelar ILUNI UI, Jumat (22/5/). Foto: ILUNI UI

jpnn.com, JAKARTA - Aktivis 98 sekaligus mantan Ketua Senat Mahasiswa FISIP UI Herzaky Mahendra Putra menilai rapor untuk pemberantasan KKN dan penegakan hukum saat ini masih mendapat nilai C- atau C minus.

Hal ini disampaikannya dalam diskusi virtual bertajuk Refleksi 22 Tahun Demokrasi: Dulu, Sekarang, dan Masa Depan yang diselenggarakan Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI UI), Jumat (22/5/2020).

BACA JUGA: Respons Policy Center ILUNI UI Terhadap Dua Paket Kebijakan Penanganan Wabah Corona

Herzaky memaparkan ada dua inti dari enam hal yang menjadi tuntutan reformasi pada tahun 1998. “Ada dua poin agak berat padahal ini core of the core. Pemberantasan KKN dan supremasi hukum. Nilainya C, hampir enggak lulus,” tukas dia.

Seperti diketahui, mahasiswa menyuarakan enam tuntutan yang menjadi agenda reformasi pada tahun 1998. Keenam tuntutan tersebut terdiri dari penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan Soeharto dan kroni-kroninya, amendemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI dan Polri), dan pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

BACA JUGA: Pertamina Patra Niaga Donasikan APD Medis Melalui ILUNI UI FKIK

Dari enam tuntutan tersebut, Herzaky mengungkapkan bahwa keberadaan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi sempat memberikan harapan besar. Tetapi, menurut Herzaky, dirinya melihat harapan itu mulai meredup melihat berbagai realita yang ada.

Aktivis yang juga menjabat sebagai Ketua ILUNI UI ini menilai pemberantasan KKN dan penegakan hukum masih menjadi pekerjaan rumah bersama.

BACA JUGA: Profil Laksamana TNI Yudo Margono, Putra Kelahiran Madiun yang Jadi Pemimpin Tertinggi TNI AL

Ia mengatakan perlu adanya perbaikan secara institusional untuk berbagai penegak hukum yang ada. Keberanian para pimpinan institusinya menolak intervensi kekuasaan pun diperlukan sehingga tidak membawa Indonesia kembali ke orde baru.

Berdasarkan penilaian sebuah lembaga pemantau demokrasi internasional bernama Freedom House, indeks demokrasi indonesia dinyatakan mengalami kemunduran.

“Sejak tahun 2014-2019, Freedom House menyebutkan Indonesia kembali menjadi negara partly free. Nilainya terus menurun sejak 2017. Perhatian utamanya adalah kebebasan sipil,” kata Herzaky. 

Dia mengingatkan bahwa masyarakat sipil memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal amanat reformasi. Oleh karena itu, diperlukan keberanian untuk tetap kritis di tengah maraknya pembungkaman.

“Boleh berbeda platform gerakan, tetapi harus bersatu untuk Indonesia yang lebih baik,” tukasnya.  Lebih lanjut, Herzaky mengimbau mahasiswa mesti mengingat, tugas mereka bukan hanya di bidang pendidikan, melainkan juga di penelitian dan pengabdian masyarakat seperti yang tercantum dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Dari enam tuntutan reformasi lainnya, Herzaky kemudian menilai setidaknya ada dua hal yang telah berhasil dilaksanakan yakni amendemen konstitusi dan pencabutan dwifungsi ABRI. Gerakan reformasi dan perjuangan aktivis yang berada di parlemen melahirkan pilpres langsung.

”Itu harus kita jaga. Jangan sampai tergoda yang ingin mengembalikan pilpres melalui MPR. Nilainya A+,” imbuh dia.

Sementara itu, Aktivis 98 sekaligus aktivis Keluarga Besar UI (KB UI) Ikravany Hilman berpendapat masih ada ruang membangun bangsa yang terus-menerus. Ia juga membaut perbandingan mahasiswa angkatan 98 dengan mahasiswa saat ini. Aktivis 98 tersebut mengungkap bahwa situasi mahasiswa saat itu dan saat ini sebenarnya hampir sama.

”Tantangan mahasiswa 80-90-an dengan hari ini sama saja. Mungkin karena nature kelas menengah masuk kampus seperti itu. Zaman dulu ada ada juga tarik-menarik orang yang nonton JGTC dan turun aksi,” ungkapnya.

Ikra melanjutkan, pada era 98 hampir semua mahasiswa yang tergerak karena hasil sebuah proses. ”Jadi, tidak perlu juga mahasiswa hari ini harus terobsesi untuk bergerak bersama. Jika bersama jadi satu persyaratan, nanti tidak bergerak-bergerak,” kata dia.

Pada tahun 80-90-an, mahasiswa bergerak melalui berbagai elemen seperti di kelompok studi, di organisasi intra seperti HMI, dan kelompok kecil lainnya. Mahasiswa yang bergerak saat itu dianggap asing oleh sebagian mahasiswa. Ketika momen politik muncul, mahasiswa yang terbiasa bergerak di aktivis ini pun menjadi pemimpin.

”Situasi pada saat itu di UI ada organisasi formal, ada yang nonformal. Itu yang menjadi warna dari gerakan kemahasiswaan saat itu,” ujarnya.

”Apa yang harus dilakukan mahasiswa hari ini? Saya tidak mau meletakkan model 90-an kepada mahasiswa hari ini. Waktu itu kita berhadapan dengan otoritarianisme, yang berdiskusi seperti ini saja bisa hilang,” imbuh Ikra.

Lebih lanjut, Ikrava menilai bahwa demokrasi hari ini belum cukup baik. Dia menganggap demokrasi adalah ruang pertarungan yang harus terus menurus diperjuangkan. Demokrasi dinilai sebagai sesuatu yang tidak bisa disia-siakan.

”Seharusnya ada kebebasan berekspresi, berpendapat. Ini tantangan kita hari ini. Saya tidak bilang hari ini lebih mudah, bisa jadi hari ini lebih sulit dari sebelumnya,” pungkasnya.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler