Aktivis dan Keluarga Korban Minta Rakyat Tidak Pilih Capres Pelanggar HAM

Sabtu, 30 Desember 2023 – 19:08 WIB
Ilustrasi penculikan. Foto: Pixabay

jpnn.com, JAKARTA - Sejumlah aktivis pro demokrasi, mahasiswa serta Orang Tua Korban menolak calon Presiden yang terlibat pelanggaran HAM.

Hal ini diungkapkan dalam diskusi bertema "Refleksi 9 Tahun Presiden Jokowi dalam Penyelesaian Kasus HAM" yang diadakan oleh Lingkar Mahasiswa Semanggi dan Aliansi Korban Kekerasan Negara (AKKRA), Jumat (29/12), di Jakarta.

BACA JUGA: Pelanggaran HAM Masa Lalu Akan Menjadi Beban Bangsa bila Tak Pernah Diselesaikan

Savic Ali, direktur NU online, menyampaikan bahwa pelanggaran HAM dapat dituntaskan bila penguasa mempunyai komitmen untuk menyelesaikan.

Menyelesaikan kasus memang tidak mudah, tetapi bila penguasa tidak punya komitmen maka kasus cenderung dilupakan.

BACA JUGA: Masyarakat Diajak untuk Memilih Pemimpin yang Jauh dari Pelanggaran HAM

Savic juga mengkritisi Kepres no 17 tahun 2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

"Kepres ini bentuk ketidakmampuan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan adil," tegas Savic, Sabtu (30/12).

BACA JUGA: Pakar Gestur: Prabowo Terlihat Emosi Ditanya Putusan MK, Cemas soal Pelanggaran HAM

Aktivis 98 ini juga menceritakan bahwa pada 2014 publik mempunyai harapan kasus pelanggaran HAM dituntaskan.

Namun, nyatanya sekarang Presiden Jokowi malah mendukung calon presiden Prabowo Subianto yang terlibat pelanggaran HAM.

"Seharusnya karier politik Prabowo sudah tamat. Realitas politik yang kita hadapi sekarang ini jelas bahwa penyelesaian kasus HAM akan lebih bisa diharapkan bila Prabowo bukan presiden," tambahnya.

Sementara itu, aktivis '98 lainnya, Bona Sigalingging mengajak publik mencermati Kepres 17 tahun 2022 tentang Pembentukkan Tim Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu termasuk Inpres 2 tahun 2023 Tentang Penyelesaian Rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat dan Kepres 4 tahun 2023 tentang tim pemantau pelaksanaan rekomendasinya.

Menurut Bona, Kepres tersebut menghilangkan satu elemen pengungkapan yang sangat penting dalam kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, yaitu pelaku.

"Adanya Korban berarti harus ada Pelaku. Meniadakan pelaku membuktikan bahwa proses pengungkapan kasus HAM berat dalam mekanisme non-yudisial tidak serius dan membuktikan takluknya negara pada pada mereka yang patut diduga sebagai pelanggar HAM berat," tutur Bona.

Alumnus Atma Jaya ini juga mengingatkan resiko tidak lengkapnya pengungkapan ini akan membuat berulangnya kasus yang sama pada masa depan.

"Mekanisme penyelesaian non-yudisial ini adalah bukti bahwa negara melakukan pengingkaran yang terorganisir terhadap pelanggaran berat HAM masa lalu. Sejumlah orang yang patut diduga pelaku pelanggaran HAM justru dibiarkan mengisi posisi penting di militer, kepolisian, ataupun pejabat publik di kementerian bahkan calon presiden," ungkap Bona.

Asih Widodo, orang tua dari Sigit Prasetyo, korban Tragedi Semanggi I mengingatkan penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu dan tidak memilih pelanggar HAM untuk memimpin bangsa ini.

"Siapa yg menembak anak saya harus dihukum . Masak kejahatan kecil aja dihukum, tapi pembunuhan mahasiswa tidak? UUD 45 kan mengatur semuanya. Tugas tentara kan sebagai pertahanan bukan membunuh. Jangan sampai pelanggar HAM malah jadi pemimpin," tutupnya (dil/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler