Al-Jazeera: Arafat Diracun dengan Polonium

Pakar Swiss Temukan Radioaktif Tinggi pada Pakaian-Sejumlah Barang

Jumat, 06 Juli 2012 – 03:49 WIB

RAMALLAH - Penyelidikan independen terkait kasus kematian mantan pemimpin dan Presiden Otoritas Palestina Yasser Arafat menemukan fakta terbaru. Rabu (4/7) lalu Institut de Radiophysique, University of Lausanne, Swiss, mengumumkan soal penemuan bahan radioaktif polonium-210 pada pakaian pribadi tokoh peraih Nobel Perdamaian pada 1994 tersebut. Karena itu, dalam waktu dekat, pihak yang berwenang bakal menggali dan membongkar makam Arafat.

"Kami memiliki bukti bahwa terdapat terlalu banyak kandungan polonium (pada pakaian Arafat). Tapi, itu tidak berarti bahwa kami langsung menyimpulkan Arafat diracun dengan bahan radioaktif tersebut. Satu-satunya cara untuk menjawab anomali ini adalah melakukan uji pada mayat (Arafat)," ungkap Fran ßois Bochud, direktur Institut de Radiophysique di Kota Lausanne, Swiss, dalam wawancara dengan CNN.

Sebelumnya, stasiun televisi Al-Jazeera mengutip hasil riset laboratorium yang dirilis pada Selasa lalu (3/7). Dalam laporan itu, lapor Al-Jazeera, terungkap bahwa Arafat yang meninggal pada 2004 telah diracun dengan menggunakan polonium.

Al-Jazeera menyatakan bahwa para pakar dan sejumlah laboratorium di Eropa telah menganalisis pakaian maupun sejumlah barang milik Arafat. Benda-benda itu diserahkan kepada Suha Arafat (istri Arafat) oleh Rumah Sakit Militer Percy, Paris, Prancis, tempat tokoh kelahiran 24 Agustus 1929 tersebut dirawat sebelum meninggal.

Selanjutnya, Suha menyerahkan benda-benda itu pada Al-Jazeera, yang minta dilakukan sejumlah tes. Termasuk, uji atas pakaian, kafiyeh (penutup kepala), dan sweater yang dikenakan oleh Arafat. "Kesimpulannya, kami memang menemukan polonium dalam jumlah yang signifikan pada sampel (pakaian milik Arafat, Red)," jelas Bochud.

Tapi, dia melanjutkan, dugaan bahwa Arafat meninggal karena diracun harus diteliti lebih lanjut. Selain diperlukan penggalian atas makamnya, perlu dianalisis jasadnya secara lebih mendalam.

"Jika dia (istri Arafat, Red) benar-benar ingin tahu apa yang terjadi pada suaminya, kami jelas perlu sampel. Maksud saya, penggalian atas makamnya. Hal itu akan memberikan kepada kami sampel soal kuantitas dalam jumlah banyak polonium jika dia memang diracun," papar Bochud.

Polonium pernah digunakan membunuh mantan mata-mata Rusia Alexander Litvinenko. Tokoh yang kemudian beralih menjadi pengritik keras kebijakan Kremlin (pusat pemerintahan Rusia di Kota Moskow, Red) meninggal pada 2006 setelah meminum teh yang telah dicampur dengan substansi radioaktif itu di sebuah hotel di Kota London.

Arafat meninggal di usia 75 tahun pada 11 November 2004 setelah menjalani perawatan selama beberapa pekan. Tokoh yang dipanggil sebagai Abu Ammar itu dikenal gigih dalam memperjuangkan negara Palestina merdeka selama empat dekade. Jenazahnya lalu diterbangkan dari Prancis menuju markasnya di Ramallah, Tepi Barat.

Para pejabat Prancis, yang bersembunyi di balik undang-undang, menolak membeberkan penyebab kematian atau kondisi Arafat saat meninggal. Itu memicu sejumlah rumor dan teori tentang penyakit dan penyebab kematiannya.

Para pejabat Palestina menuduh bahwa Arafat telah diracun oleh Israel yang menjadi musuhnya sejak lama. Tapi, investigasi pemerintah Palestina pada 2005 mengesampingkan kanker, AIDS, atau racun sebagai penyebab kematian Arafat.

Selama Februari sampai Juni lalu, para pakar Eropa yang terlibat dalam penyelidikan independen itu telah melakukan sedikitnya 50 pemeriksaan. Dari rangkaian pemeriksaan itu, diketahui bahwa kadar polonium yang melekat pada pakaian pribadi Arafat cukup tinggi.

Otoritas Palestina menyatakan tidak keberatan dengan rencana Bochud dan beberapa pakar lain untuk melakukan pemeriksaan post mortem pada jasad Arafat. Mereka juga mengizinkan pihak berwenang untuk membongkar makam tokoh yang wafat pada usia 75 tahun itu.

"Pada dasarnya, kami tidak keberatan asal keluarga (Arafat) mengizinkan," ujar Nabil Abu Rudeineh, jubir Otoritas Palestina.

Kepada Kantor Berita Palestina WAFA, Rudeineh juga menyatakan bahwa tidak akan ada alasan religius ataupun politik yang bisa mencegah penggalian makam Arafat. Apalagi, secara ilmiah, hasil otopsi akan tetap relevan meski presiden pertama Palestina itu telah dimakamkan sejak 2004.

Seorang pakar medis yang terlibat dalam penyelidikan independen itu menyebut, tanda-tanda bahwa Arafat tewas akibat diracun dengan polonium sangat kecil.

"Sumsum tulang belakang Arafat tetap memiliki bentuk wajar dan baik saat dia dinyatakan meninggal. Padahal, mereka yang keracunan polonium akan mengalami kerusakan sumsum tulang belakang," kata pakar yang tak disebutkan namanya itu.

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa rambut Arafat juga tak menunjukkan tanda keracunan. "Pada kasus keracunan polonium, rambut korban akan mengalami kerontokan. Tapi, Arafat tidak mengalami itu," tuturnya.

Meski begitu, menurut dia, perlu penyelidikan lebih lanjut untuk memastikan terdeteksinya polonium di pakaian Arafat.

Secara terpisah, pejabat senior Palestina Saeb Erakat menyerukan pembentukan tim penyelidik internasional untuk menggali lebih banyak fakta seputar kematian Arafat. "Kami usul pembentukan komite investigasi internasional yang formatnya kurang lebih sama penyelidikan kematian mantan Perdana Menteri (PM) Lebanon Rafiq Hariri," ujar Erakat. (AFP/RTR/CNN/hep)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Gudang Gas Meledak, Dua Orang Tewas Terpanggang


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler